Bandara Polonia, Januari 2002. Ini untuk pertama kalinya aku menjejakkan kaki di Medan. Polonia adalah wajah Medan yang sebenarnya : semrawut dan acak-acakan. Meski berstatus internasional, namun dari segi fasilitas dan kenyamanan, Polonia jauh tertinggal dibanding bandara internasional manapun di Indonesia. Setiap harinya, bandara tersibuk di Pulau Sumatera ini, dipaksa untuk menampung 2.000 calon penumpang dalam waktu yang bersamaan. Padahal seharusnya, bandara ini hanya siap menampung 400 orang saja. Akibatnya, di ruang-ruang tunggu banyak calon penumpang yang tak kebagian tempat duduk. Garbarata, belalai penghubung antara ruang tunggu dengan kabin pesawat, satu-pun tak tersedia. Hal ini tentu saja merepotkan para penumpang, terutama ketika hujan turun. Satu lagi yang paling menjengkelkan di Polonia adalah kuli-kuli angkut dan sopir taksi yang setengah memaksa. Mereka selalu menjadi momok “menakutkan”, bagi para pengunjung yang baru menjejakkan kakinya disini.

Dari Polonia, aku dijemput sopir kantor klien tempat ku bertugas. Pak Hadi namanya, orang Melayu asli. Seperti kebanyakan orang Medan lainnya yang banyak cakap, Pak Hadi-pun tak pernah berhenti bercerita. Ceritanya macam-macam, dari soal PSMS sampai makanan khas kota Medan. Selama disini, Pak Hadi-lah yang mengantarkan ku berkeliling kota Medan. Hari pertama, aku langsung menjalankan tugas melakukan stock opname di kantor klien. Kebetulan klien ku ini adalah salah satu perusahaan kosmetik kesohor di tanah air, yang memiliki persediaan beraneka rupa. Jadilah penghitungan inventory di gudang klien, memakan banyak waktu. Siang menjelang petang, semua pekerjaan selesai ditunaikan. Sebelum jam 3 sore, kami telah tiba di Hotel Danau Toba, tempat ku menginap selama disini. Hotel milik keluarga Pardede ini, tergolong hotel tua di Medan. Walau interior kamar masih cukup terawat, namun lorong-lorong hotel terkesan agak angker.


Lapangan Merdeka dikelilingi bangunan berarsitektur art deco

Selesai merapikan pakaian dan membasuh diri, aku putuskan untuk berjalan sore. Lapangan Merdeka yang tak jauh dari hotel, menjadi pilihannya. Lapangan ini merupakan alun-alunnya kota Medan. Banyak bangunan tua yang berarsitekturkan art deco, berdiri di sekitar tempat ini. Di sisi barat lapangan, terdapat stasiun besar Medan. Selain tujuan Belawan, dari sini tersedia pula kereta api rute Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Tanjung Balai. Selain stasiun besar, Bank Indonesia dan Bank Mandiri juga berkantor di kawasan ini. Tak jauh dari situ, kantor pusat London Sumatera (Lonsum) berdiri dengan angkuhnya. Persis di samping Lonsum, tegak sebuah gapura besar yang menjadi gerbang menuju kawasan Kesawan.

Lalu lintas di Kesawan

Kesawan merupakan chinatown-nya Medan. Di awal abad ke-20 dari kawasan inilah muncul pengusaha besar : Tjong A Fie. A Fie merupakan seorang perantau asal Guandong, China Selatan. Namanya berkibar ketika pemerintah kolonial mengangkatnya sebagai kapitan Tionghoa, menggantikan Yong Hian yang wafat. Selain di Medan, pengaruh A Fie juga meluas hingga ke Penang, Singapura, Hongkong, dan Amsterdam. Di Sumatera Timur, ia terkenal sebagai seorang yang dermawan. Disamping membangun rel kereta api dari Medan Kota menuju Belawan, A Fie juga banyak menyumbang untuk pembangunan mesjid, rumah sakit, dan sekolah. Di kawasan Kesawan yang sibuk ini, aku melihat rumah warisan A Fie. Bangunannya cukup unik, perpaduan antara arsitektur Eropa, Melayu, dan Tiongkok.

