
Kru kabin Garuda Indonesia terbaik di dunia
Minggu lalu Skytrax kembali mengeluarkan hasil survei maskapai penerbangan di seluruh dunia. Ada 355 maskapai yang disurvei, salah satunya Garuda Indonesia. Survei yang diselenggarakan pada periode Agustus 2017 – Mei 2018 itu, melibatkan 20,3 juta responden dari lebih 100 negara. Berdasarkan survei tersebut, Garuda Indonesia masih bercokol dalam daftar sepuluh besar terbaik dunia. Malah posisinya naik satu peringkat ke urutan sembilan dibanding tahun 2017 lalu. Ada beberapa kategori yang menjadi penilaian pada survei tersebut, diantaranya ketepatan waktu, keselamatan, makanan, hiburan, pelayanan point to point, kebersihan kabin, serta kru kabin. Untuk kategori kru kabin, tahun ini Garuda Indonesia kembali mempertahankan posisinya sebagai yang terbaik. Ini untuk kali kelima secara berturut-turut Garuda menjadi maskapai terbaik dalam hal keramahan dan pelayanan kru.
Selain masuk sepuluh besar, sejak tahun 2014 Garuda juga diklasifikasikan sebagai maskapai bintang lima. Saat ini ada sembilan perusahaan lain yang juga beroleh rating yang sama, yakni Singapore Airlines (Singapura), ANA All Nippon Airways (Jepang), Asiana Airlines (Korea Selatan), Cathay Pacific Airways (Hongkong), Etihad Airways (Uni Emirat Arab), EVA Air (Taiwan), Hainan Airlines (China), Lufthansa (Jerman), dan Qatar Airways (Qatar). Ke depan, maskapai-maskapai inilah yang akan menjadi pesaing potensial Garuda, terlebih sebagian besar mereka berada di Asia dan melayani rute yang sama. Meski dari segi pemeringkatan cukup menggembirakan, namun dari sisi keuangan maskapai pelat merah itu agak mengkhawatirkan. Selain hutangnya yang menggunung — yakni sekitar Rp 42 triliun, tahun lalu Garuda juga mengalami kerugian cukup dalam. Berdasarkan laporan keuangan per Desember 2017, maskapai itu mencatat kerugian sebesar USD 213,4 juta atau setara Rp 2,88 triliun. Ini berbanding terbalik dengan perolehan tahun 2016 yang berhasil membukukan laba bersih sekitar USD 9,4 juta atau Rp 126,9 miliar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kerugian tersebut, salah satunya kenaikan harga bahan bakar. Ya, dalam rentang waktu dua tahun, harga avtur telah melonjak dua kali lipat. Jika pada bulan Januari 2016 harganya masih sekitar USD 0,93 per galon, maka di penghujung 2017 telah melompat ke kisaran USD 1,82. Kenaikan ini makin diperparah oleh borosnya pesawat-pesawat yang mereka gunakan. Sebagai catatan, hingga kuartal pertama tahun ini, Garuda masih memakai 18 unit pesawat tipe CRJ1000 NG dan 11 unit tipe ATR 72-600. Keduanya memang terkenal haus bahan bakar. Ke depan, rencananya manajemen akan mengganti seluruh tipe tersebut dengan Bombardier seri CS300 yang lebih irit.
Selain bahan bakar, kerugian lainnya juga dipicu oleh banyaknya rute yang kurang efisien. Rute dari dan menuju Eropa disebut-sebut telah menyedot banyak biaya. Terlebih untuk rute jarak jauh (long-haul) Garuda harus transit di bandara lain. Saat ini ada dua rute langsung yang melayani pasar Eropa, yakni Jakarta-London dan Jakarta-Amsterdam. Untuk kedua rute tersebut, mereka harus transit di Singapura. Padahal dengan singgah di bandara tersebut mereka harus mengeluarkan biaya ekstra, seperti ground handling dan penambahan kru kabin. Kini setelah direstrukturisasi, rute Jakarta-London tak perlu lagi singgah di Singapura. Sehingga dari London menuju Melbourne yang sebelumnya ditempuh 30 jam, kini cuma 22,5 jam.
