Jika Anda berbicara mengenai kebangkitan Asia 30 tahun lalu, mungkin sebagian orang tidak akan percaya, kalau hal itu bisa terwujud pada dekade kedua abad ini. Catatan yang memperlihatkan pertumbuhan ajaib China, India, dan Asia Tenggara dalam sepuluh tahun terakhir, memberikan bukti bahwa kebangkitan Asia bukan isapan jempol belaka. Bank Dunia memperkirakan bahwa di pertengahan abad ini, empat dari lima negara ekonomi terbesar dunia akan berada di Asia. Padahal 20 tahun lalu, hanya satu negara Asia yang masuk ke dalam jajaran lima besar. Selebihnya berada di Eropa (3 negara) dan Amerika (1).
Cerita sukses mengenai kebangkitan Asia ini, banyak dipaparkan oleh para ahli ekonomi dan politik internasional. Salah satunya ialah Kishore Mahbubani yang menulis secara gamblang dalam buku : The New Asian Hemisphere. Beruntung bagi pembaca Indonesia, di bulan November 2011 lalu buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh penerbit buku Kompas dengan judul : Asia Hemisfer Baru Dunia. Buku ini merupakan salah satu best seller di toko-toko buku seluruh Asia. Namun kurang bergairah di sebagian besar negara Barat. Itu sebabnya pada sampul bagian dalam edisi Indonesia, buku ini menyorongkan pernyataan : perlunya bangsa-bangsa Barat melangkah keluar zona nyaman mereka dan menyiapkan peta mental baru untuk dapat memahami kebangkitan Asia.
Buku ini berisi enam bagian, yang mengulas tentang faktor-faktor kebangkitan Asia dan reaksi Barat terhadap kebangkitan tersebut. Yang terpenting dari keenam bab buku ini adalah bagian kedua, yang menerangkan mengenai nilai-nilai universal yang kini diserap oleh bangsa Asia. Menariknya, nilai-nilai inilah dulu yang membawa Barat bangkit pada abad ke-19, yang kini justru malah mereka tinggalkan. Disinilah letak persoalan menjadi jelas, mengapa akhirnya Asia kembali bangkit dan Barat sedikit demi sedikit turun dari tampuk kepemimpinan dunia.
Di bagian awal tulisannya, Kishore memaparkan sejumlah data yang cukup menarik. Pada abad pertama masehi, Asia menyumbang hingga 76,3% produk domestik bruto (PDB) global. Di waktu yang sama, Eropa Barat hanya mencetak sekitar 10,8%. Seribu tahun kemudian, kontribusi Eropa Barat terhadap PDB global sekitar 8,7%. Dan Asia tetap mempertahankan dominasinya, meski sedikit turun ke angka 70,3%. Keseimbangan ini mulai bergeser sejak berlangsungnya Revolusi Industri di Eropa. Pada tahun 1820, andil Eropa Barat naik hingga mencapai 23,6%, sementara Asia turun menjadi 59,2%. Di tahun 1998, Eropa Barat bersama ranting-ranting peradabannya (Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru) membentuk sekitar 45,6% PDB global. Jauh meninggalkan Asia yang hanya memberikan kontribusi sebesar 37,2%. Dari data ini terlihat bahwa kebangkitan Barat terjadi sangat cepat dalam 200 tahun terakhir. Merebut kepemimpinan global, yang berabad-abad telah digenggam bangsa Asia.
Dalam 50 tahun terakhir, hanya Jepang-lah bangsa Asia yang mampu mengimbangi kekuatan ekonomi Barat. Kebangkitan Jepang bermula pada tahun 1860. Ketika sekelompok reformator Meiji mendatangi semua negara-negara Barat untuk menemukan praktik terbaik masyarakat di negara itu. Orang-orang Jepang ini menarik pelajaran dengan bagus. Mereka menemukan bahwa ada sekurang-kurangnya tujuh pilar kebijaksanaan Barat yang dapat membawa efek menakjubkan pada masyarakat mereka. Ketujuh pilar itu adalah Ekonomi Pasar Bebas, Sains dan Teknologi, Meritokrasi, Pragmatisme, Budaya Perdamaian, Aturan Hukum, dan Pendidikan. Setelah Jepang sukses mengimplementasikan ketujuh pilar tersebut, giliran macan-macan Asia serta China dan India yang ikut menerapkannya. Kini setelah gelombang kebangkitan itu menjalar ke seluruh Asia, maka tak lama lagi masyarakat di benua ini akan kembali mengambil alih posisi alamiah mereka, menjadi kekuatan ekonomi dan politik terbesar dunia.

