Farid Gaban, pemimpin redaksi media daring Geotimes, dalam artikelnya tertanggal 9 Maret 2019 mengkritik kebijakan Presiden Jokowi dalam membangun jalan tol. Kritik yang dituangkannya pada artikel berjudul “Kritik Pembangunan Jalan Tol Jokowi” itu, mempertanyakan apakah pembangunan jalan tol bermanfaat bagi bangsa kita, terutama jika dilihat dari ongkos yang dikeluarkannya. Menurutnya, jalan tol (akan) memperlemah sistem transportasi publik dan ikut memicu naiknya jumlah mobil pribadi. Ia menambahkan : “Di era Jokowi, jumlah mobil penumpang kecil naik dari 12,5 juta pada 2014 menjadi 16,5 juta sekarang (peningkatan 1 juta unit setiap tahun). Dari jumlah itu lebih dari 70% ada di Jawa. Tak hanya peningkatan itu memperparah kemacetan, tapi juga meningkatkan konsumsi bensin. Konsumsi bensin kita naik dua kali lipat dari 25 juta liter pada awal Pak Jokowi berkuasa menjadi 55 juta liter pada 2018”.
Lebih jauh ia berpendapat : “Konsumsi yang meningkat jelas makin membuat kita tergantung pada bensin impor. Neraca perdagangan kita, yang sekarang sudah defisit, akan bertambah tekor. Dampak ekonominya bisa sangat jauh: defisit transaksi berjalan, melemahnya rupiah, rentan utang, dan peka terhadap gejolak harga minyak dunia. Belum lagi jika kita menghitung biaya tersembunyi: polusi, pemborosan energi dan ekonomi biaya tinggi akibat macet. Jalan tol bukan solusi transportasi dan logistik. Dalam soal ini pemerintah keliru: selalu mengikuti trend, membangun jalan tol untuk mengimbangi kenaikan jumlah kendaraan (yang akan terus keteteran). Yang semestinya dilakukan adalah mengubah trend: memperkuat transportasi publik massal, membatasi transportasi pribadi. Alih-alih memecahkan masalah, jalan tol justru memperparah masalah transportasi.”
Tak hanya Farid, pengamat politik Rocky Gerung-pun juga ikut-ikutan mengkritik kebijakan Jokowi itu. Rocky menilai bahwa pembangunan jalan tol malah merugikan masyarakat dan justru membuat kesenjangan antar masyarakat. Ia menambahkan keberadaan jalan tol justru merugikan masyarakat yang berjualan di pinggir jalan sehingga tidak meningkatkan perekonomian masyarakat. Rocky Gerung beranggapan, para pengusaha daerah menjadi tidak dihampiri oleh para pengunjung lantaran adanya jalan tol. “Pembatik di Pekalongan itu enggak punya penghasilan karena orang langsung pergi beli batik ke Solo, enggak mampir ke Pekalongan. Sate enak yang di Tegal, tidak ada yang mampir. Saya mengkritik itu. Kalau dibilang menghubungkan, justru jalan tol itu membelah masyarakat. Karena begitu ada jalan tol, terbagilah jalan desa utara dengan desa selatan,” paparnya.
Kalau dilihat secara mikro dan parsial, mungkin pendapat Farid dan Rocky di atas ada benarnya. Namun jika kita melihat secara makro, maka pembangunan jalan tol akan sangat menguntungkan masyarakat. Mungkin benar akan ada peningkatan konsumsi bensin karena akan banyak masyarakat yang berpergian. Namun itu hanyalah pilihan. Masyarakat bisa tidak mengkonsumsi bensin, kalau memang mereka tidak memilih untuk berpergian. Yang justru luput (atau sengaja tak diangkat) oleh pengkritik pembangunan jalan tol adalah betapa efisiennya masyarakat dalam berpergian. Karena kini jarak Jakarta-Surabaya yang sebelumnya ditempuh dalam waktu 20 jam, bisa terpangkas hampir separuhnya. Tak salah jika sekarang, banyak orang Jakarta yang ingin berjalan-jalan ke Malang ataupun Bali, dengan membawa mobil pribadi. Belum lagi kemungkinan berubahnya preferensi liburan masyarakat dari luar negeri ke dalam negeri. Orang-orang yang biasanya suka pelesiran ke Singapura, dengan adanya Tol Trans Jawa dan Tol Trans Sumatra, akan memilih pergi ke Bromo ataupun Palembang. Ya, ini semua bisa terjadi, karena adanya kemudahan aksesibilitas.
Benar kata Rocky, dengan adanya jalan tol masyarakat mungkin tak akan lagi makan di warung-warung pinggiran Pantura. Iya!, warung yang abal-abal, yang penjualnya sering ngetok harga dengan cita rasa makanan asal-asalan. Tapi untuk warung-warung yang memang enak, saya yakin masyarakat tetap akan mengunjunginya. Ingatkan dulu, bagaimana ketika Tol Cipularang dibangun, banyak penjual makanan di sepanjang jalur Puncak dan Purwakarta yang mengeluh bakal sepi pelanggan. Tapi setelah tol itu dibuka, ternyata resto-resto yang enak — seperti Rindu Alam dan Sate Meranggi — tetap ramai dikunjungi. Anda bisa bayangkan, dengan dibukanya Tol Trans Jawa, masyarakat Jabotabek yang ingin makan empal gentong di Cirebon atau sate batibul khas Tegal, tak perlu pikir-pikir panjang. Tinggal cuss, tiga jam mereka tiba di lokasi. Apakah itu bisa, tanpa adanya jalan tol?
