Ahok dan Sejumlah Prestasi Pemimpin Jakarta Dari Masa ke Masa (1)

Posted: 15 Mei 2017 in Sejarah
Tag:, , , , , , , , ,

Pendukung Ahok Berpose di Balaikota (sumber : http://www.kabar24.bisnis.com)

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta usai sudah. Hasilnya sama-sama kita ketahui, Anies Baswedan unggul atas gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama. Banyak orang yang menyayangkan kekalahan Ahok – sapaan akrab Basuki – dalam Pilkada kali ini. Mereka yang terlanjur cinta, bahkan sampai bela-belain mengirimkan bunga, sebagai bentuk dukungan terhadap beliau. Jika ditanyakan, mengapa mereka begitu cintanya kepada Ahok, seolah-olah tak ada manusia lain yang mampu memimpin Jakarta selain dirinya. Maka jawabannya mungkin cuma satu : karena prestasinya yang baik.

Harus diakui dalam dua setengah tahun terakhir, banyak perubahan yang terjadi di ibu kota. Dari penyediaan tempat bermain anak, hingga pembenahan Transjakarta. Tak cuma itu, Ahok juga menginisiasi program kali bersih, menggusur tempat prostitusi Kalijodo (meski kemudian banyak orang menuding, Ahok cuma berani menutup tempat esek-esek kelas bawah), serta merelokasi warga yang tinggal di bantaran kali. Yang membuat saya terkesan adalah program kali bersihnya. Ahok benar-benar bisa mewujudkan apa yang diinginkan oleh para pendahulunya. Ini mirip seperti di Singapura. Ada petugas yang wara-wiri mengambil sampah di sepanjang kali. Malah di Jakarta, rasanya mereka lebih keren. Semuanya berpakaian serba oranye. Selain itu yang tak kalah penting ialah diterapkannya e-budgeting. Sehingga warga bisa langsung mengecek perencanaan dan penggunaan anggaran. Meski begitu, apa yang dilakukan Ahok bukan tergolong extraordinary. Terlebih untuk seorang pemimpin kota yang memiliki anggaran mencapai Rp 70 triliun. Justru kalau kinerja beliau tak seperti itu, kita justru bertanya-tanya.

Namun dibalik keberhasilannya, harus fair pula kita katakan bahwa ia gagal dalam banyak hal. Yang paling mencolok adalah cara berkomunikasinya yang buruk. Mungkin bagi sebagian orang, cara berkomunikasi tidaklah penting. Sampai-sampai ada yang bilang, “biarin gubernurnya ngomong kasar, asalkan dia gak korup.” Ini seperti bentuk pembenaran yang tak logik. Hasilnya bisa kita rasakan, dalam tujuh bulan terakhir kehidupan masyarakat Jakarta seperti ada yang salah. Hampir setiap bulan, ormas-ormas Islam dan beberapa elemen masyarakat lainnya melakukan demonstrasi. Puncaknya adalah pada tanggal 4 November dan 2 Desember lalu, dimana lebih dari satu juta umat Islam turun ke jalan. Banyak orang yang bilang, ini sebagai bentuk intoleransi umat muslim terhadap non-muslim. Tentu pernyataan ini tak berdasar alias asal njeplak! Karena selama ini kehidupan antar umat beragama di Jakarta anteng-anteng saja. Lantas kemudian apa pemicunya? Sebagian tentu karena kasus Al-Maidah yang disebabkan oleh kesembronoan beliau. Sebagian yang lain, dari ketakpuasan kaum miskin kota serta para buruh yang selama ini tak diberlakukan secara adil. Memang dalam beberapa aksi unjuk rasa, ada pihak-pihak yang memprovokasi sehingga Ahok harus dipaksa bersalah. Namun jika saja ia tak bersikap lebay, mungkin masyarakat tak kan tersulut.

