Meme Pindah Ibu Kota

Tanggal 26 Agustus 2019 lalu, Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan lokasi ibu kota baru Republik Indonesia. Lokasi yang dipilih ternyata berbeda dari apa yang selama ini sempat diisukan. Kalau sebelumnya kota Palangkaraya digadang-gadang akan menjadi ibu kota baru, namun ternyata yang dipilih adalah dua kabupaten di Kalimantan Timur, yakni Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. Isu pemindahan ibu kota sepertinya selalu menjadi jualan setiap pemerintahan yang bingung mengatasi kesemrawutan Jakarta. Pada pertengahan 1990-an, Soeharto pernah mewacanakan akan memindahkan ibu kota ke Jonggol. Wilayah di tenggara ibu kota itu dinilai cocok sebagai bakal ibu kota baru, karena masih memiliki lahan yang cukup luas. Selain itu letaknya yang hanya berjarak 40 km dari pusat kota (Gambir dan sekitarnya), dinilai tak akan terlalu merepotkan. Sebab hampir keseluruhan pegawai pemerintah pusat berdomisili di Jabodetabek. Namun hingga Soeharto lengser, wacana ini hanya tinggal wacana. Para pencari rente yang sudah memburu tanah di kawasan tersebut, banyak yang gigit jari.

Kemudian pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), isu ini kembali bergulir. Jika Soeharto jelas menunjuk Jonggol sebagai calon ibu kota baru, SBY sampai masa kepemimpinannya berakhir tak pernah memberikan pernyataan yang klir terkait rencana pemindahan ibu kota. Nah, tahun ini giliran Jokowi yang menggulirkan ide pemindahan ibu kota baru. Alasan pemindahan ibu kota itu, bagi sebagian kalangan cukuplah realistis. Mengingat tingginya beban Jakarta saat ini, yang berperan sebagai pusat bisnis, pusat budaya, pusat militer, sekaligus pusat pemerintahan. Lalu kalau Jakarta terbebani, mengapa kemudian pilihannya jatuh ke Kalimantan Timur. Pemerintah beralasan, untuk melakukan pemerataan pembangunan, maka ibu kota baru haruslah berada di tengah Nusantara. Memang ide tersebut terkesan elok, mengingat pembangunan saat ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera. Namun kalau untuk mewujudkan itu harus memindahkan ibu kota ke tempat yang lengang, rasanya kita hanya membuang-buang uang.

* * *

Mungkin sebelum lebih jauh menentukan wilayah mana yang cocok untuk menjadi ibu kota baru, ada baiknya kita menoleh ke negeri orang untuk menengok apakah mereka jadi lebih baik setelah melakukan pemindahan ibu kota. Pertama, Malaysia. Negeri jiran itu berhasil memindahkan ibu kotanya ke Putrajaya pada tahun 1999. Kota tersebut boleh dibilang tertata dengan apik. Jalan-jalannya dibangun cukup besar, dengan trotoar dan ruang terbuka hijau yang luas. Tak hanya itu, di tengah-tengah kota juga terdapat danau, dimana para pelancong bisa bersampan ria. Tak ketinggalan Mesjid Putra yang cukup megah, berhadap-hadapan dengan kantor Perdana Menteri yang tak kalah megahnya. Dalam kesempatan kunjungan kesana, penulis sempat terkagum-kagum dengan kemegahan ibu kota Malaysia itu. Namun tahukah Anda, berapa biaya yang dikeluarkan pemerintah Malaysia untuk menyiapkan ini semua? Tak kurang USD 8,1 miliar, atau setara Rp 115 triliun jika menggunakan kurs saat ini. Perlu dicatat, jumlah tersebut dikeluarkan pada dasawarsa 1990-an, lebih dari dua dekade lalu. Saat ini mungkin biayanya bisa membengkak tiga sampai empat kali lipat.

Ternyata, meski kantor pejabat eksekutif telah berpindah ke Putrajaya, namun gedung parlemen, istana Yang Dipertuan Agung, dan sebagian kantor yudikatif masih di Kuala Lumpur. Kini setelah lebih dari 15 tahun pusat pemerintahan di Putrajaya, sudahkah apa yang dicita-citakan Mahathir tercapai? Entahlah. Yang jelas hingga saat ini Kuala Lumpur masih saja macet. Dengan kantor yang terpisah-pisah semacam ini, penyelenggaraan negara-pun terasa kurang efisien.