Gangnam Style, salah satu produk K-Pop (sumber : http://www.guinnessworldrecords.com)
Berderapnya modernisasi di negara Asia, bukan berarti terjadinya westernisasi di kawasan tersebut. Justru yang terjadi belakangan ini malah sebaliknya. Dimana banyak masyarakat Asia yang cenderung anti-Barat. Mereka mulai menyangsikan legitimasi media Barat yang selalu berbicara atas nama “komunitas internasional.” Di Turki yang telah lama memiliki tradisi pro-Barat, setiap politisi yang berkata bahwa Barat is the best, kini bisa terhambat karier politiknya. Di China, masyarakat tak lagi menggunakan kaca mata Barat dalam mendefinisikan kebebasan. Mereka tak mau lagi terkooptasi dengan cara pandang Barat yang tidak sesuai dengan kultur China. Di India, mayoritas intelektual tak lagi percaya kalau Barat masih menjaga nilai-nilai peradaban manusia. Padahal 20 tahun silam, jika ada seorang India yang berani mengatakan bahwa Barat melakukan penyiksaan terhadap tawanannya, mereka akan dipecat atau dibungkam. Di Irak dan Afghanistan, dua negara yang menjadi korban ambisi Barat, setiap minggu ada saja prajurit Amerika yang tewas. Gelombang bom bunuh diri yang banyak terjadi akhir-akhir ini, hendak mengatakan kepada dunia bahwa Barat harus segera hengkang dari negara Muslim.
Di bidang kebudayaan-pun, proses dewesternisasi berlangsung massif. Sebagian masyarakat Asia kini percaya bahwa produk budaya mereka mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Contoh paling aktual terjadi di Indonesia. Dimana musik dalam negeri, telah menggantikan kedudukan lagu-lagu Barat yang selama ini banyak digandrungi kawula muda. Bahkan Korean Pop (K-Pop) yang dalam lima tahun terakhir melanda dunia, dipercaya telah menggerus pasar musik pop Barat. Di banyak negara berkembang, film India telah menggantikan kedudukan film Hollywood yang dalam beberapa dasawarsa terakhir menguasai dunia. Malah di Suriah, satu-satunya foto yang dipajang publik sebesar foto presiden mereka hanyalah gambar Amitabh Bachchan, salah seorang tokoh film India legendaris.
Di buku ini, Kishore juga mengkritik pemikiran Francis Fukuyuma dan para intelektual Barat lainnya, yang menganggap Barat sebagai pemenang sejarah dunia. Kishore sangat emosi menanggapi esai Fukuyuma yang berjudul “The End of History”, yang secara provokatif menyebutkan bahwa dengan berakhirnya Perang Dingin maka usai pulalah evolusi ideologis umat manusia, dimana universalisasi demokrasi liberal Barat menjadi bentuk final pemerintahan manusia. Kishore menangkis segala pandangan Fukuyama dengan merujuk kepada krisis finansial yang terjadi pada tahun 2008 lalu. Menurutnya krisis itu telah menghasilkan demistifikasi global tentang gagasan kompetensi Barat. Dimana dunia tak lagi percaya dengan sistem kapitalisasi Barat yang berdiri di atas ketidakadilan. Teori apapun yang mengatakan bahwa ekonomi negara-negara Barat telah dipersiapkan dengan baik untuk mengatasi krisis besar, kini telah runtuh! Krisis ini tentunya akan mempercepat berakhirnya era dominasi Barat terhadap sejarah dunia, yang diprediksi Kishore dengan amat meyakinkan.