demo ahok

Demonstrasi 2 Desember 2016

Kegagalannya yang lain adalah mengenai reklamasi Teluk Jakarta. Reklamasi yang baru berjalan sebentar itu, disebut-sebut telah merugikan para nelayan. Belum lagi masalah banjir dan kemacetan yang masih kerap mengganggu warga ibu kota. Hal lainnya yang tak bisa dianggap remeh adalah pembangunan koridor 13 Transjakarta. Koridor layang pertama yang mengambil rute Tegal Parang – Ciledug itu, dirasakan masyarakat akan menimbulkan banyak masalah. Seperti pengguna yang harus mendaki 50 anak tangga, serta tak tersedianya jalur yang ramah bagi penyandang cacat. Catatan lainnya datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang menyatakan bahwa Ahok telah melakukan pelanggaran HAM. Ia ditengarai telah menggusur sekitar 8.145 KK, yang berdampak kepada mata pencaharian mereka. Salah satunya yang cukup memprihatinkan adalah warga Muara Baru. Mereka yang berprofesi sebagai nelayan, jadi susah melaut karena dipaksa pindah ke Rawa Bebek.

Entahlah. Bagi Anda yang pro dan anti-Ahok, mungkin Anda akan mencari pembenaran masing-masing. Tetapi yang jelas Ahok adalah bagian dari sejarah Jakarta. Dia bersama para walikota dan gubernur lainnya, telah menorehkan karya-karya terbaik untuk ibu kota. Dan dalam dua seri tulisan kali ini, kita akan melihat kiprah para pemimpin Jakarta dari masa ke masa. Mereka juga memiliki segudang prestasi serta gebrakan yang menjadikan Jakarta seperti sekarang ini.

 

* * *

Raden Suwiryo tercatat sebagai pemimpin Jakarta pertama (1945-1947) dan ketiga (1950-1951). Jabatannya sempat diselingi oleh Daan Jahja, karena di pertengahan tahun 1947 ia ditangkap NICA (Belanda) dan diasingkan ke Semarang. Sebenarnya sebelum Suwiryo menjadi walikota, sudah ada orang Indonesia yang menjadi pemimpin Jakarta. Namanya Dahlan Abdullah, dengan jabatan kepala kotapraja. Tetapi karena Dahlan diangkat oleh Dai Nippon dan pada masa pendudukan Jepang, jadilah Suwiryo yang tercatat sebagai walikota pertama. Tak banyak catatan yang bisa menjadi rujukan terkait kinerja beliau. Namun dari buku Robert Cribb : Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949, kita bisa membaca bahwa pada masa itu kota ini sering mengalami instabilitas. Para jawara-jawara kampung, lebih banyak bertindak sebagai pemimpin rakyat tenimbang walikota, camat, atapun lurah. Imam Syafe’i (Bang Pii) serta Muhammad Arif (Haji Darip) adalah beberapa pemimpin informal masyarakat kala itu. Disamping masalah keamanan, banyak rakyat yang juga kesulitan dalam memperoleh sembako. Praktis peran walikota ketika itu hanyalah mengurusi kelancaran pasokan sembako.

Untuk urusan keamanan, sebenarnya para tentara Siliwangi-lah yang banyak mengambil peran. Kebetulan Daan Jahja yang pernah menjabat komandan divisi, diangkat oleh pemerintah sebagai gubernur militer. Cribb mencatat, pada periode 1947-1950 situasi keamanan di ibu kota sering tak menentu. Banyak orang-orang yang pro-Belanda, seperti kaum Indo dan Ambon, yang berkeliaran di jalan-jalan dan mendaku sebagai penjaga keamanan (vigilantes). Tak sedikit dari mereka yang mengancam rakyat sipil dan para pemimpin republik. Sutan Sjahrir, salah seorang pemimpin nasionalis terkemuka, pernah hampir dibunuh oleh para serdadu Ambon. Akibatnya sering terjadi bentrok antara kaum republiken dengan orang-orang pro-Belanda. Dan Daan Jahja berhasil memainkan perannya dalam menangani aksi huru hara tersebut. Setelah Indonesia beroleh kedaulatan penuh, dan Suwiryo kembali ke Jakarta, kedudukannya sebagai walikota dikembalikan. Namun posisinya tak berlangsung lama. Ia segera digantikan oleh Sjamsuridjal, yang sebelumnya menjabat sebagai walikota Bandung dan Surakarta.

