Pengaruh K-Pop dan K-Drama, Terhadap Perekonomian Korea Selatan

Posted: 23 Maret 2017 in Ekonomi Bisnis
Tag:, , , , , , ,

Adegan Winter Sonata di Nami Island

Dalam satu dasawarsa terakhir, drama Korea (K-Drama) telah memikat banyak ibu-ibu dan anak gadis di perkotaan. Daya pikatnya bahkan telah menggeser telenovela atau dorama Jepang yang akhir-akhir ini hilang dari peredaran. Kalau Anda punya karib kerabat perempuan, tanyakanlah kepada mereka jalan cerita Descendants of the Sun ataupun Goblin. Bisa dipastikan satu dari empat mereka akan dengan antusias menceritakannya kepada Anda. Tak cuma serial drama, lagu-lagu pop Korea-pun (K-Pop) juga digandrungi masyarakat Indonesia. Bahkan saat konser Super Junior dua tahun lalu, banyak orang yang kabarnya tak kebagian tiket. Padahal harga karcis mereka tergolong mahal. Tak hanya di negeri ini, musik pop Korea ternyata juga melanda Jepang, China, bahkan hingga Amerika Latin.

Di Jepang, fenomena K-Pop dan K-Drama sempat mengguncang industri kreatif negara tersebut. Maklum, sejak tahun 1970-an Jepang menjadi pemain utama industri hiburan di Asia. Mungkin Anda masih ingat sukses besar manga-manga Jepang di pasaran internasional. Dimana komik-komik mereka seperti Dragon Ball, Kung Fu Boy, Topeng Kaca, atau Crayon Sinchan, menjadi bacaan “wajib” anak-anak muda di seluruh dunia. Belum lagi dorama-dorama mereka, seperti Oshin atau Tokyo Love Story, yang menyihir jutaan penonton di banyak negara. Konon pada masa jayanya, Oshin sempat diputar di 82 negara dan menjadi salah satu serial yang ditunggu-tunggu. Namun sejak awal milenium baru, popularitas dorama mulai menurun. Hal ini diawali dengan munculnya Meteor Garden, drama Taiwan yang dibintangi F-4 (2001), yang diikuti oleh Winter Sonata (2002). Sejak saat itu serial-serial Jepang yang biasanya memikat para gadis dan “mamah-mamah muda”, mulai kehilangan tajinya.

Berbeda dengan Taiwan yang gagal mengulang kesuksesan Meteor Garden, Korea Selatan — pasca Winter Sonata — terus memproduksi drama-drama berkualitas. Sebut saja Boys Before Flowers (2009), Secret Garden (2011), atau Descendants of the Sun (2016), adalah beberapa serial yang beroleh rating cukup memuaskan. Untuk industri musik, setali tiga uang. Setelah Psy (Park Jae-sang) berhasil mengguncang dunia lewat singelnya Gangnam Style, musik Korea tak lagi dipandang sebelah mata. Di Youtube, video joget Gangnam itu berhasil meraih audiens sebanyak 2,77 miliar penonton, dengan jumlah “liked” terbanyak sepanjang masa. Tak hanya itu, demam Gangnam Style juga mendapat perhatian dari tokoh-tokoh dunia, seperti Perdana Menteri Inggris David Cameron serta Presiden Amerika Barack Obama. Walau kesuksesan Psy tak terus berlanjut, namun tidak dengan kelompok band Super Junior ataupun TVSQ. Keduanya bahkan berhasil menggaet puluhan ribu penonton dalam setiap konser-konsernya.

 

* * *

Super Junior (sumber : murphysmovers.co.nz)

Kebangkitan industri kreatif Korea Selatan bermula dari kegundahan Presiden Kim Young-sam (menjabat 1993-1998) atas melorotnya performa industri film dalam negeri. Tak ada alasan pasti penyebab jatuhnya industri film Korea. Namun yang jelas kehadiran produk-produk Hollywood telah memukul telak banyak produser film di negara tersebut. Sejak akhir dasawarsa 1980-an, rumah-rumah produksi Hollywood memang banyak memasarkan filmnya disini. Diawali oleh Twentieth Century Fox (1988), yang kemudian diikuti oleh Warner Brothers (1989), Columbia (1990), dan Walt Disney (1993). Hadirnya rumah-rumah produksi tersebut ternyata memberikan efek negatif terhadap perkembangan industri film mereka. Hal ini terlihat dari menurunnya penguasaan pasar film domestik di tahun 1994, yang hanya sebesar 15,9%. Sementara film-film Hollywood berhasil menguasai sekitar 80% pangsa pasar. Melihat realitas tersebut, sang Presiden kemudian mendorong para produser lokal untuk memacu kualitas produksinya. Tak tanggung-tanggung ia juga memberikan subsidi kepada studio-studio film, agar bisa menghasilkan film-film layak ekspor.

