Martin Prosperity Institute baru-baru ini mengeluarkan hasil kajian tentang urbanisasi di negara-negara ASEAN. Dari penelitian tersebut didapat kesimpulan bahwa kemajuan ekonomi ASEAN akhir-akhir ini ditopang oleh meningkatnya arus urbanisasi ke perkotaan. Negara-negara dengan jumlah kaum urban cukup besar, ternyata juga memiliki pendapatan per kapita yang tinggi. Singapura yang 100% penduduknya berada di perkotaan, kini memiliki GDP (PPP) per kapita di atas USD 90.000. Malaysia yang lebih dari 70%-nya kaum urban, mempunyai income per kapita mencapai USD 28.490. Thailand dan Indonesia, dua negara yang tergolong “middle-low” (masing-masing berpendapatan USD 17.750 dan USD 12.432), lebih dari separuhnya tinggal di perkotaan. Sedangkan Filipina dan Vietnam yang masih berpendapatan rendah (masing-masing sebesar USD 8.223 dan USD 6.925), kurang dari 45%-nya yang di perkotaan.

Disamping memberi dampak positif, urbanisasi juga mendatangkan sejumlah masalah. Seperti kemacetan, emisi CO2, pengelolaan limbah, dan tingginya tingkat kriminalitas. Untuk itu dalam tulisan kali ini, kita akan melihat sejauh mana pemerintah Jakarta – satu-satunya kota di Indonesia yang telah diakui sebagai “kota global” — sudah mengelola kotanya dengan baik. Tentu untuk melihat hal ini, kita perlu mempertimbangkan data-data yang disodorkan oleh lembaga pemeringkat internasional, yang sudah berkali-kali mensurvei kota-kota utama di seluruh dunia. Memang sebagian besar dari lembaga tersebut adalah institusi-institusi Barat yang berbasis di Eropa ataupun Amerika, sehingga indikator yang digunakannya-pun juga sering mengacu kepada idealisme mereka. Tak salah jika dalam penilaiannya sering terjadi bias. Meski ada sejumlah indikator yang tak bisa diaplikasikan, namun penelitian ini bisa menjadi acuan pemerintah untuk melihat sejauh mana Jakarta telah menjadi kota layak huni.

Indeks Kota Hijau

Pada tahun 2012, Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Indeks Kota Hijau di seluruh dunia. Ada 118 kota yang di survei, dimana 22 diantaranya berada di Asia. Dari hasil penelitian tersebut, Jakarta berada diposisi “rata-rata” bersama Bangkok, Beijing, Delhi, dan Kuala Lumpur (Lihat Tabel). Hanya ada satu kota yang dikategorikan “well-aboved average”, yakni Singapura. Sedangkan dua kota ASEAN lainnya : Manila dan Hanoi, masih diklasifikasikan “below average”. Indeks Kota Hijau atau Green City Index merupakan salah satu indeks yang menjadi acuan beberapa negara, untuk melihat sejauh mana kota mereka dipersepsikan telah ramah lingkungan. Ada beberapa parameter yang menjadi acuan dalam penilaiannya, antara lain : jumlah emisi CO2, luas ruang terbuka hijau, konsumsi energi, konsumsi air, transportasi publik, serta jumlah limbah yang dihasilkan.

Menurut hasil penelitian EIU, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pemerintah untuk menjadikan kota ini ramah lingkungan. Yang cukup urgen adalah penanganan sampah, dimana Jakarta mendapatkan penilaian terburuk dari delapan indikator yang dinilai. Meski setiap warga hanya menghasilkan sampah sebanyak 292 kg/per tahunnya (rata-rata Asia : 375 kg/per tahun), namun hanya 35% yang dikelola secara memadai (rata-rata Asia : 82,8%). Parameter lainnnya yang juga masih di bawah rata-rata adalah penanganan air limbah. Dimana cuma 1% dari limbah yang dihasilkan telah ditangani dengan baik (rata-rata Asia : 59,9%). Menurut laporan USAID — yang menjadi acuan indeks tersebut, pada tahun 2006 Jakarta hanya memiliki satu pengolahan limbah yang berlokasi di Jakarta Selatan. Dan tentu ini jauh dari memadai.

