Sejak Pilpres 2014 lalu, jagat maya di Indonesia boleh di bilang “gak ada matinya”. Selalu saja ada isu yang bergulir. Mulai dari isu perbedaan mazhab, kebangkitan PKI, hingga urusan remeh temeh seperti kualitas film AADC 2. Terakhir yang cukup menghebohkan adalah terpilihnya Sadiq Khan sebagai wali kota London. Bagaimana bisa, sebuah urusan yang tak ada hubungannya dengan Indonesia, namun tetap saja ramai diperbincangkan di media sosial kita. Bisa saja, dan ini yang terjadi. Kalau tak percaya, coba saja stalking lini masa Facebook Anda ke belakang. Disitu mungkin Anda bisa ketemu bagaimana konflik Suriah dipergunjingkan, dan kemudian dipelintir sebagai isu pertentangan Sunni vs Syiah. Atau kalau Anda masih ingat, bagaimana hebohnya publik kita beberapa bulan lalu disaat Valentino Rossi gagal menjuarai Moto GP. Padahal Rossi bukan siapa-siapa.
Nah, begitu pula dengan berita keterpilihan Sadiq Khan kali ini. Ada yang mengait-ngaitkannya sebagai bentuk pembenaran atau legalitas etik, bolehnya kaum non-muslim memimpin mayoritas muslim. Kepentingannya apalagi kalau bukan untuk Pilkada 2017 nanti. Padahal kalau kita melihat kiprah Sadiq Khan sebelumnya, keterpilihan beliau sebagai wali kota lebih disebabkan karena keberpihakannya terhadap kaum lemah. Dan justru angle inilah yang tak diangkat oleh mereka, yang mati-matian membela pencalonan salah satu politisi yang kini menjabat gubernur ibu kota. Upss. Meski debat di dunia maya cukup menarik, namun artikel ini tak hendak berpanjang lebar menyoroti hal tersebut. Kami hanya ingin mendedah sepak terjang Sadiq Khan, sebagai seorang pembela HAM yang kemudian sukses sebagai elit penguasa di negeri bekas penjajahnya.
* * *
Jika kita melihat kiprah diaspora Pakistan di Inggris Raya, maka akan didapat bahwa banyak sekali diantara mereka yang dewasa ini menorehkan prestasinya hingga ke puncak. Beberapa diantaranya adalah Amir Khan (petinju), Zesh Rehman (pesepakbola), Sayeeda Warsi (politisi), Anwar Pervez (pengusaha), Shazia Mirza (komedian), serta Humayon Dar (akademisi). Dari tokoh-tokoh itu maka akan nampak, bahwa sebagian besar mereka berasal dari etnis Punjab. Kelompok inilah yang juga menjadi akar keluarga Sadiq Khan. Pada tahun 1947 ketika India dan Pakistan berpisah, kakek-neneknya ikut gelombang eksodus ke Pakistan. Di Pakistan, keluarga Khan kemudian menyebar ke beberapa kota. Ada yang di Faisalabad, Islamabad, dan tak sedikit di kota pelabuhan Karachi. Karena alasan ekonomi, pada dekade 1960-an ayahnya Amanullah Khan pergi merantau ke London. Di tempat baru inilah ayahnya menjalani profesi sebagai pengemudi bis selama lebih dari 25 tahun. Tak cukup dengan penghasilan sang ayah, ibunya Sehrun juga ikut bekerja menjadi penjahit. Meski beroleh penghasilan pas-pasan, namun keduanya mampu menghidupi delapan putra-putri mereka, plus mengirimkan uang ke sanak kerabat di Pakistan.
Melihat kehidupan orang tuanya yang tak berkecukupan, Sadiq kemudian nyambi kerja paruh waktu semasa kuliah di University of North London. Beberapa kali ia sempat gawe di proyek-proyek pembangunan. Mungkin karena bergaul dengan para buruh itulah, ia kemudian tertarik bergabung dengan Partai Buruh. Kelak partai inilah yang mengantarkannya sebagai anggota parlemen, menteri, dan kemudian wali kota London. Sebelum menjadi pejabat publik, perjalanan karier penggemar klub Liverpool F.C. itu boleh dibilang relatif singkat. Selesai mengikuti ujian akhir, pada tahun 1994-1997 ia magang menjadi asisten pengacara. Setelah itu hingga tahun 2005, ia menjadi partner di firma hukum : Christian Khan, sebuah kantor pengacara yang didirikannya bersama Louise Christian. Selama menjadi advokat, berbagai kasus telah ia tangani. Tak sedikit kasus diskriminasi dan penistaan hak asasi manusia yang ia bela. Pada tahun 2003, ia pernah menangani kasus diskriminasi terhadap Vijay Jadhav, dokter kelahiran India yang mendapat perlakuan beda dari Secretary of State For Health. Tak cuma itu, ia juga membela Leroy Logan, seorang inspektor berkulit hitam yang diperkarakan karena isu rasial. Kasus lainnya yang kemudian mendapatkan perhatian cukup luas adalah pembelaannya terhadap pemimpin kaum kulit hitam Louis Farrakhan, yang dilarang masuk ke Inggris sejak tahun 1986.
