
Jokowi di Kampung Deret Petogogan (sumber : tempo.co)
Setelah kepemimpinan Bang Ali, Jakarta diperintah oleh lima orang purnawirawan Angkatan Darat. Mereka adalah orang-orang dekat Presiden Soeharto, dari mantan asisten hingga kawan seperjuangan. Tjokropranolo, yang menjabat Gubernur Jakarta dari tahun 1977 hingga 1982, pernah menjadi asisten pribadi beliau. Meski dekat dengan Presiden, bukan berarti Bang Nolly — begitu ia akrab disapa — melenggang begitu saja ke Balaikota. Sebelumnya ia pernah menjadi asisten Ali Sadikin dan cukup berprestasi dalam dinas kemiliteran. Di masa remaja, ia menjadi pengawal Jenderal Sudirman dan ikut menumpas beberapa pemberontakan. Setelah itu ia menjadi Asisten Intelijen, Kepala Staf Kostrad, dan Direktur di Departmen Pertahanan.
Meski tak semengkilap pendahulunya, namun kinerja Tjokro tak bisa dibilang jelek. Ia banyak menginisiasi program-program yang membantu para pedagang kecil. Seperti penyediaan pasar bagi para pedagang kaki lima. Di Penggilingan, ia membuka perkampungan industri kecil yang menampung kegiatan usaha home industry. Tak cuma itu, ia juga membina para pedagang dan memperkenalkan kredit usaha mikro. Menjelang lebaran ia terkadang membiarkan para pedagang menggelar lapaknya di trotoar. Menurutnya bila dalam lebaran itu pedagang kecil sampai gagal meraup keuntungan, berarti akan gagal hidupnya paling tidak selama setahun.
Kebijakan Bang Nolly lainnya yang juga diperuntukan bagi masyarakat kecil adalah penyediaan rumah susun. Sejak tahun 1978 hingga tahun 1982, tak kurang lima puluh tower rumah susun berlantai empat dibangun di seantero Jakarta. Rumah susun itu tersebar di beberapa kawasan, diantaranya di Tebet, Tanah Abang, Pulo Mas, dan yang terbesar di Klender. Disamping itu, ia juga meremajakan angkutan kota yang tak lagi laik jalan. Ia menghapus oplet — yang telah menjadi sarana angkutan masyarakat sejak zaman Hindia-Belanda, dan menggantinya dengan Mikrolet. Sebenarnya alasan Bang Nolly mengganti oplet, sama seperti Ahok melarang beroperasinya Metro Mini. Namun bedanya, waktu itu kebijakan beliau tak mendapat respons sekeras Ahok. Jajaran Dinas Perhubungan DKI bisa meyakinkan para pemilik oplet, bahwa program penggantian ini tak akan merugikan mereka.
Sehabis Tjokropranolo, Jakarta dipimpin oleh R. Soeprapto. Beberapa kinerja beliau yang bisa dicatat antara lain pemindahan bandar udara internasional ke Tangerang. Sebelumnya, bandar udara ibu kota berada di kawasan padat penduduk : Kemayoran. Karena sudah terlampau crowded, maka lapangan terbang yang dibuka sejak tahun 1940 itu dipindah ke pinggiran kota. Dengan berpindahnya Bandar Udara Kemayoran, maka satu penyebab kemacetan di ibu kota dapat diselesaikan. Penyebab lainnya yang tak kalah penting adalah bertambahnya jumlah kendaraan tanpa diiringi peningkatan ruas jalan. Oleh karena itu dalam master plan 1985-2005 yang ia susun, direncanakanlah Jalan Lingkar Luar. Jalan ini melingkar dari Cilincing-Cikunir-Taman Mini-Pondok Pinang-Kembangan hingga ke kawasan Kapuk.
Setelah masa jabatan Soeprapto berakhir, Presiden menunjuk Wiyogo Atmodarminto sebagai Gubernur selanjutnya. Sebelum menjadi Gubernur, Wiyogo atau Bang Wi pernah menjabat Panglima Kostrad. Pada masa revolusi fisik, ia ikut membela negara dalam Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta. Karena latar belakang militer itulah, ia dikenal sebagai orang yang disiplin. Mottonya adalah mewujudkan Jakarta sebagai kota BMW (Bersih, Manusiawi, dan Berwibawa). Jika Anda mengira cuma Ahok yang berani membongkar bangunan tak berizin, Bang Wi-pun juga melakukannya. Ia pernah membongkar bangunan baru di Pasar Tanah Abang, yang tak memiliki Izin Mendirikan Bangunan. Untuk mewujudkan kota yang tertib, ia kembali melarang becak beroperasi di Jakarta. Ia juga mengatur terminal-terminal bis di Jakarta yang kala itu cukup semrawut. Salah satu pekerjaan Bang Wi yang masih dikenang adalah modernisasi Terminal Blok M, serta pemindahan Terminal Cililitan ke Kampung Rambutan. Untuk mengurangi kepadatan di Pulo Gadung, ia juga mengalihkan bus-bus tujuan Sumatera ke Terminal Rawamangun. Prestasi Bang Wi lainnya yang perlu dicatat adalah swastanisasi pengelolaan sampah. Ia meresmikan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Bantar Gebang pada tahun 1990.
