Lanskap kota Pekanbaru. Nampak Menara Dang Merdu (kiri) dan Perpustakaan Soeman Hs (tengah)

Jika Anda membandingkan wajah Pekanbaru saat ini dengan 15 tahun lampau, maka Anda akan tercengang melihat perubahan yang terjadi. Pada tahun 1997 lalu, Pekanbaru masih relatif terbelakang. Dibanding dengan kota-kota menengah lainnya di Indonesia, perkembangan ibu kota Riau ini terasa jalan di tempat. Dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000 jiwa, hanya ada satu sentra keramaian, yakni Pasar Pusat. Ketika itu real estat dan hunian vertikal belum berkembang. Rumah toko-pun bisa dihitung dengan jari. Tak banyak orang yang mau berkunjung ke kota ini, kecuali hendak menjumpai sanak saudara mereka. Penerbangan langsung hanya ada dari Jakarta dan Batam. Itupun satu hari sekali penerbangan.

Namun tengoklah kini! Pekanbaru telah bersalin rupa. Gedung-gedung bertingkat serta mal yang menjadi ciri metropolitan, tumbuh bak cendawan di musim hujan. Tak lama lagi, Jalan Jenderal Sudirman di pusat kota akan menjadi hutan beton. Selain hotel dan perkantoran, apartemen bertingkat juga terlihat banyak dibangun. Tak hanya itu, gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat-pun ikut berubah. Jika sebelumnya warga Pekanbaru cuma bisa berbelanja di pasar-pasar tradisional, maka kini mereka dapat membeli kebutuhan sehari-hari di toko berpendingin ruangan. Sebab beberapa kulakan besar seperti Giant, Lotte Mart, dan Hypermart telah menancapkan kukunya disini. Disamping restoran-restoran siap saji, Starbucks yang menjadi simbol kaum urban tak ketinggalan untuk membuka gerainya disini. Hal ini seiring dengan bertumbuhnya pendapatan masyarakat Pekanbaru yang dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Stadion Utama Riau (sumber : bolaindo.com)

Selain berkembangnya sentra-sentra ekonomi, pembangunan sarana dan infrastruktur kota juga berlangsung massif. Untuk mengurangi kemacetan lalu lintas, pemerintah telah meresmikan dua fly over di poros utama Sudirman, yakni di persimpangan Tuanku Tambusai dan Imam Munandar. Jalan layang ini bertujuan untuk mengurai arus kendaraan dari arah bandara menuju pusat kota ataupun sebaliknya. Selain itu untuk pengembangan wilayah Rumbai di bagian timur, maka saat ini sedang dibangun satu lagi jembatan tambahan yang melintasi Sungai Siak. Jika lima tahun sebelumnya hanya Jembatan Leighton yang menghubungkan Rumbai dengan pusat kota, maka tahun depan keseluruhan ada empat jembatan yang bisa dipakai.

Berbicara mengenai bandara, maka sejak tiga bulan lalu masyarakat Pekanbaru bisa berbangga hati. Sebab terminal baru Bandara Sultan Syarif Kasim II yang lebih modern dan lapang telah dapat dipergunakan. Terminal ini bisa menampung sekitar dua setengah juta penumpang per tahunnya. Dilengkapi 24 konter check-in dan tiga garbarata, terminal ini melayani lima rute domestik dan tiga rute internasional. Dalam rangka persiapan sebagai embarkasi haji di tahun 2013 mendatang, maka PT Angkasa Pura II sedang memperpanjang landasan pacu bandara menjadi 2.620 meter. Dengan runway sepanjang ini, maka tahun depan Pekanbaru sudah bisa didarati pesawat berbadan lebar, seperti Boeing 737.

Rencana Basko Superblok

Disamping jalan layang dan bandara, konstruksi lainnya yang menjadi kebanggan masyarakat Pekanbaru adalah Riau Main Stadium. Stadion berkapasitas 43.923 tempat duduk ini, merupakan stadion terbesar di Sumatera dan ketiga di Indonesia. Stadion ini didirikan untuk menyambut penyelenggaraan PON 2012 serta Islamic Solidarity Games 2013. Tempat ini nantinya juga akan digunakan sebagai kandang klub PSPS Pekanbaru yang berlaga di Liga Super Indonesia.

