Sungai Singapura dengan latar belakang Esplanade Theatres

Sungai Singapura dengan latar belakang Esplanade Theatres

Kali ini pelancongan kami sekeluarga, menuju negeri-negeri Melayu di tepi Selat Malaka. Dalam kunjungan singkat memanfaatkan masa cuti bersama, kami melawat ke tiga kota sekaligus : Singapura, Malaka, dan Kuala Lumpur. Kami berangkat menggunakan maskapai Tiger Airways. Dari Cengkareng pesawat lepas landas pukul 11.35 WIB dan mendarat di Singapura jam 14.05 waktu setempat. Terdapat perbedaan waktu lebih cepat satu jam antara Singapura dengan Jakarta.

Kami turun di Terminal 2 Bandara Internasional Changi. Dibandingkan dengan airport Cengkareng, bandara ini terasa lebih besar dan modern. Walau dari segi arsitektur dan tata letak ruangan, Soekarno-Hatta masih lebih unggul. Siang hari itu Changi tak terlampau padat. Kami bisa leluasa berfoto-foto, sambil memandangi lalu lalang kapal terbang. Di pintu-pintu garbarata, nampak beberapa petugas sedang memberi arahan kepada penumpang yang baru turun. Karyawan di bandara ini cukup disiplin. Tak ada satupun dari mereka yang nampak berleha-leha dan ngobrol ketika sedang bertugas.


Bandara Changi di lorong menuju MRT

Bandara Changi di lorong menuju MRT

Selesai pemeriksaan imigrasi, kami bergegas menuju tempat pengambilan barang. Setibanya di bagage claim, ternyata hanya barang kami saja yang tersisa, yakni dua buah tas berukuran besar. Untuk menuju downtown Singapura, kami memilih MRT yang terletak di besmen bandara. Bagi Anda yang baru pertama kali naik MRT, Anda akan sedikit bingung ketika hendak membeli tiket. Berbeda dengan KRL Comutter Jabodetabek, tiket MRT Singapura telah dijual melalui mesin-mesin otomatis. Praktis! hanya menekan stasiun tujuan, memasukkan sejumlah uang, maka tiket kereta akan segera keluar. Persis seperti kita membeli minuman ringan melalui soft drink machine.

Mesjid Sultan

Mesjid Sultan

Untuk wisata pertama ke Singapura, kami memilih Kampong Glam sebagai tempat peristirahatan. Meski agak sedikit berjarak dari Marina Centre, namun Kampong Glam memiliki suasana mirip dengan Jakarta. Selain banyak tersedia restoran padang, disini juga tempat bermukimnya para perantau Sumatera dan masyarakat Indonesia lainnya. Setidaknya ada tiga rumah makan padang yang letaknya saling berdekatan. Rumah makan Minang di Muscat Street, Sabar Menanti di North Bridge Road dan Kandahar Street, serta Warong Nasi Pariaman yang berada di ujung Jalan Kandahar. Ketiganya dimiliki oleh perantau Minang asal Sungai Limau, Pariaman. Dari percakapan kami dengan pemilik Sabar Menanti, ketiga restoran ini kini dikelola oleh generasi kedua. Dan diantara mereka, masih memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Oleh karenanya meski sama-sama berbisnis makanan padang, namun tak ada persaingan diantara mereka.

Selain orang-orang Sumatera, disini banyak pula dijumpai masyarakat keturunan Arab. Mereka hampir seluruhnya berprofesi sebagai pedagang. Menjual karpet, jilbab, baju-baju muslim, dan aneka kerajinan lainnya. Bahkan beberapa kios, terutama di Bussorah dan Arab Street, juga menjual produk-produk khas Indonesia, seperti kain batik dan songket. Mesjid Sultan yang berada di antara Muscat Street dan North Bridge Road, menjadi tempat berkumpulnya umat muslim Singapura. Tak jauh dari sana, terdapat The Malay Heritage Centre yang di tengahnya berdiri Istana Kampong Glam.

Rumah Makan Minang di Kampong Glam

Rumah Makan Minang di Kampong Glam

Pukul 16 lebih sedikit, kami tiba di penginapan. Penginapan kami terletak di Jalan Pinang, 150 meter dari Stasiun MRT Bugis. Pengelolanya adalah seorang anak muda yang campin. Ketika kami tiba, dia langsung menyapa dengan hangatnya, membantu mengangkat tas, dan menyodorkan dua buah kunci kamar. Meski hostel kami sangat sederhana, namun kebersihannya cukup terjaga. Selain itu para tamu juga dapat memanfaatkan layanan internet secara gratis.

Selepas Maghrib kami siap berangkat ke Marina Centre. Kami memilih naik bus kota nomor 960, jurusan Woodlands-Marina. Sistem bus kota disini, mirip seperti RMB yang pernah diluncurkan di Jakarta beberapa tahun lalu. Kira-kira 15 menit perjalanan, kami sampai di depan Hotel Ritz-Carlton Millenia. Dari sini kami berjalan kaki menuju Singapore Flyer. Singapore Flyer adalah kincir raksasa yang menjadi ikon baru kota Singapura. Kincir ini memiliki ketinggian 165 meter, dan merupakan bianglala terbesar di dunia. Dari atas kincir, kita bisa melihat Pulau Batam dan Bintan yang berada di seberang selat.

Pedesterian Bussorah Street

Pedesterian Bussorah Street

Cuaca kota singa pada malam hari itu cukup bersahabat. Sehingga tak ada halangan buat kami untuk menyusuri tepi Teluk Marina. Dari pinggir teluk itu kita bisa menyaksikan lampu-lampu yang terpancar dari pusat perkantoran Singapura. Dari sekian banyak pencakar langit yang berpendar, ada satu bangunan yang menarik perhatian saya : Marina Bay Sands. Bangunan ini terdiri dari tiga menara, dengan jembatan penghubung di puncaknya. Jembatan sepanjang 340 meter ini, konon merupakan ruang menggantung terbesar di dunia. Di kaki gedung, nampak Louis Vuitton Maison dengan logo LV cukup mencolok. Butik ini merupakan salah satu mono brand store termewah di dunia.