Satu lagi yang perlu mendapat perhatian adalah penyediaan ruang terbuka hijau. Menurut hasil penelitian tersebut, kota ini hanya memiliki 2 m² ruang terbuka hijau untuk setiap penduduknya (rata-rata Asia : 38,6 m²). Angka ini jauh di bawah Manila, yang meski kepadatannya satu setengah kali lipat lebih tinggi, namun mempunyai ruang terbuka hijau mencapai 4,5 m². Kalau kita lihat kota-kota di negara maju, banyak diantara mereka yang memanfaatkan atap-atap gedung serta balkon sebagai lahan terbuka hijau. Mungkin cara ini bisa pula diadopsi Jakarta, untuk memenuhi target ruang terbuka hijau sebesar 30%.

Untuk penggunaan energi serta emisi CO2, Jakarta sudah berada pada level “di atas rata-rata”. Menurut penelitian tersebut, warga Jakarta hanya menghasilkan 1,2 ton gas CO2 per jiwa/tahun. Jumlah ini jauh di bawah rerata kota-kota utama Asia yang mencapai 4,6 ton. Untuk transportasi publik, Jakarta juga boleh dibilang cukup memadai. Dalam perhitungannya, kota ini telah memiliki transportasi publik sepanjang 0,19 km untuk setiap 1 km². Angka ini sedikit di atas rata-rata kota utama Asia yang cuma sekitar 0,17 km. Sebagai catatan, yang bisa dikategorikan sebagai transportasi publik ialah jenis transportasi yang memiliki lajur khusus. Oleh karenanya, EIU tidak mengklasifikasikan Kereta Commuter Jabodetabek (KCJ) sebagai bagian dari transportasi publik. Ini disebabkan ada beberapa rute KCJ yang masih berhimpitan dengan kereta antar kota. Kalau saja sarana ini juga diperhitungkan, maka angkanya bisa mencapai 0,35/km².

 

Indeks Kota Global

Global City Index 2016 oleh GaWC

Selain Indeks Kota Hijau, yang sering menjadi acuan untuk melihat tingkat kemajuan sebuah kota adalah Indeks Kota Global. Salah satu lembaga yang merilis indeks tersebut adalah Globalization and World Cities Research Network (GaWC). Ada tiga level kelompok kota yang disusun oleh GaWC : Alpha, Beta, dan Gamma. Kelompok Alpha dibagi menjadi empat sub-level, yakni Alpha plus-plus (Alpha ++), Alpha plus (Alpha +), Alpha, dan Alpha min (Alpha –). Sedangkan kelompok Beta dan Gamma masing-masing dibagi menjadi tiga, yakni Beta +, Beta, dan Beta – ; serta Gamma +, Gamma, dan Gamma -. Untuk Jakarta, tahun lalu masuk ke dalam level kota Alpha, bersama Amsterdam, Sydney, Seoul, dan 15 kota lainnya (Lihat Tabel di Atas). Posisi ini juga selevel dengan Kuala Lumpur serta satu tingkat di atas Bangkok. Yang cukup mengejutkan adalah ibu kota Filipina : Manila. Pada tahun 2004, kota itu masih berada di papan bawah (Gamma plus) bersama kota-kota mediocre, seperti Beirut, Bratislava, dan Bengaluru. Namun tahun lalu kota ini sudah sejajar dengan Bangkok, yang sejak tahun 2000 telah berada di level Alpha min.

Sejak indeks ini diluncurkan, hanya dua kota yang masuk ke dalam kategori Alpha plus-plus, yakni London dan New York City. Dua kota ini dimasukkan ke dalam peringkat tertinggi, dikarenakan memiliki magnitude ekonomi paling besar. Keduanya dipercaya sebagai pusat keuangan global, disamping menjadi tempat bermukimnya orang-orang berpengaruh. Meski keduanya berada di level yang sama, namun tahun lalu London masih dianggap yang terdepan. Selain peradabannya yang lebih tua, kota ini juga memiliki fasilitas publik terbaik. London Tube misalnya, merupakan kereta bawah tanah tertua dengan jaringan terbesar setelah Shanghai Metro. Selain itu pedestriannya yang lebar dan rapi, juga menjadi acuan sebuah kota modern. Yang tak kalah menarik ialah kota ini memiliki 300 obyek wisata, dengan 200 museum yang semuanya gratis. Tak salah jika TripAdvisor menempatkannya sebagai kota paling menyenangkan.