Seperti kota-kota besar lainnya, Pekanbaru juga mempunyai beberapa gedung pencakar langit. Meski hanya satu-dua bangunan yang memiliki lantai di atas 20, namun keberadaannya telah mengubah lanskap kota secara keseluruhan. The Peak Hotel & Apartement yang akan menjadi gedung tertinggi di Pekanbaru, saat ini sedang dikebut penyelesaiannya. Bangunan setinggi 27 lantai itu terletak di Jalan Ahmad Yani, tak jauh dari kantor gubernur. Yang lainnnya adalah gedung milik Basrizal Koto, seorang pengusaha muda yang banyak menggelontorkan dananya di Pekanbaru. Proyek properti milik konglomerat asal Pariaman itu terdiri dari tiga menara setinggi 20 lantai, yang akan digunakan sebagai apartemen dan hotel. Dalam rendering yang terpampang pada papan proyek, ketiga tower ini direncanakan akan berdiri di atas pusat perbelanjaan Basko Grand Mall. Mal tiga lantai ini nantinya akan menjadi pusat gaya hidup dan hiburan terbesar di Pekanbaru.

Perpustakaan Soeman Hs

Dari sekian banyak bangunan yang berkilauan, yang cukup menarik perhatian saya adalah Perpustakaan Soeman Hs. Gedung yang terletak di Km 0 kota Pekanbaru ini, memiliki arsitektur yang agak berlainan. Jika dilihat dari kejauhan, bangunan ini nampak seperti buku yang sedang terbuka. Gedung yang diresmikan pada tahun 2008 lalu itu, kini menjadi ikon baru kota Pekanbaru. Menerapkan konsep minimalis dengan dinding-dinding berkaca, bangunan ini dilengkapi auditorium yang luas serta bilik kebudayaan Melayu. Untuk mencapai Visi Riau 2020 yang mencanangkan Pekanbaru sebagai pusat kebudayaan Melayu, banyak bangunan di kota ini yang menggunakan atap selembayung. Model ini sebenarnya bukan monopoli Riau semata, namun telah digunakan secara umum sebagai ciri khas adat di berbagai wilayah Indonesia.

Meski desain bangunannya banyak bercirikan Melayu, namun secara kultural masyarakat Pekanbaru lebih diwarnai oleh budaya Minangkabau. Hal ini terlihat dari penggunaan Bahasa Minang yang menjadi bahasa percakapan sehari-hari. Jika tak menengok atap-atap selembayung di beberapa gedung perkantoran, maka seolah-olah kita sedang berada di kota-kota Sumatera Barat. Berada di kota ini, tak ubahnya seperti berada di Padang, Bukittinggi, ataupun Payakumbuh. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2000, komunitas Minangkabau memanglah yang terbesar. Jumlah mereka mencapai 38% dari keseluruhan penduduk kota. Namun dari pengamatan penulis, angka ini agaknya terlampau kecil. Mengingat ada sebagian orang-orang keturunan Minang yang lebih mengaku dirinya sebagai Melayu, walaupun kesehariannya menggunakan adat istiadat Minang. Penulis menaksir lebih dari separuh warga Pekanbaru merupakan masyarakat Minang. Hal ini diperkuat oleh penelitian Barbara Watson Andaya, yang menyebutkan ada sekitar 65% etnis Minangkabau yang bermukim di kota ini.

Sungai Siak membelah Rumbai (kiri) dan pusat kota

Menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun lalu jumlah penduduk Pekanbaru mencapai 937.939 jiwa. Angka ini telah menempatkannya sebagai kota terbesar ketiga di Sumatera. Menyalip Bandar Lampung dan Padang yang lima tahun sebelumnya masih berada di atas. Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,7% per tahun, diperkirakan dalam waktu 15 tahun mendatang, populasi Pekanbaru akan melampaui Makassar dan Palembang.