Laku elok dan pembelaannya terhadap orang-orang yang terzalimi, ternyata memberikan berkah tersendiri. Pada tahun 2005, ia dipercaya duduk di kursi parlemen. Di tahun ini pulalah ia meraih “Newcomer of the Year Award”, sebuah penghargaan khusus bagi anggota parlemen dari majalah The Spectator. Ia berhasil mendapat penghargaan itu berkat keseriusannya dalam mengklarifikasi isu teror yang banyak dilakukan umat muslim. Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap kemanusiaan, di bulan Agustus 2006 ia menandatangani surat terbuka kepada Tonny Blair, atas kebijakannya memerangi terorisme di Timur Tengah. Beruntung baginya, di tahun 2008 ketika Perdana Menteri Gordon Brown melakukan reshuffle kabinet, ia terpilih menjadi Menteri Negara untuk Masyarakat. Setahun kemudian ia dipromosikan sebagai Menteri Transportasi, dan sekaligus menempatkannya sebagai menteri muslim pertama dalam sejarah Inggris. Meski prestasinya tergolong moncer, namun kedudukannya itu tak bertahan lama. Ia tak lagi diikutsertakan dalam kabinet Perdana Menteri David Cameron, yang terpilih menggantikan Gordon Brown. Meski tak lagi masuk kabinet, namun di tahun 2010 ia terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Tooting, London. Tahun lalu, Sadiq kembali mencatatkan namanya di parlemen dari daerah pemilihan yang sama. Keberpihakannya terhadap para Londoners, ternyata telah menempatkannya sebagai salah satu politisi Inggris yang cukup berpengaruh.
Setelah digadang-gadang harian London Evening Standard, di bulan Mei 2015 Sadiq menyatakan niatnya untuk mencalonkan diri sebagai wali kota London. Empat bulan kemudian dalam sebuah polling, ia mengalahkan kandidat kuat Tessa Jowell dengan perbandingan 58,9% : 41,1%. Seperti para calon lainnya, Sadiq kerap turun ke masyarakat. Namun yang membuatnya beda, selama masa kampanye ia banyak memberikan harapan baru kepada publik. Ia menepis berbagai isu sektarian, termasuk isu klasik anti-Semit yang banyak dihembuskan lawan-lawannya. Disamping itu, Sadiq juga berhasil membumikan ide-idenya yang pro-rakyat, termasuk penghapusan tarif transportasi umum dan penyediaan rumah murah bagi golongan berpendapatan rendah. Mungkin karena inilah — ditambah kharismanya yang memukau, ia akhirnya memenangkan Pilkada London. Dia berhasil menyingkirkan calon dari kubu Konservatif : Tory Zac Goldsmith, dengan marjin kemenangan 13,6%.
Tak hanya di Pakistan, dimana ratusan buruh dan supir taksi berjoget girang, euforia kemenangannya juga berhembus ke seluruh dunia. Berita tentang keberhasilannya segera menjadi trending topic di berbagai media daring. Kompas.com mencatat, hingga tanggal 9 Mei 2016 warta tentang dirinya tetap bertengger di peringkat atas. Tak kurang media-media besar seperti : The Telegraph, The New York Times, dan Le Monde, mengapresiasi kemenangannya itu. Selain melalui telepon, suami Saadiya Ahmed itu juga kebanjiran ucapan selamat lewat media sosial Facebook dan Twitter. Termasuk dari para politisi dunia, seperti wali kota New York : Bill de Blasio. Dalam cuitannya, wali kota yang sealiran dengannya itu — yakni sama-sama dari kelompok sayap kiri, memuji Sadiq sebagai sosok yang inspiratif. Dia juga berharap bisa bekerja sama dengan wali kota baru itu untuk masa depan yang lebih baik.
sumber gambar : http://www.theguardian.com