Selain GaWC, lembaga konsultan A.T. Kearney juga rajin membuat peringkat kota-kota global. Lembaga yang berbasis di London itu, juga menitikberatkan pada indikator-indikator ekonomi dan bisnis. Dalam perhitungannya mereka menggunakan lima dimensi dengan 27 indikator pengukuran, yang masing-masing diberi bobot berbeda-beda. Untuk dimensi aktivitas bisnis (indikator : pasar modal, jumlah perusahaan global, pengiriman udara, dan pengiriman laut) serta sumber daya manusia (jumlah pelajar internasional, sekolah internasional, dan universitas top), masing-masing mendapat bobot sebesar 30%. Untuk dimensi pertukaran informasi (akses TV berita, kantor berita, kebebasan berekspresi) dan kebudayaan (jumlah museum, even olahraga, turis internasional), masing-masing diberi bobot 15%. Sedangkan untuk dimensi politik (jumlah kedutaan dan konsulat, konferensi internasional, dan organisasi internasional), cuma dikenakan bobot 10%.

Untuk pemeringkatan tahun ini, Jakarta masih belum beranjak dari posisi ke-56. Angka ini jauh di bawah Singapura yang tahun ini naik dua peringkat ke urutan 6. Bangkok dan Kuala Lumpur juga masih berada di atas Jakarta. Keduanya berada di urutan ke-41 dan 49. Sedangkan Manila, yang tahun 2012 lalu sempat berada di atas Jakarta, tahun ini harus puas duduk di urutan ke-66. Posisi ini turun tujuh peringkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berada di posisi ke-59. Kota-kota besar ASEAN lainnya yang masuk ke dalam daftar ini adalah Ho Chi Minh City (#76), Surabaya (#104), Bandung (#110), dan Yangoon (#120).

 

Indeks Kota Berkelanjutan

Sustainable Cities Index 2016

Satu lagi indeks kota global yang cukup bergengsi adalah Sustainable Cities Index (Indeks Kota Berkelanjutan). Indeks ini diluncurkan oleh perusahaan konsultan asal Belanda : Arcadis, bekerjasama dengan Center for Economic and Business Research (CEBR). Ada tiga pilar yang dinilai oleh lembaga ini, yaitu people (sosial masyarakat), planet (lingkungan), dan profit (ekonomi dan bisnis). Tiga pilar ini terbagi ke dalam 32 indikator, diantaranya : tingkat literasi, ranking universitas, tingkat harapan hidup, koefisien GINI (people); ruang terbuka hijau, penggunaan energi terbarukan, sanitasi (planet); serta GDP per kapita, konektivitas broadband, dan tingkat kenyamanan bandara (profit). Tahun lalu ada 100 kota di 32 negara yang diteliti, dimana enam diantaranya berada di kawasan ASEAN. Hasilnya, Jakarta berada di posisi ke-88, di bawah Singapura (#2), Kuala Lumpur (#55), Bangkok (#67), dan Hanoi (#87), namun masih di atas Manila yang berada di peringkat 96.

Jika dilihat dari tiga pilar tersebut, nilai Jakarta jatuh pada bagian profit. Lagi-lagi ini menjadi momok terbesar yang menghalangi Jakarta untuk menjadi kota global terdepan. Seperti indeks-indeks sebelumnya, Jakarta masih dianggap kurang serius dalam menangani transportasi publik (konektivitas), penyediaan infrastruktur, serta kemudahan dalam berbisnis. Untuk pilar sosial masyarakat (people) — pilar terbaik dari tiga pilar yang dinilai — peringkat Jakarta ada di urutan ke-58. Meski bukan yang teratas, namun dari penelitian ini Jakarta sudah dianggap sebagai kota yang aman, masyarakatnya memiliki keseimbangan hidup, serta cost of living yang terjangkau. Untuk pilar lingkungan (planet), kota ini juga masih berada di papan bawah, yakni di urutan ke-85. Jakarta dinilai belum memiliki ruang terbuka hijau yang cukup serta manajemen limbah yang buruk.