Rumah Tjong A Fie

Rumah Tjong A Fie

Sejak tahun 1920 hingga masa kemerdekaan, Medan boleh dibilang sebagai kotanya orang China. Mungkin situasi Medan ketika itu, mirip seperti Singapura sekarang ini. Di masa itu, sepertiga dari penduduk kota adalah warga Tionghoa. Bahkan menurut cerita, pada tahun-tahun itu orang China-Medan telah memiliki mata uang sendiri. Selain pekerja keras, Tionghoa-Medan dikenal pemberani. Dalam berbisnis, mereka tak takut ambil resiko. Walau resiko itu kadang mengundang maut. Usaha apa saja pasti mereka sikat, yang penting menghasilkan uang. Melihat gaya hidup mereka, tak salah kiranya jika banyak pengusaha besar tanah air yang lahir dari kota ini. Sebut saja misalnya bos Raja Garuda Mas, Sukanto Tanoto, atau pemilik Wilmar Internasional, Martua Sitorus.

Medan merupakan kota multi-etnis. Selain orang Tionghoa dan penduduk asli Melayu, disini banyak pula bermukim masyarakat asal Jawa. Sejak masa kemerdekaan, orang Jawa menjadi etnis terbesar di kota ini. Perantau Minangkabau banyak pula ku jumpai disini. Di Medan, selain menjadi pedagang, profesi pengacara, dokter, wartawan, dan notaris, banyak diisi orang-orang Minang. Di Jalan Zainul Arifin, kita akan menjumpai komunitas besar masyarakat Tamil. Sejak tahun 1910, bersama orang Jawa dan Tionghoa, mereka telah tiba di Medan sebagi kuli kontrak perkebunan. Orang Keling biasa mereka disebut, menjadi salah satu komponen pembentuk masyarakat Medan yang majemuk.

Istana Maimun di malam hari

Di hari kedua aku berkunjung ke Istana Maimun. Selayang pandang, bentuk istana ini nampak seperti mesjid. Kubah-kubah kecil berwarna hitam, menghiasi atap istana. Dan di sayap kanan-kirinya, menempel dua buah ruangan besar. Pengaruh gaya Arab-Spanyol dengan corak Melayu lokal, tergurat jelas dalam bentuk bangunan istana. Halamannya yang besar dengan rumput-rumput hijau bak permadani, menandakan kebesaran Kesultanan Melayu Deli dahulu kala.

Malam harinya, aku menyempatkan diri mengunjungi salah satu plaza di Medan. Mencarter becak motor dari depan hotel, aku menuju Deli Plaza. Mal dan plaza di Medan memang tak terlalu besar. Namun tenant-tenant ternama, sudah banyak yang membuka outlet-nya disini. Beberapa diantaranya adalah gerai premium milik Mitra Adi Perkasa, yang telah bercokol sejak tahun 1993. Daya beli masyarakat Medan tergolong cukup tinggi. Sehingga tak mengherankan jika banyak sedan mewah keluaran terbaru, yang berseliweran di jalan protokol pusat kota.

Sebelum pulang ke hotel, aku singgah sebentar untuk membeli nasi goreng. Nasi goreng disini, agak berbeda dengan nasi goreng yang ada di Jawa. Selain berwarna merah agak pedas, nasi goreng medan menggunakan emping melinjo sebagai kerupuknya. Setelah aku cicipi, rasanya mirip dengan nasi goreng yang ada di Sumatera Barat. Boleh jadi, nasi goreng ini sebenarnya adalah nasi goreng padang, yang kemudian dibawa oleh para perantau Minang ke kota Medan. Entahlah! apakah ini nasi goreng padang atau nasi goreng medan, yang jelas rasanya cukup menerbitkan selera.