Satu lagi pekerjaan Bang Wi yang luput dari ingatan adalah pembukaan jalan-jalan baru. Dari beberapa ruas jalan yang dibuka, yang cukup penting adalah Jalan Sultan Iskandar Muda, Jalan Panjang, Jalan Tentara Pelajar, Jalan Satrio, Jalan Casablanca, Jalan Basuki Rahmat, serta Jalan Raden Inten. Jalan-jalan itu menghubungkan bagian selatan dan barat ibu kota hingga ke kawasan timur. Tak hanya itu, untuk memperlancar arus lalu lintas di koridor tersebut, Bang Wi juga membangun underpass serta jembatan layang. Terowongan (underpass) Casablanca – yang terkenal cukup angker dan kemudian difilmkan itu, juga selesai pada masa kepemimpinan beliau. Pada tahun 1988, ia mulai membangun Jalan Tol Lingkar Luar fase pertama : Cakung Timur-Cikunir. Dengan selesainya jalan tol tersebut, maka truk-truk barang yang sebelumnya melintasi By Pass, beralih melalui jalan ini dan langsung menuju Tanjung Priok. Untuk mengurangi jumlah kendaraan di pusat kota, Wiyogo juga menerapkan aturan 3 in 1 pada tiga ruas jalan utama : Thamrin, Sudirman, dan Gatot Subroto. Ia juga menyelesaikan Jalan Tol Lingkar Dalam yang menghubungkan Pluit-Tanjung Priok–Cawang serta Semanggi. Agar kemacetan di perlintasan kereta api tak lagi mengular, di tahun 1988 dibangunlah jalan kereta api layang sejauh 10 km. Elevated railway yang menghubungkan Stasiun Manggarai dan Jakarta Kota itu baru rampung pengerjaannya di tahun 1992.
Pada periode 1992-1997, Jakarta dipimpin oleh Soerjadi Soedirdja. Dia merupakan mantan Panglima Kodam Jaya tahun 1988-1990. Dimasa kepemimpinannya, tak ada kebijakan yang mencolok seperti halnya dimasa Ali Sadikin, Tjokropranolo, atau Wiyogo. Soerjadi hanya melanjutkan pembangunan yang belum sempat terselesaikan. Ia meneruskan pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar untuk ruas Kampung Rambutan–Pondok Pinang. Dia juga banyak membangun jalan layang (flyover) serta underpass di seantero kota. Diantaranya flyover Buaran, flyover Satrio, underpass Tanah Abang, dan underpass Basuki Rahmat. Meski tak banyak melakukan pembangunan fisik, namun untuk urusan ketertiban dan disiplin, Soerjadi cukup menonjol. Ia pernah memecat 20 orang aparat Pemprov DKI yang dicurigai memanipulasi pembangunan Terminal Kampung Rambutan. Tak cuma itu, diawal masa kepemimpinannya ia juga memberhentikan 28 orang aparat yang tersangkut manipulasi pembangunan 16 kantor kelurahan. Untuk memastikan tak ada pegawai DKI yang bolos pasca lebaran, ia kerap menyambangi seluruh ruang di Balaikota.
Sehabis Soerjadi, Jakarta dipimpin oleh Sutiyoso. Bang Yos — begitu ia kerap disapa — juga merupakan mantan Panglima Kodam Jaya periode 1996-1997. Pada masa kepemimpinannya, banyak proyek-proyek besar yang digulirkan. Yang paling terkenal adalah pembangunan bus rapid transit : Transjakarta. Semula proyek ini banyak dicibir orang. Tak kurang sejumlah ahli tata kota – yang sotoy — juga menyangsikan terobosan tersebut. Pada 15 Januari 2004, koridor pertama rute Blok M–Jakarta Kota dibuka. Banyak orang yang sebelumnya mencaci maki, malah berbalik mendukungnya. Dukungan luas dari masyarakat, tercermin dari membludaknya penumpang yang menggunakan jasa transportasi ini. Berdasarkan data yang dihimpun oleh jakarta.go.id, pada tahun 2004 Transjakarta berhasil mengangkut sekitar 14.924.423 penumpang per tahun. Di tahun berikutnya, penumpang bus yang mengikuti model Trans-Milenio di Kolombia itu, melonjak hampir 40% menjadi 20.798.196 orang.