 

Indeks Kota Berjejaring

Networked City Index 2014-2016

Indeks Kota Berjejaring atau Networked City Index diluncurkan oleh Ericsson dan Columbia University setiap dua tahun sekali. Indeks ini hendak mengukur sejauh mana sebuah kota telah mengaplikasikan teknologi informasi dalam mengatur kehidupan masyarakat, ekonomi, serta lingkungan. Tahun lalu, ada 41 kota yang disurvei. Dari jumlah tersebut, tiga diantaranya berada di kawasan ASEAN, yakni Singapura, Jakarta, dan Manila. Sedangkan dua kota ASEAN lainnya : Bangkok dan Kuala Lumpur, masih belum diikutsertakan. Dari daftar tersebut, Jakarta berada di urutan ke-30, naik empat peringkat dibanding dua tahun sebelumnya. Singapura, seperti dalam survei-suvei yang lain, berada di urutan teratas (urutan ke-3). Sedangkan Manila melorot satu peringkat ke urutan 34.

Meski Jakarta tak lebih baik dari kota-kota di negara berkembang lainnya, seperti Istanbul (#22), Mexico City (#27), ataupun Beijing (#29), namun keberhasilannya naik empat peringkat patut diapresiasi. Bahkan dalam laporannya yang berjudul “Striving Cities – Jakarta”, Ericsson mengulas tentang keseriusan pemerintah untuk menjadikan kota ini sebagai kota pintar. Dalam laporan itu disebutkan bahwa usaha pemerintah meluncurkan “Jakarta smart city“, memberikan dampak yang cukup positif. Salah satu programnya yang berjalan dengan baik adalah penggunaan aplikasi CROP (Cepat Respon Opini Publik) yang memungkinkan setiap warga untuk melaporkan kondisi lalu lintas, banjir, ataupun jalan yang rusak. Laporan ini bisa diakses oleh masyarakat secara real time di situs smartcity.jakarta.go.id. Tak cuma itu, pemerintah juga meluncurkan aplikasi mobile Qlue Transit yang memungkinkan masyarakat untuk melihat posisi bus Transjakarta serta kondisi antrean penumpang. Nantinya aplikasi ini juga akan terintegrasi dengan beberapa layanan transportasi lainnya, seperti kereta api, pesawat, serta yang dalam proses pembangunan : LRT dan MRT. Untuk mencegah terjadinya praktek korupsi dan kolusi, pemerintah telah menggunakan aplikasi e-procurement dalam pengadaan barang dan jasa.

 

Indeks Kota Berkekuatan Global

Jika indeks-indeks di atas diinisiasi oleh perusahaan atau lembaga-lembaga Eropa, maka indeks yang satu ini dikerjakan oleh sebuah yayasan Jepang : Mori Memorial Foundation. Indeks Kota Berkekuatan Global atau Global Power City Index merupakan sebuah indeks yang bisa menjadi tolak ukur untuk melihat sejauh mana suatu kota memiliki kekuatan di pentas internasional. Pada survei tahun lalu, Jakarta – bersama Johannesburg, untuk pertama kalinya diikutsertakan. Meski hasilnya belum memuaskan — yakni berada di urutan ke-40 dari 42 kota yang disurvei, namun hal ini bisa menjadi acuan bahwa predikat Jakarta sebagai kota global semakin diakui. Sebagai catatan, Manila yang populasinya lebih besar dari Jakarta, belum dimasukan ke dalam indeks ini. Seperti survei-survei lainnya, London dan New York City masih menduduki peringkat teratas. Untuk kota nomor satu Asia yang biasanya diduduki Singapura (#5), dalam indeks kali ini ditempati oleh Tokyo (#3). Kuala Lumpur dan Bangkok yang sudah sejak tahun 2008 disurvei, masing-masing bertengger di posisi ke-32 dan 34.

Ada enam fungsi yang menjadi tolak ukur dalam survei tersebut : Ekonomi, Riset dan Pengembangan, Interaksi Budaya, Livabilitas, Lingkungan, dan Aksesabilitas. Masing-masing fungsi terbagi ke dalam 26 grup indikator serta 70 indikator, antara lain : Ukuran Pasar (GDP, GDP Per Kapita), Vitalitas Ekonomi (Nilai Pasar Saham di Bursa Efek, Jumlah Top 300 Perusahaan Dunia), Sumber Daya Akademik (Jumlah Top 200 Universitas Dunia), Fasilitas Wisata (Jumlah Museum, Jumlah Stadion), Situs Budaya (Jumlah Situs Budaya yang Diakui UNESCO), Interaksi Masyarakat Internasional (Jumlah Turis Asing, Jumlah Pelajar Asing), Keamanan (Tingkat Pembunuhan), Kemudahan Hidup (Tingkat Kepadatan Penduduk), Ekologi (Persentase Penggunaan Energi Terbarukan), Jaringan Transportasi Internasional (Jumlah Penerbangan Internasional), dan Pelayanan Transportasi Dalam Kota (Kepadatan Stasiun, Ketepatan Waktu dan Luas Wilayah yang Terkover Transportasi Publik).