Istiqlal

Pembangunan Mesjid Istiqlal (sumber : Collectie Tropenmuseum)

Sjamsuridjal merupakan walikota Jakarta dari Partai Masyumi. Dia ditunjuk oleh Soekiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri yang juga berasal dari partai yang sama. Beberapa program kerja Syamsuridjal yang banyak diingat orang adalah penyediaan pasokan air minum serta pengadaan listrik. Pada saat itu, ia berhasil mengaliri listrik masyarakat setiap tiga hari sekali secara bergantian. Belakangan ia membangun pembangkit listrik di kawasan Ancol, yang kemudian bisa mencukupi kebutuhan listrik selama enam hari. Untuk pasokan air bersih, menurut Peter J.M. Nas dan Manasse Malo dalam Jakarta-Batavia: Socio-Cultural Essays, ia membangun penyaringan tanaman di daerah Karet serta menambah pipa-pipa air dan suplai air bersih dari Bogor. Gawe-nya yang lain adalah membangun Stadion Ikada di Gambir untuk penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional.

Pasca Sjamsuridjal, tampuk kepemimpinan Jakarta dipegang oleh Raden Sudiro. Dia menjadi walikota selama lima tahun (1953 hingga 1958) dan gubernur dua tahun (1958 sampai 1960). Pada masanya, ia membagi kota menjadi tiga teritori : Jakarta Utara (dimana terletak Pelabuhan Tanjung Priok), Jakarta Pusat (Bandara Kemayoran), dan Jakarta Selatan (kota satelit Kebayoran Baru). Di penghujung kepemimpinannya, tepatnya di bulan Mei 1959, terjadi penggusuran besar-besaran. Sekitar 60.000 warga Senayan-Bendungan Hilir direlokasi ke kawasan Tebet. Alasan penggusuran itu dikarenakan Jakarta akan menjadi tuan rumah dua even besar : Asian Games (1962) dan Ganefo (1963). Oleh sebab itu maka dibutuhkan sarana olahraga dan infrastruktur yang representatif. Jadilah di kawasan ini kemudian dibangun Gelanggang Olahraga Bung Karno (GBK) serta beberapa venue lainnya.

Sehabis Sudiro, gubernur Jakarta selanjutnya adalah Soemarno Sosroatmodjo. Dia menjadi gubernur sejak tahun 1960 hingga 1966. Jabatannya sempat diselingi oleh wakilnya Henk Ngantung, karena pada Agustus 1964 beliau dilantik sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Karena kesehatan Ngantung yang tak memungkinkan, di bulan Mei 1965 pemerintah menunjuknya kembali sebagai gubernur. Posisi ini ia emban hingga bulan April 1966. Di era kepemimpinannya, banyak wajah kota yang berubah. Yang cukup kentara adalah poros utama ibu kota, yang sebelumnya terbentang dari Molenvliet – Senen – Jatinegara, diubah ke arah Jalan Thamrin dan Sudirman (Lihat : Dua Bulevar Ibu Kota). Selain pembangunan GBK, Mesjid Istiqlal, dan Jembatan Semanggi, pada masa itu juga marak dibangun marka penghias jalan. Seperti Patung Selamat Datang, Tugu Tani, Monumen Pembebasan Irian Barat, serta Patung Dirgantara. Semua itu hanya untuk memenuhi ambisi Soekarno yang hendak menjadikan Jakarta sebagai kota yang berbudaya. Selain itu, pada masa ini pula mulai dibangun gedung-gedung pencakar langit. Diantaranya Hotel Indonesia, Bank Indonesia, dan pusat perbelanjaan Sarinah.

Jalan Sudirman

Jalan Sudirman, poros baru ibu kota. Foto tahun 1970

Setelah Soemarno selesai menjabat, giliran Ali Sadikin yang menjadi DKI 1. Ia disebut-sebut sebagai gubernur Jakarta yang bertangan dingin. Bang Ali, begitu ia disapa, memiliki segudang prestasi. Dari penertiban becak, pembenahan transportasi, pembangunan rumah susun, hingga penataan kampung. Sebelum Bang Ali memimpin, Jakarta lebih pas disebut sebagai kampung besar tenimbang kota metropolitan. Dari Pasar Minggu ke Jatinegara, terus ke Kwitang sampai Rawa Belong, berjajar kampung-kampung dengan rumah tak beraturan. Pada tahun 1969, sekitar 60% (3 juta dari 4,8 juta) warga Jakarta tinggal di perkampungan kumuh. Untuk menjadikan kampung tersebut menjadi pemukiman layak huni, ia meluncurkan program Muhammad Husni Thamrin (MHT). Program ini diantaranya membenahi jalan masuk kampung yang sering becek. Awalnya program ini berfokus pada pembenahan sarana fisik saja. Namun kemudian fokusnya lebih holistik yang meliputi bina sosial, bina ekonomi, dan bina fisik (Tri Bina). Dalam pembenahan tersebut Bang Ali lebih banyak melibatkan masyarakat dan kepala-kepala kampung. Sehingga pendekatannya lebih partisipatif.