Hotel Danau Toba

Hotel Danau Toba

Hari ketiga, jalan-jalan utama serta kelak-kelok kota ini sudah ku hafal. Dari Sunggal lewat Jalan Gatot Subroto, terus Jalan Guru Patimpus, bersua simpang empat dengan jam besar. Belok ke kanan menuju Lapangan Merdeka, terus ke kawasan Kesawan. Dari Jalan Pemuda, belok kiri, maka akan tiba di Bandara Polonia. Dari simpang jam besar ke arah utara, ada Jalan Putri Hijau. Menyusuri lebuh ini terus ke utara, maka akan tiba di Pelabuhan Belawan. Secara administratif, wilayah kota Medan tak terlampau besar. Jika dibandingkan dengan Jakarta, mungkin luasnya hanya sebesar Kotamadya Jakarta Timur. Pada tahun 2002 lalu, penduduknya berjumlah 2,1 juta jiwa. Jika ditambahkan metropolitan area : Binjai, Stabat, Belawan, dan Tanjung Morawa, mungkin mencapai 3 juta jiwa. Dengan populasi sebanyak ini, Medan tercatat sebagai kota terbesar keempat di Indonesia, setelah Jakarta, Surabaya, dan Bandung.

Keesokan harinya, aku pergi mencari durian medan. Aku berkunjung disaat durian sedang musim-musimnya. Sehingga tak sulit bagiku untuk mencari durian yang dikehendaki. Berbeda dari seleraku yang menyukai durian manis berwarna kuning terang, kebanyakan masyarakat Medan senang dengan durian pahit. Menurut penuturan Pak Hadi, mereka biasa mencampur durian pahit dengan tuak. Ketika sedang panen, harga sebuah durian besar hanya berkisar antara Rp 7.500 – Rp 10.000. Harga ini relatif lebih murah jika dibandingkan dengan di Jakarta.

Gedung Lonsum dan Gerbang Kesawan

Lalu lintas Medan benar-benar semrawut. Disini marka jalan dan rambu-rambu lalu lintas tak pernah diindahkan. Mobil-mobil parkir dan berhenti seenaknya. Di persimpangan jalan, meski traffic light berwarna merah, banyak pengendara yang tak menghentikan laju kendaraannya. Belum lagi para pejalan kaki yang dengan seenaknya menyeberangi jalan, menambah panjang daftar ketidaktertiban lalu lintas di kota ini. Pemandangan lainnya yang cukup menggelitik adalah kondisi angkutan umum. Disinilah mungkin, Anda baru bisa melihat sebuah angkutan umum mengangkut sepeda motor. Kadang kalau sedang membludak, ada pula penumpang yang ikut duduk di atas atap. Selain ugal-ugalan, sopir angkot disini acap kali membunyikan klakson keras-keras. Meski hal ini terasa mengganggu, namun tak ada satupun orang yang memprotes tindakan tersebut. Mungkin membunyikan klakson dengan suara memekik, sudah menjadi budaya masyarakat disini. Sehingga tak ada masyarakat yang merasa terganggu.

Selain ketidaktertiban, tingkat kriminalitas di kota Medan juga relatif tinggi. Kelompok-kelompok preman saling bersaing berebut kavling. Pemalakan dan penjambretan biasa terjadi. Keadaan semacam ini memang sengaja diciptakan penguasa. Agar tak ada yang paling berkuasa di kota ini. Memang begitulah Medan. Sehingga sering preman-preman disini menjawab keheranan para pendatang dengan ungkapan khas mereka : “Ini Medan Bung !”

 
Sumber foto : http://www.pemkomedan.go.id, http://www.skyscrapercity.com
 
Lihat pula :
Masyarakat Minang di Kota Medan

Iklan
Komentar
  1. mobil88 berkata:

    Blog yang bagus…lebih banyak menulis ya šŸ™‚
    http://mobil88.wordpress.com

    Suka

  2. RedbeN berkata:

    Memang begitulah karakter orang Medan. Banyak cakap, kalau bicara seperti teriak, gila judi, beraninya cuma keroyokan dan pasif. Itu semua merupakan percampuran dari beberapa sifat karakter etnis yang ada di kota Medan. Seperti melayu, batak, jawa dan tionghoa.

    Suka

  3. saya rasa apa yang kalian bilang itu tidak ada gunanya. kalian harus menghargai perasaan orang-orang yang tinggal di sana apalagi yang baik-baiknya. intinya kalian cuman menciptakan propokasi. kalian itu tidak mengamalkan pancasila.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s