Jika Anda hendak melancong ke Pekanbaru, maka jangan harap menemukan obyek wisata yang representatif. Untuk warga kotanya saja, Pekanbaru tak banyak memiliki tempat hiburan yang menyenangkan. Oleh karenanya jika musim liburan tiba, tempat-tempat wisata di Sumatera Barat menjadi tujuan favorit mereka. Boleh dibilang Pekanbaru bukanlah kota wisata. Namun jika Anda singgah ke kota ini, Museum Sang Nila Utama layak untuk dikunjungi. Museum yang terletak di jantung kota ini menampilkan barang-barang kesenian Melayu Riau. Untuk berbelanja buah tangan, Pasar Bawah tempat yang cocok untuk memenuhi kebutuhan Anda. Disini selain hasil kerajinan Sumatera Barat, juga banyak ditemui produk asal Malaysia. Untuk oleh-oleh khas Pekanbaru, pasar ini juga menjual lempuk durian, bolu kemojo, dan wajik tape melayu. Selain itu kek tape milik Denny Delyandri, juga bisa menjadi alternatif pilihan Anda.

Kedai kopi Kim Teng di Jl. Senapelan (sumber : infomakan.com)

Satu lagi yang menjadi trademark wisatawan ketika berkunjung ke kota ini adalah kedai kopi Kim Teng. Warung kopi yang terletak di Jalan Senapelan ini, didirikan oleh Tan Kim Teng, salah seorang pejuang kemerdekaan yang telah berbisnis sejak tahun 1956. Disini Anda bisa mencicipi roti srikaya sambil menyeruput kopi tanpa ampas. Kini kedai kopi yang telah memiliki empat cabang itu, dikelola oleh generasi ketiga. Meski Pekanbaru minim tempat wisata dan oleh-oleh, namun untuk penginapan Anda tak perlu khawatir. Disini Anda dengan mudah akan menemukan hotel-hotel kelas melati hingga yang berberbintang lima.

Perkembangan Pekanbaru belakangan ini, ditopang oleh kinerja perekonomian Riau yang cukup fantastis. Berdasarkan PDRB per kapita, Riau merupakan wilayah termakmur ketiga di Indonesia setelah Kalimantan Timur dan Jakarta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pembagian keuntungan minyak tak lagi tersedot ke pemerintah pusat. Daerah yang menjadi pemilik hakiki kekayaan tersebut, mendapatkan sharing yang cukup besar. Mengingat besarnya kekayaan minyak propinsi Riau, sebagian orang berpendapat bahwa seharusnya Pekanbaru bisa lebih maju lagi dari sekarang ini. Dibandingkan Kalimantan Timur yang mampu membangun tiga kota utamanya (Balikpapan, Samarinda, dan Bontang) sekaligus, agaknya Riau tertinggal satu langkah. Karena di propinsi yang juga kaya hasil kelapa sawit ini, hanya Pekanbaru saja yang bersolek. Bangkinang, Bengkalis, Rengat, dan Tembilahan : empat kota utama lainnya di propinsi Riau, masih jauh tercecer di belakang.

 

Sejarah Pekanbaru

Terminal baru Bandara Sultan Syarif Kasim II

Semula Pekanbaru hanyalah bandar persinggahan bagi pedagang Minangkabau yang hendak berniaga ke Selat Malaka. Lambat laun bandar ini tak hanya sebagai tempat transit, melainkan telah menjadi daerah tujuan baru mereka. Makin lama makin banyak masyarakat yang datang dan meneroka wilayah ini. Untuk memenuhi kebutuhan penduduk, maka didirikanlah pekan (pasar) di tepi Sungai Siak, tepatnya di daerah Senapelan. Atas kesepakatan musyawarah Dewan Menteri Kesultanan Siak, yang terdiri dari datuk empat suku (Pesisir, Limapuluh, Tanah Datar, dan Kampar), maka pekan tersebut dinamai Pekanbaru.

Setelah Indonesia merdeka, Pekanbaru masih menjadi kota kecil yang kurang berarti. Hingga tahun 1959, kedudukannya tak lebih penting dari Bukittinggi dan Tanjung Pinang. Sejak ditemukannya ladang-ladang minyak, maka beramai-ramai para sarjana yang sebagian besar dari Sumatera Barat datang ke Pekanbaru. Tujuan mereka hendak bekerja di perusahaan Caltex, sambil berniaga memenuhi kebutuhan masyarakat. Pasca-PRRI dan ditetapkannya Pekanbaru sebagai ibu kota propinsi, banyak pula masyarakat Melayu pesisir yang bermigrasi ke Pekanbaru. Disini mayoritas mereka bekerja sebagai pegawai negeri di kantor pemerintah daerah. Dalam perkembangannya tak hanya etnis Minang dan Melayu yang berduyun-duyun membanjiri Pekanbaru, namun juga suku Jawa dan komunitas Tapanuli Selatan. Kedatangan orang-orang Mandailing-Angkola, terutama sejak diangkatnya Kaharuddin Nasution sebagai penguasa perang Riau Daratan dipenghujung tahun 1950-an.