Selain pariwisata, jalan tol juga memberikan keuntungan kepada para pengusaha real estat. Dengan adanya jalan tol, maka akan muncul pusat-pusat pertumbuhan baru yang sebelumnya tak pernah ada. Di kawasan Cikarang misalnya (40 km dari pusat Jakarta), 10 tahun lalu kita tak membayangkan akan ada gedung setinggi 30 lantai. Kini gedung seperti itu bukan hanya satu, namun ada 28 tower. Meikarta, tempat dimana 28 menara itu berdiri, merupakan kota mandiri besutan Lippo Grup yang tumbuh pesat berkat adanya Tol Jakarta-Cikampek. Selain Meikarta, masih banyak lagi pusat-pusat pertumbuhan di koridor ini yang memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional. Dan dalam 10 tahun ke depan, bukan tak mungkin kita akan menyaksikan pusat-pusat pertumbuhan baru di Kertajati atau Mojokerto, yang lahir karena massifnya pembangunan jalan tol di Pulau Jawa.
Ini baru bicara sektor pariwisata dan real estat. Belum lagi efisiensi distribusi logistik. Siapa bilang harga-harga pangan yang kita konsumsi tak ada kaitannya dengan jalan tol. Kini, orang-orang di Madura bisa membeli bawang merah produksi Brebes nyaris dengan harga yang sama dengan orang-orang di Tegal. Mengapa sekarang bisa, dulu ndak bisa. Karena dulu gak ada jalan tol. Bawang merah yang rentan itu, dulu harus dibawa melalui jalur Pantura, kemudian naik feri menyeberangi Selat Madura. Kalau terjadi kemacetan di jalur tersebut, atau laut sedang tak bersahabat, jadilah bawang merah itu membusuk di dalam truk. Akibatnya harga bawang merah di Madura jadi lebih mahal. Begitu pula dengan barang-barang manufaktur. Kendaraan bermotor yang diproduksi oleh Astra di Cikarang, akan cepat sampai ke tangan konsumen dengan adanya jalan tol. Dalam proses produksi, karena spare part-nya bisa datang tepat waktu, pengusaha tak perlu lagi menyewa gudang mahal-mahal. Akibatnya ongkos produksi bisa terpangkas dan harga produk-pun jadi bisa ditekan. Kalau sudah begini, siapa lagi yang bakal diuntungkan kalau bukan konsumen.
Lalu Farid bicara mengenai isu polusi dan transportasi massal. Oke, ini memang isu utama yang harus diperhatikan pemerintah. Pengembangan transportasi massal yang berbasis rel listrik misalnya, memang harus digalakkan. Kereta listrik juga harus menghubungkan antar kota-kota besar di Indonesia. Tetapi kendalanya lagi-lagi masalah permodalan dan teknologi. Sudahkah BUMN kita sanggup untuk membuatnya? Saya rasa belum. Oleh karena itu, kita perlu investor asing — seperti dari Jepang misalnya, untuk meminjami modal dan alih teknologi. Itupun kita perlu hitung-hitungan yang matang. Jangan cuma karena mengejar transportasi ramah lingkungan, kita harus berhutang dan mengeluarkan modal cukup besar. Disamping itu, transportasi seperti kereta api juga ada batasnya. Kereta api tentu tak bisa menjangkau kota-kota kecamatan di pegunungan. Kalaupun bisa, ia tak akan selincah mobil ataupun truk. Maka satu-satunya cara untuk menembus kawasan pegunungan ialah dengan membangun jalan tol. Itulah mengapa, selain mengembangkan kereta cepat, saat ini China juga membangun jaringan tol yang cukup massif.
Tahukah Anda, berapa panjang jalan tol yang dimiliki China saat ini? 288.000 km. Bandingkan dengan Indonesia yang baru membuka 1.854 km, namun ributnya bukan alang kepalang. Malaysia saja yang luasnya kurang dari seperlima Indonesia, sudah punya jalan tol sepanjang 1.821 km. Dan jumlah ini masih terus ditambah hingga mencapai 2.040 km. Mengapa Malaysia yang jauh lebih kecil dari kita terus menggeber pembangunan jalan tol. Karena mereka tahu, agar investor mau datang dan menanamkan dananya disana butuh infrastruktur jalan yang baik. Kini dengan jaringan tol terpanjang di Asia Tenggara dan nomor tiga di Asia (setelah China dan Jepang), Indonesia sudah menyelesaikan satu masalah yang menghambat investasi. Sekarang tinggal bagaimana Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Luar Negeri bersinergi, mempermudah regulasi dan melobi para investor kakap agar mau membenamkan dananya di negeri ini.
sumber gambar : http://www.geotimes.co.id