Keinginan Kim Young-sam menggarap industri kreatif, dipicu oleh omset film Jurassic Park yang melampaui nilai penjualan 1,5 juta mobil Hyundai. Kim sempat tak habis pikir, bagaimana bisa industri yang bermodalkan kecil bisa mengalahkan pendapatan perusahaan padat modal. Namun kemudian ia yakin, bahwa jika industri kreatif dikelola dengan benar, maka bisa menghasilkan keuntungan cukup besar. Sejak saat itu, ia mulai menggeser orientasi perekonomian Korea Selatan, dari industri berbasiskan manufaktur ke industri kreatif. Jika dibandingkan dengan Amerika ataupun Jepang, langkah Korea Selatan boleh dibilang agak terlambat. Kedua negara tersebut sudah mulai men-shifting perekonomiannya sejak dekade 1980-an. Dimana industri-industri yang memerlukan padat karya, dialihdayakan ke negara-negara berkembang seperti China, India, ataupun Indonesia. Cara ini merupakan langkah strategis mereka untuk meningkatkan pengaruhnya di mata internasional, terutama lewat budaya serta kultur pop.

Benar saja, langkah Korea Selatan yang berorientasi ke industri kreatif ternyata menghasilkan pundi-pundi yang tak sedikit. Pada tahun 2014, dari industri tersebut mereka berhasil mencatatkan nilai ekspor sebesar USD 5,3 miliar. Tak cuma itu, K-Pop dan K-Drama juga memberikan citra positif bagi Korea. Banyak orang-orang awam yang sebelumnya gak tahu budaya Korea, mendadak menjadi Korea minded. Kursus-kursus Bahasa Korea yang sebelumnya tak pernah eksis, tiba-tiba menjadi booming. Bahkan Hebrew University di Jerusalem, pada tahun 2008 lalu membuka kursus Bahasa Korea, dengan dosen-dosen yang juga mengajarkan sejarah, politik, serta budaya Korea. Selain bahasa, kuliner Korea juga sedang menjadi tren di seluruh dunia. Di Indonesia, kita bisa menyaksikan tingginya animo masyarakat untuk mencoba sajian khas Korea. Beberapa restoran mereka seperti Mujigae atau Pat Bing Soo, selalu saja ramai didatangi para pengunjung. Di beberapa pusat perbelanjaan, banyak orang yang rela antri hanya untuk mencicipi semangkuk es serut dengan topping beraneka puding.

K-Pop

Berkat K-Pop dan K-Drama pula, Korea Selatan tak lagi dipandang sebagai negara dunia ketiga. Masyarakat dari negara lain kini sudah bisa melihat, kalau kehidupan disana cukup menyenangkan. Kota-kota yang teratur, taman yang indah, serta budayanya yang santun, merupakan latar yang sering dipertontonkan. Meski realitasnya belum tentu begitu, namun banyak pula masyarakat – terutama kaum hawa — yang terkesima olehnya. Sampai-sampai kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke negeri tersebut melonjak cukup signifikan. Pada tahun 2005, jumlah turis yang melancong ke negara ini hanya sebesar 5,8 juta orang. Namun tahun lalu, angka tersebut naik lebih dari tiga kali lipat menjadi 17,2 juta orang. Bahkan yang lebih mencengangkan, hanya karena menonton Winter Sonata, banyak warga China yang terobsesi untuk mengunjungi Nami Island. Bayangkan! cuma dari satu drama : Winter Sonata, Korea Selatan bisa meraup pemasukan hingga mencapai USD 6,24 juta, atau setara 0,1% GDP mereka. Di Prancis, dari 10 orang fans K-Pop yang disurvei, 9 diantaranya berniat mengunjungi Korea Selatan. Dan 75% dari mereka, sudah membuat rencana untuk mendatanginya. Melihat realitas tersebut kita bisa paham, bahwa inilah sebenarnya yang hendak dituju pemerintah Korea Selatan : mengenalkan kehidupan Korea kepada khalayak luar lewat film dan musik. Lalu dari situ mereka berharap akan memperoleh devisa para pelancong serta kucuran dana investor asing. Ini persis seperti yang dilakukan Jepang 40 tahun lalu : Menarik investasi dengan memperkenalkan budayanya kepada masyarakat luar.

