Sungai Malaka

Sungai Malaka

Meninggalkan City Plaza di Jalan Geylang, bus berlari kencang melintasi Singapore Highway. Satu jam berada di atas bus, kami tiba di titik pemeriksaan keluar Singapura. Meski banyak turis yang meninggalkan kota ini, namun pemeriksaan disini tak berlangsung lama. Setelah 20 menit menjalani pengecekan, bus kembali berangkat. Lepas dari gedung checkpoint Woodland, kami langsung disambut oleh pemandangan Selat Johor yang menawan. Di kejauhan nampak pemukiman masyarakat Suku Laut, berupa rumah-rumah terapung. Tuntas menyeberangi selat sejauh satu kilometer, kami tiba di checkpoint Johor Bahru. Berbeda dengan kantor imigrasi Singapura yang bersih dan tertib, di Johor Bahru suasananya bertolak belakang. Selain petugasnya yang nampak santai, kebersihan disini sangat memprihatinkan. Saya yang sempat “membongkar sauh” di kamar kecil, melihat genangan air dengan jentik nyamuk yang bertebaran.

Jonker Street

Jonker Street

Setelah menempuh perjalanan selama 5 jam 20 menit, kami tiba di Malaka Sentral Bus. Tempat ini merupakan terminal bus antar kota yang juga menjadi pangkalan “kereta sewa” (taksi). Karena hari sudah malam, kami putuskan untuk menyewa taksi tak bermeter. Setelah terjadi deal dengan pemilik taksi, kamipun menuju penginapan. Jarak antara terminal dengan penginapan tak terlalu jauh. Jika menggunakan taksi bermeter, ongkos yang dibayar tak sampai RM 15. Namun pada malam itu, kami harus merogoh kocek hingga RM 20.

Penginapan kami berada di Jalan Kampung Pantai, kawasan Jonker Street. Meski tergolong sederhana, pemandangannya yang menghadap ke sungai, menjadi daya tarik tersendiri. Dari atas balkon, kami bisa menengok Melaka River Cruise hilir mudik membawa para pelancong. Selesai merapikan pakaian, kami keluar untuk mencari makan. Ternyata 5 menit berjalan kaki, kami tiba di pusat kuliner Jonker Street. Malam itu Jalan Hang Jebat ramai sekali. Pedagang-pedagang kecil dengan aneka dagangannya menggelar lapak hingga ke tengah jalan. Macam-macam yang mereka tawarkan, dari suvenir hingga makanan khas Malaka. Di ujung jalan, saya menjumpai salah seorang penjual nasi lemak. Dari perawakan dan caranya bertutur kata, agaknya ia seorang Peranakan. Saya memesan empat bungkus nasi, dengan lauk rendang dan ayam goreng.

Merdeka Square, Jantung Kota Malaka

Merdeka Square, Jantung Kota Tua Malaka

Keesokan paginya, kami siap untuk menjelajahi kota tua Malaka. Sejak empat tahun lalu, Malaka telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu kota warisan dunia. Disini selain bangunan khas Eropa, banyak pula terdapat rumah-rumah dengan desain Tionghoa. Disamping komunitas peranakan China (atau yang dikenal dengan Baba-Nyonya), di Malaka bermukim pula masyarakat keturunan Tamil. Mereka banyak dijumpai di sekitar Jalan Temenggong dan Jalan Bendahara. Dari persimpangan kedua jalan ini, kami berbelok ke arah Merdeka Square. Kawasan Merdeka merupakan jantungnya kota tua Malaka. Di lokasi ini berdiri bekas gedung balai kota (The Stadthuys), Museum Belia Malaysia, dan Christ Church Melaka. Di tengah-tengah, tegak dengan anggunnya Melaka Clock Tower. Tak jauh dari situ, berdiri Istana Kesultanan Malaka dan benteng pertahanan Portugis : A. Fomosa.

Kincir Air Kesultanan Malaka

Kincir Air Kesultanan Malaka

Malaka merupakan sedikit dari kota di dunia yang pernah dijajah tiga bangsa Eropa. Portugis, Belanda, dan Inggris, silih berganti menguasai Malaka selama kurun waktu empat setengah abad. Oleh karenanya, disini banyak berdiri bangunan yang menjadi warisan ketiga negara tersebut. Dari Merdeka Square kami terus menyusuri tepi Sungai Malaka. Tak sampai 50 meter, kami berserobok dengan reruntuhan benteng Kesultanan Malaka. Seperti benteng A. Fomosa, benteng ini sudah tak utuh lagi. Beberapa bagian yang berlubang, nampak dipediarkan keropos dan rapuh. Di dekatnya, berdiri kincir raksasa yang juga merupakan warisan Kesultanan Malaka. Konon kincir air berdiameter 13,2 meter itu, merupakan kincir terbesar di Malaysia.

Selesai berfoto-foto, kami terus mengayunkan kaki menuju Museum Samudera. Bentuk museum ini seperti kapal Flor de la Mar, yang digunakan oleh pelalut Portugis ketika menaklukkan Malaka. Di dalam lambung museum, terdapat diorama kisah perjalanan Kerajaan Malaka. Adapula cerita mengenai Panglima Awang (Enrique of Malacca), budak bangsa Portugis yang sempat mengelilingi dunia bersama Ferdinand Magellan. Dari atas museum, pandangan kami tertumbur pada sebuah bangunan berarsitekturkan Mediterania. Gedung itu adalah Hotel Casa del Rio, salah satu hotel termewah di bandar Malaka.

Museum Samudera

Museum Samudera

Keluar dari Museum Samudera, waktu telah menunjukkan pukul 10 lebih sedikit. Meski masih pagi, namun kami harus segera kembali ke penginapan. Sesuai jadwal yang disusun, kami akan berangkat ke Kuala Lumpur jam 11.30. Menuju ke penginapan, kami menyempatkan diri melewati Jonker Street. Kesini kami hendak mencicipi cendol durian yang terkenal itu. Harga satu mangkuk cendol durian bervariasi. Namun kebanyakan kios mematok harga RM 3,5 per mangkuknya. Berbeda dari yang dibayangkan sebelumnya, sajian ini tak terlampau istimewa. Jika dibandingkan dengan es dawet khas Banyumasan, cendol disini agak terasa beku. Potongan duriannya-pun kurang terasa. Tertimbun oleh gunungan es serut yang menyelimuti permukaan mangkuk. Satu lagi makanan favorit khas Malaka adalah Chicken Rice Ball. Namun karena waktu yang tak mencukupi, kami melewati kesempatan untuk mencicipi nasi bola khas Peranakan itu.

Tinggalkan komentar