Bang Ali juga dikenal tegas dan tertib anggaran. Namun kelebihannya, Ali jago melobi. Tak pernah terdengar beliau cekcok dengan DPRD apalagi sampai mengata-ngatai mereka. Meski dalam mengambil keputusan ia acap kali bertentangan, namun ia bisa menerangkan duduk persoalan yang dihadapi. Terkait legalisasi judi dan lokalisasi prostitusi misalnya, ia pernah berbantah-bantahan dengan ulama. Namun lagi-lagi karena kepandaiannya menempatkan diri, ia tak sampai didemo orang. Mungkin Anda masih ingat Kramat Tunggak (Kramtung). Ya, tempat pelacuran terbesar di Asia Tenggara itu merupakan ide Ali Sadikin. Ia berpendapat, dengan adanya lokalisasi maka para pekerja seks tak lagi beroperasi di sembarang tempat. Sebelumnya banyak pelacur yang membuka praktek prostitusi di Bina Ria dan pinggir rel Volker (keduanya di kawasan Ancol). Alasan lainnya yang tak kalah penting ialah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Maklum, pada saat itu pemerintah sedang giat-giatnya melakukan pembangunan.

Proyek lainnya yang digagas beliau adalah Kebun Bintatang Ragunan dan Taman Ismail Marzuki. Dua proyek ini memiliki sejarah yang saling berkaitan. Pada tahun 1864, di atas tanah wakaf pelukis Raden Saleh, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan Kebun Binatang Cikini. Karena tak lagi sesuai dengan semangat zaman, di tahun 1968 Bang Ali merelokasi kebun binatang tersebut ke kawasan Ragunan. Setelah itu lahan ini dijadikan Taman Ismail Marzuki, yang berfungsi sebagai tempat berkesenian bagi warga Jakarta. Dengan dibukanya Taman Ismail Marzuki, maka para seniman yang sebelumnya berkumpul di Planet Senen, segera pindah ke tempat ini. Disamping Institut Kesenian Jakarta, di taman seluas sembilan hektar itu juga berdiri Planetarium.

Ali Sadikin Berpose dari Atas Hotel Indonesia di Awal 1970-an (sumber : http://3.bp.blogspot.com)

Ali Sadikin berpose di atas Hotel Indonesia pada awal 1970-an (sumber : http://3.bp.blogspot.com)

Selain beberapa proyek di atas, masih banyak lagi proyek-proyek lainnya yang dikerjakan pada masa kepemimpinan beliau. Seperti Proyek Senen (kini Pasar Senen), Taman Impian Jaya Ancol, serta Jalan H.R Rasuna Said. Meski proyek-proyek tersebut membutuhkan dana cukup besar, namun Bang Ali tak pernah kehilangan akal. Ia kerap menggandeng pihak swasta untuk mewujudkan ambisi-ambisinya itu. Salah satu mitra Bang Ali yang cukup kompeten adalah Ciputra. Pengusaha yang dikenal sebagai maestro properti itu banyak membantu Bang Ali dalam pembangunan Ancol dan Pasar Senen. Ali Sadikin memang salah satu pemimpin Jakarta yang campin. Terkadang ia kontroversial namun juga menyenangkan. Ia dihormati para bawahan serta disegani masyarakat. Karena sikapnya itu, ia bisa bertahan lama. Ali Sadikin menjabat gubernur Jakarta selama 11 tahun 3 bulan. Dan hingga detik ini, ia masih dianggap sebagai pemimpin Jakarta yang paling sukses.

 

Bersambung : Ahok dan Sejumlah Prestasi Pemimpin Jakarta Dari Masa ke Masa (2)

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s