Jantung kota Pekanbaru dari atas udara

sumber gambar : http://www.skyscrapercity.com

Lihat pula :
Ini Medan Bung !

Iklan
Komentar
  1. nasroelpm berkata:

    Reblogged this on Nasroel.Pm.

    Suka

    • fir berkata:

      Minang sentris sekali. Pasti yg buat orang minang

      Suka

      • Afandri Adya berkata:

        Terima kasih atas komentarnya. Jika Anda pernah ke Pekanbaru, mungkin komentar Anda tidak akan sesentimen ini.

        Suka

      • indra wahyudi berkata:

        Silahkan berkunjung dulu ke pekanbaru bung, baru bisa berkomentar. Atau sekalian ke sumbar. Dekat kok. 6 jam perjalanan darat sampai. Anda bisa mengenal lebih dekat etnis minangkabau yang bisa [d̲̅i̲̅] bilang etnis yang [d̲̅i̲̅]abaikan negeri ini.

        Suka

    • hendrizal berkata:

      Ya karena orang weijo (minang) merantau kemana2..bahkan di ujung dunia pun ada..karena hidupnya susah di kampung..

      Suka

  2. Afandri Adya berkata:

    Terima kasih Bung Indra atas komentarnya. Saya tambahkan sedikit, jarak Pekanbaru dan kota-kota di Sumatera Barat kini sudah jauh terpangkas. Hal ini disebabkan karena selesainya Jembatan Kelok Sembilan — yang selama ini menjadi bottleneck lalu lintas Sumbar-Riau, serta pelebaran jalan pada ruas Bangkinang-Panam. Waktu tempuh dari Payakumbuh ke Pekanbaru yang biasanya memakan waktu 5 jam, kini 3,5 jam bisa putus ditempuh. Di hari-hari biasa, ke Bukittinggi/Batusangkar, bisa terlakit 4,5 jam. Jadi 6 jam yang Anda katakan itu terlalu lama. Entah kalau yang Anda maksud ke Padang atau Pariaman. Kalau kesana saya rasa bisa lebih dari 6 jam.

    Sejak selesainya Jembatan Kelok Sembilan, semakin dekat saja rasanya antara kota-kota di Sumbar dengan Pekanbaru. Jika di hari raya, malah banyak perantau dari sekitar Payakumbuh yang memilih Pekanbaru sebagai tempat transit dibandingkan Padang. Selain lebih cepat — karena Padang-Payakumbuh di hari raya bisa memakan waktu 7 jam, harga tiket pesawat via Pekanbaru sering lebih murah.

    Suka

  3. dwmit berkata:

    untuk biaya hidupnya sendiri gimana om? saya dari bandung yang kebetulan dapat kerjaan untuk area kerja di pekanbaru. mau ngitung cost living yg dibutuhin nih om sebanding gak dengan salary yg saya dapet. hehehe
    mohon infonya ya. Thanks 🙂

    Suka

    • Afandri Adya berkata:

      Om Dwmit, untuk biaya hidup di Pekanbaru sedikit di atas Bandung. Untuk bahan kebutuhan pokok, disini relatif lebih mahal dibanding kota-kota di Jawa. Karena disekitar Pekanbaru tak ada sawah dan ladang untuk bercocok tanam. Sedangkan untuk biaya lain, seperti transportasi, kesehatan, dan pendidikan, kurang lebih sama dengan di Bandung.

      Suka

  4. Putera Melayu Riau berkata:

    Mengapa orang minang mengaku melayu? karena minang adalah bagian dari melayu itu sendiri. Minang hanyalah sukunya

    Saya sebagai orang melayu Riau, orang asli Pekanbaru, sangat terbuka kepada pendatang terutama orang Minang.