Melihat antusiasme masyarakat yang begitu besar, pada tahun 2006 Bang Yos membuka dua koridor tambahan untuk rute Pulo Gadung–Harmoni (koridor 2) serta Pasar Baru–Kalideres (koridor 3). Di tahun berikutnya, ia kembali meluncurkan tiga koridor baru, yakni rute Pulo Gadung–Dukuh Atas (koridor 4), Ancol–Kampung Melayu (koridor 5), serta Ragunan–Dukuh Atas (koridor 6). Di tahun tersebut, jumlah penumpang Transjakarta melonjak berkali-kali lipat, menjadi 61.439.961 orang per tahunnya. Ini merupakan pencapaian luar biasa, mengingat proyek ini tak membutuhkan modal besar. Jika dibandingkan dengan mass rapid transit (MRT) atau light rail transport (LRT), biaya pembangunan busway jauh lebih murah. Menurut perhitungan, biaya pembangunan MRT sepanjang 14 km bisa mencapai USD 900 juta, sedangkan busway hanya sekitar USD 5 juta.
Untuk mendukung Transjakarta busway, Bang Yos juga merancang pembangunan monorail, MRT, dan waterway. Pada tahun 2004, ia sempat menginisiasi pembangunan monorail. Jaringan kereta api ringan itu rencananya akan melayani rute Kampung Melayu–Grogol, serta jalur lingkar Kuningan–Dukuh Atas–Pejompongan–Senayan. Kemudian karena daya angkutnya yang terbatas, proyek yang sudah berjalan beberapa bulan itu dihentikan. Kini di Jalan Rasuna Said dan Asia-Afrika, kita masih bisa menyaksikan sisa-sisa tiang pancang yang rencananya akan digunakan untuk monorail. Untuk mengatasi kemacetan yang semakin akut, Bang Yos juga membangun puluhan jembatan layang serta underpass. Sependek ingatan saya, beliau merupakan Gubernur yang paling rajin membangun underpass dan flyover. Di periode kedua (2002-2007) saja, tercatat ada 21 underpass dan flyover yang berhasil dibangun. Sehingga di akhir masa kepemimpinannya, Jakarta telah mempunyai 42 flyover serta 13 underpass.
Untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, Bang Yos juga membangun beberapa taman kota. Lagi-lagi ia mendapatkan kritik ketika mengalihfungsikan Stadion Menteng menjadi Taman Menteng. Kini taman seluas 2,9 hektar yang berada di tengah-tengah permukiman elit Menteng itu telah menjadi sarana rekreasi baru bagi warga Jakarta. Untuk menghindari penyalahgunaan Taman Monas untuk kepentingan yang tak benar, ia memagarinya dengan teralis setinggi tiga meter. Ia kemudian juga mempercantik taman dengan menata ulang bunga yang ditanam, merenovasi air mancur, serta memindahkan beberapa ekor rusa dari Kebun Raya Bogor.
Satu lagi proyek beliau yang cukup kontroversial adalah pemugaran Bundaran HI. Bundaran yang menjadi ikon kota Jakarta itu diubah menjadi lebih modern dengan lantai-lantai granit dan air mancur yang eksotis. Biaya pemugaran ini konon diperoleh dari perusahaan periklanan yang mendapat hak pemasangan iklan di beberapa titik ibu kota. Sebagai kompensasi, mereka memberikan dana kepada Pemda DKI untuk pemugaran bundaran tersebut. Kasus ini mirip seperti Ahok yang membangun Simpang Susun Semanggi dari dana perusahaan Jepang yang membayar kompensasi kelebihan koefisien luas bangunan. Meski keduanya sama-sama dibangun dari biaya non-budgeter, namun Ahok mendapat apresiasi positif dibanding Bang Yos. Mungkin karena Ahok media darling, jadi hal yang seperti ini dianggap sebagai suatu prestasi.
Setelah dua periode memimpin, pada periode 2007-2012 posisi Gubernur dilanjutkan oleh wakilnya Fauzi Bowo. Bang Foke – begitu ia dipanggil – adalah Gubernur Jakarta pertama yang dipilih secara langsung. Bersama wakilnya Prijanto, ia memenangkan Pilkada 2007 dengan mengalahkan pasangan Adang Daradjatun–Dani Anwar. Pada saat banjir besar di awal tahun 2007, banyak orang yang menuding dirinya — dan Sutiyoso — sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Pada waktu itu hampir 60% wilayah Jakarta dilanda banjir. Oleh karenanya pasca terpilih sebagai Gubernur, Foke langsung “tancap gas”. Ia mengeksekusi pembangunan Banjir Kanal Timur yang sudah terkatung-katung sejak 30 tahun lalu. Kanal sepanjang 23,5 km itu mampu menampung debit air sebesar 390 m3/detik serta mengaliri air dari Kali Cipinang, Kali Sunter, dan Kali Cakung.
Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, Foke membangun dua jalan layang non-tol di atas Jalan Antasari serta Jalan Satrio. Ia juga melanjutkan pembangunan Transjakarta, yakni koridor 11 untuk rute Kampung Melayu–Pulo Gebang serta koridor 12 rute Penjaringan-Tanjung Priok. Dia juga merealisasikan pembangunan Terminal Pulo Gebang yang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari. Terminal ini merupakan terminal bus modern pertama di Indonesia yang terintegrasi dengan jalan tol. Berbeda dengan terminal lainnya di Indonesia, disini rencananya akan diterapkan tiket elektronik. Namun hingga musim mudik lebaran tahun ini, e-ticketing tersebut masih belum difungsikan. Pasca beroperasinya Terminal Pulo Gebang, Pulo Gadung yang sejak tahun 1970-an menjadi tempat keberangkatan bus-bus antar kota, kini hanya melayani bus dalam kota.
Pilkada 2012 menghasilkan Gubernur baru buat Jakarta. Joko Widodo (Jokowi), mantan walikota Solo yang sebelumnya berprofesi sebagai tukang meubel itu, berhasil meraih 2.472.130 suara warga Jakarta. Angka itu jauh di atas raihan petahana yang cuma mendapat 2.120.815 suara. Meski hanya dua tahun memimpin, Jokowi banyak meninggalkan hasil kerja yang mengesankan. Disamping Ali Sadikin dan Sutiyoso, ia boleh dibilang merupakan Gubernur Jakarta yang cukup sukses. Pasca banjir besar di awal tahun 2012, ia langsung membenahi turap Banjir Kanal Barat yang jebol. Ia juga memberesi sampah-sampah di sepanjang aliran Ciliwung serta beberapa sungai lainnya.
Yang tak kalah menarik, ia berhasil memindahkan warga disekitaran Waduk Pluit tanpa ribut-ribut. Ia tak perlu mengerahkan tentara seperti halnya Ahok ketika menggusur warga Kampung Pulo serta Kalijodo. Penyempitan Waduk Pluit di hilir, memang menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir di Jakarta. Waduk yang semula memiliki luas sekitar 80 hektar itu, susut menjadi 60 hektar lantaran banyaknya permukiman liar. Setelah sebagian besar warga berhasil dipindahkan, Jokowi langsung menata waduk tersebut. Mengangkat tanaman eceng gondok yang sudah bertahun-tahun menyemak, serta menggali waduk lebih dalam lagi. Tak cuma itu, ia juga membangun taman serta jogging track di pinggirannya sebagai ruang aktifitas warga.
Untuk menjadikan Jakarta sebagai kota layak huni, ia menggagas kampung deret. Rumah-rumah di slum area yang tak memiliki ventilasi dan jorok, direnovasi menjadi rumah layak tinggal. Menurut salah seorang warga Petogogan, sejak kampungnya diubah menjadi kampung deret, permukiman mereka jadi lebih tertata. Sirkulasi udara, MCK, dan pencahayaan jadi lebih baik. Selain di Petogogan, sejumlah kampung deret lainnya yang dibangun Jokowi antara lain di Tanah Tinggi, Pasar Minggu, Cilandak, Gandaria, serta Cililitan. Disamping kampung deret, Jokowi juga banyak membangun Rumah Susun Sewa (Rusunawa). Diantaranya di kawasan Marunda, Muara Baru, serta Rawa Bebek. Di Rawa Bebek saja beliau membangun 2.090 unit, yang terdiri dari 1.520 unit dalam 14 blok setinggi 6 lantai, serta 570 unit yang terbagi dalam dua tower setinggi 16 lantai.
Yang fenomenal dari Jokowi adalah diluncurkannya dua kartu “sakti” : Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS). Kartu-kartu ini diberikan kepada masyarakat Jakarta yang tidak mampu, agar mereka bisa memperoleh fasilitas pendidikan dan kesehatan secara gratis. Meski dalam pelaksanaannya banyak disalahgunakan, namun dengan kartu ini masyarakat yang sebelumnya tak pernah berobat, jadi bisa dirawat di rumah sakit. Tak pelak, program ini memberikan citra positif dan melambungkan nama beliau. Sehingga masyarakat daerah lain yang juga ingin mendapatkan sekolah dan berobat gratis, banyak yang mendukung dirinya untuk menjadi Presiden. Ending-nya sama-sama kita ketahui, ia berhasil menduduki tampuk kepemimpinan nasional, karena dinilai sukses memimpin ibu kota.