Satu lagi yang cukup penting diulas disini adalah inkompetensi Barat dalam menangani isu-isu global. Meski di dalam negeri mereka cukup kompeten dalam menyelesaikan permasalahannya, akan tetapi mereka tidak dapat melakukan itu sama baiknya untuk masyarakat internasional. Di Timur Tengah misalnya, hingga saat ini Barat masih menerapkan standar ganda dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Barat selalu mati-matian membela kepentingan Israel, meski negara itu telah banyak memberikan kerugian kepada komunitas Muslim dan masyarakat Barat secara tak langsung. Dalam perjanjian non-proliferasi nuklir, Barat juga cenderung diskriminatif. Barat melalui Dewan Keamanan PBB yang mereka kuasai, hanya menghukum Iran sebagai pemilik nuklir sembari membiarkan Israel dan beberapa negara Eropa melakukan uji coba senjata nuklir mereka.

Penjara Guantanamo. Inkompetensi Barat dalam penegakan HAM (sumber : http://www.thewashingtonnote.com)
Dalam hal penegakan hak asasi manusia (HAM), masyarakat Barat kerap kali mendua. Di negara-negara yang menjadi “klien” Amerika Serikat, seperti kerajaan-kerajaan Arab atau negara Amerika Latin yang dipimpin oleh para diktator, kita akan melihat perlakuan yang sangat berbeda. Pelanggaran HAM di negara-negara tersebut begitu terbuka dilakukan, namun hanya berbekas kecil dan penuh maaf dalam imajinasi Amerika. Sementara itu terhadap China, Barat selalu mencecar pelanggaran HAM di Tibet, dan belakangan juga nasib sebagian besar buruh yang bekerja disana. Selain itu, Barat juga mengkritik India atas penegakan HAM di Kashmir, dan merongrong pemerintahan militer Myanmar untuk membebaskan Aung San Suu Kyi.
Paradoksal Barat lainnya adalah mengenai isu perdagangan bebas. Pada paruh kedua abad ke-20, negara-negara Barat sangatlah rajin mendorong terciptanya liberalisasi pasar. Mereka banyak melakukan roadshow ke negara-negara berkembang untuk mempercepat terealisasinya hal tersebut. Salah satu ideologi yang mereka dengungkan adalah keyakinan bahwa hambatan perdagangan dapat diminimalisir dengan meningkatkan saling ketergantungan, yang pada akhirnya akan menghasilkan standar kehidupan yang lebih tinggi bagi semua. Namun setelah masuknya China ke dalam organisasi perdagangan dunia (WTO) dan membanjirnya produk-produk negara tersebut ke seluruh dunia, Barat justru enggan menerapkan prinsip perdagangan bebas. Hal ini tentunya sangat mengherankan. Mengingat dalam waktu yang relatif singkat, Barat telah mengubah pandangannya 180 derajat. Dari negara yang menyerukan perdagangan bebas, menjadi negara yang paling sering melakukan proteksi.
Kini sudah tiba waktunya bagi Barat, untuk mempertimbangkan kemungkinan bahwa bangsa lain dan komunitas lain juga sekompeten Barat – jika tidak mau dikatakan lebih kompeten, dalam menjawab tantangan global. Dan Asia mungkin menjadi komunitas paling kompeten, yang secara serius akan menjadi ancaman bagi eksistensi peradaban Barat. Jika Barat hendak mempertahankan supremasinya di percaturan global, agaknya mereka harus kembali ke nilai-nilai universal yang 200 tahun lalu telah mereka terapkan. Namun agaknya hal itu sulit dilakukan. Mengingat masih banyaknya pengambil keputusan di Barat yang merasa superior, dan menganggap cara yang mereka gunakan saat ini masihlah yang terbaik. Pandangan kaku dan penuh rekayasa itu, secara tak sadar akan segera menenggelamkan mereka. Dan dunia akan kembali kepada “fitrahnya”, dengan kepemimpinan bangsa-bangsa Asia.
sumber gambar : http://www.skyscrapercity.com
Lihat pula :
1. Amerika akan Kolaps
2. Kebangkitan Tiongkok dan Jaringan China Perantauan
Dalam hal inkompetensi bangsa barat, anda lupa menyebutkan faktor Yahudi perantauan yang menguasai politik di negara-negara itu.
SukaSuka