Marina Bay Sands

Marina Bay Sands

Setelah penat berjalan kaki, kami rehat sejenak di Esplanade Mall. Selain sebagai pusat perbelanjaan, bangunan ini juga diperuntukkan sebagai tempat pertunjukan dan konser. Dari depan gedung berbentuk buah durian ini, kami melanjutkan perjalanan menuju Bugis Street. Bugis merupakan salah satu destinasi belanja favorit turis-turis asal Indonesia. Disini kita bisa mendapatkan suvenir khas Singapura dengan harga miring. Kaos sablon bergambar ikon Singapura misalnya, dijual dengan harga $ 3,5 per potongnya.

Hari kedua di Singapura, kami berkunjung ke Merlion Park. Taman ini terletak di belakang Hotel One Fullerton. Di ujung taman terdapat patung ikan berkepala singa, atau yang biasa dikenal dengan patung Merlion. Patung ini merupakan simbol utama Singapura. Seperti halnya Liberty di New York City atau patung Kristus Penebus di Rio de Jenairo. Menurut catatan Singapore Tourism Board, lebih dari satu juta orang datang setiap tahunnya dan berpose di lokasi ini. Bagi sebagian orang, tidak sah rasanya jika datang ke Singapura namun tak mengunjungi taman Merlion.

Patung Merlion berukuran mini

Patung Merlion berukuran mini

Puas bermain-main di Merlion Park, kami terus menyusuri tepi Sungai Singapura. Tanpa terasa kami telah tiba di depan museum Asian Civilisations. Museum ini merupakan bangunan peninggalan kolonial Inggris. Di dalamnya banyak terdapat koleksi barang-barang antik dari seluruh Asia. Keramik-keramik China, perunggu dari India, arca kuil dari Jawa, semuanya menjadi koleksi museum yang dibuka sejak tahun 2003 ini. Selain patung Raffless, di halaman museum berdiri pula patung setengah badan bapak-bapak bangsa Asia. Setelah berkeliling halaman museum, saya agak kecewa. Ternyata dari sekian banyak patung tersebut tak ada satupun founder fathers bangsa Indonesia. Semula saya berharap akan ada replika Bung Karno di tengah-tengah Ho Chi Minh, Sun Yat Sen, dan Mahatma Gandhi.

Asian Civilisations Museum

Asian Civilisations Museum

Sebelum beranjak dari sini, kami sempat memetik beberapa gambar untuk kenang-kenangan. Tempat ini merupakan salah satu spot terbaik untuk berkodak ria. Di seberang sungai, nampak dengan jelas gedung-gedung bertingkat yang semalam hanya terlihat dari kejauhan. Selain Bank of China, disini berkantor pula Bank OCBC, Maybank, dan Singtel. Satu hal yang menarik di Singapura adalah sungainya yang terawat. Meski hilir sungai ini nampak agak kecoklatan, namun tak terlihat sampah yang mengapung di permukaan.

Beranjak dari Museum Asian Civilisations, kami terus menuju pusat perbelanjaan Orchard Road. Dari Jalan Fullertoan kami menyetop taksi menuju Lucky Plaza. Melewati Stamford Road, terus ke Fort Canning Link dan Penang Road, kami tiba di kawasan Orchard. Orchard merupakan koridor belanja yang cukup ternama. Disini terdapat lebih dari 10 pusat perbelanjaan berukuran sedang. Melihat ukuran shopping centre Singapura yang tak terlalu besar, agaknya masyarakat Jakarta boleh berbangga hati. Sebab disini tak satupun mal yang memiliki retail area melebihi 100.000 m2. Malah sebentar lagi, jika seluruh proyek poros Satrio-Casablanca rampung dibangun, Jakarta akan menggeser Singapura sebagai destinasi belanja Asia Tenggara.

Fullerton Road

Fullerton Road

Sekejap melihat-lihat suasana Orchard, kami segera menuju ke penginapan. Mengambil taksi di samping Mal Paragon, kami meluncur ke Kampong Glam. Lalu lintas disini, agaknya tak pernah mengalami kemacetan. Selain masyarakatnya yang berdisiplin tinggi, jalanan di kota ini tak dipenuhi oleh angkutan umum. Di perjalanan, saya melihat beberapa lebuh yang memakai nama tempat/etnis di Indonesia : Bencoolen Street (Jl. Bengkulu), Bugis Street (Jl. Bugis), dan Bali Lane (Gg. Bali). Selagi asik mengamati nama-nama jalan di pusat kota, tak terasa kami telah tiba di penginapan.

Tepat pukul 12.30, kami check out untuk melanjutkan perjalanan ke Malaka. Dari Singapura, kami memilih bus Delima Express kelas eksekutif. Menurut jadwal, bus akan berangkat dari City Plaza pukul 14.20. Sehingga masih ada cukup waktu buat kami untuk menikmati santap siang. Setelah menanti lebih dari satu jam, bus yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Kami menempati bangku bagian tengah, nomor urut 22-25. Selain kami sekeluarga, di atas bus banyak pula para pelancong mancanegara. Dari paspor yang tertera, kebanyakan mereka datang dari Republik Rakyat China. Meleset 15 menit dari jadwal semula, bus akhirnya meluncur meninggalkan City Plaza.

Merlion Park

Merlion Park

Iklan
Komentar
  1. cuss lanjut baca cerita yang kedua nih,, menarik banget 🙂

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s