    Suka

  5. Afandri Adya berkata:

    Terima kasih Putra Melayu Riau atas kunjungan dan komentarnya. Sebenarnya kurang tepat juga kalau dikatakan orang Minang sebagai pendatang di Pekanbaru. Orang Minang mungkin sudah ada lebih dulu di Pekanbaru, sebelum orang Melayu — yang kebanyakan datang dari pesisir timur dan Kepulauan Riau mendiami kota ini. Jadi menurut pendapat saya, orang-orang Minang juga merupakan penduduk “asli” Pekanbaru. Namun sejak terpecahnya Sumatera Tengah menjadi tiga propinsi, corak Minang sengaja dihilangkan di Pekanbaru, sehingga yang menonjol hanyalah corak Melayunya saja. Mengenai hal ini, menarik untuk disimak buku Membangun Riau ke Depan: Peran serta warga Melayu Minang karya A.Z. Fachri Yasin, ‎Alaiddin Koto, ‎dan Iqbal Ali.

    Suka

  6. minangel berkata:

    assalamu alaikum wr wb ….

    saya adalah pemilik weblog minangel wordpress. saya jadi banyak tahu mengenai eksistensi minang melalui website anda.

    melalui kesempatan ini, mohon kiranya anda berkenan menurunkan artikel mengenai eksistensi minangkabau di lampung, khususnya kerajaan kepaksian skala brak. saya baca di wiki, disebutkan bahwa sunting pengantin wanita lampung mengambil bentuk atap bagonjong istana raja2 pagaruyung.

    bisakah anda memberi kupasan yg lebih luas dan mendalam???

    terima kasih.

    Suka

    • Afandri Adya berkata:

      Salam kenal saudara Minangel. Mengenai Kepaksian Sekala Brak di pesisir barat Lampung, sedikit sekali sejarawan yang telah melakukan penelitian terkait pemerintahan tersebut, sehingga sulit bagi saya untuk menuliskannya secara akurat. Seperti di Wikipedia sendiri, ada beberapa bagian yang menurut saya harus perlu diklarifikasi lebih lanjut, seperti teori Diandra Natakembahang. Saya coba mencari sejarah Sekala Brak dan eksistensinya dari buku Thomas Stamford Raffles dan William Marsden (penulis History of Sumatera di abad ke-19), namun keduanya tak ada menyebut pemerintahan di Lampung Barat. Jadi cukup sulit bagi saya untuk menggalinya.

      ***

      Seperti yang sudah sama kita ketahui, bahwa pesisir barat Sumatera dari Aceh hingga Lampung merupakan daerah rantau orang Minang. Asal mula berdirinya Kepaksian Sekala Brak di selatan pesisir barat Sumatera adalah karena penyebaran Islam yang dilakukan oleh orang-orang dari Kerajaan Pagaruyung di abad ke-16. Ada empat nama penyebar Islam di daerah ini, yakni : Umpu Bejalan Di Way, Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong. Karena penyebaran Islam di Sekala Brak, Kerajaan Sekala Brak yang sebelumnya beragama Hindu menjadi runtuh. Ini seperti episode islamisasi di seluruh Nusantara pada abad ke-16.

      Sebagian orang Sekala Brak ada yang menerima Islam yang dibawa oleh masyarakat Minangkabau, sebagian lari ke wilayah Lampung lainnya, Sumatera Selatan, dan menyeberang ke Pulau Jawa (Banten). Semenjak itulah orang-orang Minang mendirikan konfederasi Paksi Pak (Empat Serangkai) atau yang dikenal dengan Kepaksian Sekala Brak di wilayah sekitar Danau Ranau, Lampung Barat.

      Mungkin karena kedatangan orang Minangkabau inilah, beberapa adat dan budaya Lampung — termasuk pakaian dan suntingnya — memiliki kesamaan dengan yang ada di Sumatera Barat. Wallahua’lam.

      Suka

  7. Ernanda berkata:

    wah terimakasih akan informasinya, saya sebagai anak muda warga pekanbaru mendapat banyak sekali informasi, seperti sejarah pekanbaru.. bisakah ceritakan sedikit sejarah kabupaten lain di riau?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s