Tak hanya itu, digunakannya produk-produk asli Korea dalam setiap drama mereka — seperti HP Samsung, kulkas LG, ataupun mobil Hyundai — juga telah mengungkit penjualan merek-merek tersebut. Disinilah cerdiknya mereka, semua produk-produk karya anak bangsa disinergikan sehingga menghasilkan keuntungan bersama. Contoh dari hasil sinergi tersebut adalah meningkatnya penjualan produk-produk Korea di Taiwan pada tahun 2004, ketika Autumn in My Heart meraih popularitas di negara tersebut. Menurut jurnal karya Yee Vonn H’ng dan Rashad Yazdanifard : How Does Sponsorship Marketing in Korean Dramas Bring in Lucrative Business?, pada tahun itu banyak warga Taiwan yang membeli produk fesyen, HP, kulkas, serta televisi merek Korea. Yang kemudian menyebabkan terjadinya defisit perdagangan Taiwan sebesar USD 6 miliar.

 

* * *

Grafik Popularitas Merek Korea Selatan di China

Grafik Popularitas Merek Korea Selatan di China (sumber : http://www.l2inc.com)

Ternyata, setiap peningkatan ekspor industri kreatif Korea Selatan, akan memberikan pertumbuhan pada industri lainnya. Menurut penelitian Hyundai Research Institute, setiap 1% kenaikan ekspor industri kreatif, akan meningkatkan ekspor produk-produk konsumer sebesar 0,03%. Melihat besarnya efek industri kreatif terhadap perekonomian Korea Selatan, tidakkah Indonesia tertarik untuk mengikutinya? Memang saat ini Jokowi sedang giat-giatnya mengkampanyekan pariwisata Indonesia. Namun tanpa adanya sinergi dengan industri lain, pertumbuhan tersebut tak terlampau massif. Sebagai catatan, jumlah turis yang mengunjungi Indonesia di tahun 2016 lalu sekitar 12,02 juta orang, naik 15,54% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jika saja pemerintah mau mensinergikannya dengan industri film, sinetron, ataupun musik, mungkin pertumbuhannya bisa berlipat-lipat. Terlebih sinetron dan musik Indonesia sudah memiliki captive market, terutama di negara-negara berbahasa Melayu. Kini tinggal bagaimana mengembangkannya agar bisa diterima masyarakat lain diluar kawasan ASEAN.

Sudah seharusnya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), mau mencari terobosan-terobosan brilian agar produk kreatif Indonesia bisa dipasarkan ke mancanegara. Apalagi Ketua Bekraf saat ini, Triawan Munaf, bisa dibilang cukup kompeten. Salah satu langkah konkret yang bisa direalisasikan adalah mengekspor film-film televisi (FTV) yang banyak menyorot tempat-tempat menarik di seluruh Indonesia. Yang paling mudah adalah menggandeng perusahaan broadcasting internasional, seperti Sony Pictures Television, untuk menggarap FTV-FTV Indonesia agar bisa dijual ke televisi berbayar di seluruh dunia. Supaya FTV juga bisa memberikan multiplier effect, Bekraf juga harus mengkoordinasikannya dengan perusahaan-perusahaan consumer product. Dengan dipakainya produk-produk Indonesia dalam setiap adegan FTV, maka secara tak langsung akan mengungkit nilai produk itu sendiri. Pada tahun 1980-an, cara tersebut pernah ditempuh oleh beberapa rumah produksi. Namun waktu itu yang sering di-endorse adalah produk-produk minuman keras dan rokok.

Untuk memasarkan musik Indonesia, mungkin kita bisa mengikuti langkah Korea yang memanfaatkan Youtube sebagai media promosi mereka. Atau menggunakan media-media sosial kekinian yang banyak diakses oleh masyarakat global. Agar bisa dikonsumsi masyarakat asing, Bekraf juga harus membantu para musisi Indonesia untuk merilis lagu-lagunya dalam Bahasa Inggris. Jika tak ada produser dalam negeri yang mampu mengerjakannya, jangan canggung-canggung untuk menggaet produser internasional. Kalau saja Anggun C. Sasmi serta Daniel Sahuleka bisa go internasional, mengapa yang lain tidak (Lihat : Musisi Indonesia yang Mendunia). Sudah bukan jamannya lagi Bekraf cuma mengikutsertakan film-film Indonesia di ajang festival internasional, atau hanya sekedar melakukan pekerjaan remeh temeh, seperti pemberantasan pembajakan musik. Harus lebih dari itu, out of the box! Sehingga industri kreatif kita bisa semakin mengglobal.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s