Memang rute Eropa tergolong gemuk dan menggiurkan. Namun biaya yang dikeluarkan-pun juga tak tanggung-tanggung mahalnya. Disamping mahal, persaingannya-pun juga mulai sesak. Ada Qantas, British Airways, Singapore Airlines, dan Emirates. Oleh karena itu, untuk menghindari pendarahan yang semakin parah, Garuda perlu mengevaluasi rute tersebut setiap enam bulan sekali. Kalau dirasa tak menguntungkan, harus secepatnya dihentikan. Menurut saya, alangkah baiknya jika saat ini manajemen Garuda memaksimalkan rute Asia terlebih dahulu. Apalagi pasar di kawasan ini cukup besar dan terus berkembang. China, Thailand, dan Jepang, adalah pangsa pasar yang potensial. Ketiganya merupakan destinasi utama wisata dunia. Selain itu masyarakatnya-pun kini juga mulai banyak yang berpergian. Sebagai catatan, pada tahun 2016 ada sekitar 48,57 juta orang yang berkunjung ke China (termasuk Hongkong, Makau, dan Taiwan); 32,5 juta orang ke Thailand; dan 24 juta orang ke Jepang. Dari jumlah tersebut, 60%-70%-nya merupakan turis Asia Timur, Asia Tenggara, dan Australia. Kalau saja Garuda mau mengotak-atik rute di kawasan ini secara tekun, maka mereka bisa beroleh profit yang maksimal. Untuk rencana pembukaan rute baru ke Eropa, seperti ke Paris, mohon untuk dilupakan dahulu! Masih banyak pilihan yang lain.
Langkah lainnya yang tak kalah penting adalah perampingan organisasi. Ini memang agak sulit, karena sejak dulu Garuda sudah menjadi bancakan banyak pihak. Sehingga tak aneh jika sekarang ada delapan orang yang duduk sebagai direktur. Padahal Singapore Airlines saja – maskapai nomor satu terbaik dunia — cuma punya tujuh direksi. Ini memang khas BUMN, semuanya serba gemuk, serba inefisien. Seperti yang telah kita ketahui, banyak dari direktur BUMN yang merupakan perpanjangan tangan partai politik. Kalau saja pemerintah mau merampingkan struktur organisasi Garuda, maka maskapai ini bisa lebih gesit berlari. Dan yang paling penting, bisa ngirit puluhan miliar rupiah. Ingat, semakin banyak direksi disana, semakin banyak pula kepentingan yang berkelindan. Belum lagi birokrasi yang semakin panjang, sehingga lamban dalam mengambil keputusan.
* * *
Meski sudah melakukan berbagai cara, namun agaknya kinerja keuangan Garuda di semester I tahun ini masih kurang menggembirakan. Maskapai berusia 69 tahun itu masih mengalami kerugian sebesar USD 64,3 juta atau setara Rp 896 miliar. Selain jumlah penumpang internasionalnya yang menurun, kinerja dari anak usaha pengangkutan kargo dan katering-pun juga belum berbuah hasil. Padahal Direktur Utama Pahala Mansury, sudah berjanji akan menggeber pemasukan dari kedua lini tersebut. Belakangan, untuk menyumbat pendarahan, pemerintah berencana mendivestasi kepemilikannya pada anak usaha GMF Aero Asia (GMFI). Rencananya, maskapai tersebut akan melepas sekitar 10% – 12% saham GMFI. Sehingga nantinya, jumlah saham yang ditawarkan kepada investor baru sekitar 20% dari total modal disetor.
Kisruh keuangan di tubuh Garuda, ternyata juga merembet ke urusan personalia. Mungkin karena tak mau terbebani oleh karyawan yang tak perform, manajemen Garuda memutuskan untuk memakai sistem kontrak dalam perekrutan pilot. Karena sistem ini dirasa merugikan, Serikat Pekerja Garuda dan Asosiasi Pilot Garuda berkali-kali mengancam akan melakukan mogok kerja. Aksi mogok yang rencananya digelar pada bulan ini, diperkirakan melibatkan sekitar 1.300 pilot dan 5.000 kru. Namun hingga tulisan ini diturunkan, rencana mogok tersebut batal terlaksana. Pihak manajemen nampaknya sudah melakukan mediasi yang bisa menenangkan kekecewaaan para penerbang. Alhamdulillah! Jika saja aksi ini benar terjadi, maka reputasi Garuda yang terkenal baik selama ini, akan runtuh seketika. Pencapaian sebagai maskapai bintang lima dan maskapai dengan kru kabin terbaik di dunia, akan segera menjadi kenangan. Dan kita semua, tentu tak ingin ini terjadi.