Dari enam fungsi tersebut, Jakarta kedodoran di bagian Riset dan Pengembangan. Kota ini hanya beroleh nilai 2,8 dan berada di posisi terbawah. Dibandingkan dengan Kuala Lumpur (nilai 40,2 dan #29) dan Bangkok (nilai 33,6 dan #33), Riset dan Pengembangan kita sangat jauh tertinggal. Kecilnya nilai Jakarta pada fungsi ini, terutama disebabkan tak satupun universitasnya yang masuk ke dalam peringkat 200 besar dunia. Universitas Indonesia, satu-satunya universitas yang punya reputasi internasional, berdasarkan QS World University Rankings duduk di peringkat 277. Sedangkan dua universitas negeri lainnya, yakni Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Universitas Negeri Jakarta, masih belum diperhitungkan. Tak cuma itu, rendahnya nilai Jakarta pada bagian ini juga disebabkan oleh sedikitnya hasil riset yang ter-publish secara internasional. Ini dikarenakan rendahnya minat para akademisi kita untuk melakukan penelitian yang berbobot.

 

* * *

Pusat Komando Jakarta Smart City

Pusat Komando Jakarta Smart City (foto oleh Muhammad Feza)

Kalau dilihat dari penjelasan di atas, jelas bahwa akar permasalahan di Jakarta adalah tingginya tingkat kepadatan penduduk. Sebagai perbandingan, saat ini Jakarta dihuni oleh sekitar 14.464 jiwa/km². Angka ini jauh di atas kota-kota lainnya seperti Tokyo (6.224 jiwa/km²), Singapura (7.797 jiwa/km²), Shanghai (3.800 jiwa/km²), atau Kuala Lumpur (6.891 jiwa/km²). Kepadatan Jakarta hanya di bawah Manila dan Mumbai yang mencapai 21.000 jiwa/km². Tak salah jika dalam beberapa indeks, kota-kota tersebut masuk urutan terbawah. Sedangkan kota-kota kecil yang berpenduduk kurang dari 1,5 juta jiwa — seperti Amsterdam, Zurich, ataupun Brussels, sering berada di lapisan teratas. Agar kepadatan penduduk Jakarta bisa berkurang, maka pemerintah harus melakukan perluasan wilayah ibu kota ke kawasan Botabek (Bogor, Tangerang, Bekasi). Dengan begitu maka luas kota ini akan bertambah sepuluh kali lipat menjadi 6.392 km², dan kepadatannya menurun hingga 4.957 jiwa/km². Dengan luas sebesar itu, maka tak sulit bagi pemerintah untuk memenuhi koefisien ruang terbuka hijau yang sebesar 30%. Disamping juga bisa melakukan penataan ulang ruang kota, seperti membuat tempat pengolahan limbah, waduk, drainase, CBD, dan pemukiman warga.

Hal lainnya yang juga harus diperhatikan adalah kemudahan dalam berusaha. Ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak masa kepemimpinan Joko Widodo. Dan dampaknya saat ini lumayan terasa. Pada tahun ini, poin Jakarta mencapai 77,5 dibanding tahun sebelumnya yang cuma 69,9. Pencapaian ini bahkan mendapat perhatian dari pejabat Bank Dunia : Morgan Courtney Reeves, yang mengapresiasi upaya pemerintah mempermudah perizinan usaha dan izin bangunan menjadi enam prosedur. Ke depan, hal ini tentu bisa lebih baik lagi. Mengingat persoalan-persoalan administratif seperti ini tak memerlukan biaya yang besar. Kalau saja Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara bisa berjalan optimal, maka peringkat Jakarta – dan Indonesia pada umumnya — akan bisa lebih baik lagi.

 

Lihat pula :
Ketika Orang Asing Mencerca Jakarta : Antara Persepsi dan Kenyataan

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s