Satu lagi ibu kota baru di Asia Tenggara adalah Naypyidaw. Kota ini merupakan ibu kota Myanmar sejak tahun 2006 lalu. Naypyidaw diputuskan menjadi ibu kota baru hanya dalam waktu dua hari. Konon keputusannya hanya berdasarkan halusinansi atas ketakutan pimpinan junta militer ketika itu. Naypyidaw terletak sejauh 320 km di sebelah utara ibu kota lama : Yangon. Kalau dilihat secara geografis, memang kota ini berada di tengah-tengah. Namun berdasarkan penjelasan resmi pemerintah, pemindahan ibu kota ke Naypyidaw dikarenakan Yangon sudah terlampau padat, sehingga sulit bagi pemerintah untuk melakukan perluasan kantor-kantor pemerintahan. Alasan lainnya adalah buruknya iklim di kota Yangon, dimana pada tahun 2008 lalu kota ini pernah diserang topan Nargis yang menewaskan lebih dari 100.000 jiwa.

 

* * *

Melihat pemindahan ibu kota Malaysia dan Myanmar, agaknya kita bisa mengambil pelajaran. Pertama, dengan pemindahan ibu kota tak serta merta problem yang dihadapi oleh ibu kota lama segera sirna. Kuala Lumpur yang katanya akan lebih tertib dan bebas macet, ternyata juga masih mengalami jam yang akut. Lalu untuk Jakarta, apakah dengan dipindahnya ibu kota ke Kalimantan akan mengurangi tingkat kemacetan. Saya meragukannya. Karena berdasarkan Badan Pusat Statistik, jumlah aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di pemerintahan pusat hanyalah berjumlah 870.000 orang. Asumsi masing-masing memiliki dua orang anak, maka jumlah anggota keluarga ASN Pusat sebanyak 3,48 juta orang. Angka ini setara dengan 10% populasi Jabodetabek. Kalaulah yang berpindah hanya 10%, maka tak terlalu signifikan untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Lalu mengenai penurunan tanah yang pernah dikeluhkan oleh salah satu ahli tata kota, agaknya juga tak terselesaikan dengan pemindahan ibu kota. Selain jumlah penduduk yang berkurang cuma 10%, penurunan permukaan tanah sebenarnya bisa diatasi dengan pelarangan pengambilan air tanah. Kalau saja sebagian masyarakat Jakarta masih menyedot air tanah untuk kebutuhan sehari-hari, maka penurunan permukaan tanah akan terus terjadi. Oleh karenanya, perluasan jaringan air minum ke seluruh penjuru kota adalah suatu keniscayaan.

Permasalahan kedua yang bakal timbul adalah berkurangnya anggaran untuk sektor lain karena dialokasikan untuk pembangunan ibu kota baru. Berdasarkan perhitungan Bappenas, biaya yang dikeluarkan untuk membangun ibu kota baru itu sekitar Rp 466 triliun. Kabarnya, untuk menghindari utang dan meminimalisir penggunaan APBN, rencananya pemerintah akan menjual 30.000 Ha dari 40.000 Ha lahan yang akan dibangun kepada pihak swasta. Kalau saja lahan tersebut dijual seharga Rp 2 juta/m², maka pemerintah akan beroleh dana Rp 600 triliun atau surplus Rp 134 triliun dari total biaya pembangunan. Meski begitu, menurut hemat saya perhitungan tersebut agaklah berlebihan. Pihak swasta tentu akan berhitung untuk mau membangun rumah jika harga tanah yang dibeli semahal itu. Mau dijual berapa? Sebagai contoh, kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD) saja yang harga perolehan tanahnya masih berkisar Rp 100 – Rp 250/meter, hingga kini belum separuhnya terbangun. Padahal letaknya cuma sepelemparan batu dari Jakarta, dan memiliki pangsa pasar cukup besar. Lalu, asumsi Rp 600 triliun itupun kalau semuanya laku terjual. Kalau cuma sebagian, katakanlah 20% atau seluas landbank BSD, maka pemerintah harus mengalokasikan dana sebesar Rp 346 triliun. Lalu dari mana uang itu didapat?

Permasalahan ketiga yang paling pelik adalah dipindahkannya 870.000 orang pegawai beserta anggota keluarganya. Bisa dibayangkan, keluarga yang sudah settle di Jakarta lalu dipaksa pindah ke luar pulau. Lebih complicated lagi kalau istri/suaminya juga bekerja. Mereka yang mau ikut pasangan ke ibu kota baru, mesti meninggalkan pekerjaannya saat ini. Begitupula dengan anak-anaknya yang masih bersekolah. Jika belum ada sekolah yang cocok di ibu kota baru, tentu mereka akan berpisah dengan orang tuanya. Jadi dengan pemindahan ibu kota baru ini, anggota keluarga ASN Pusat bisa tercerai berai. Dengan keluarga yang terpisah seperti ini, bisakah para pamong kita bekerja secara efektif. Sudahkah pemerintah memikirkan dampak sosialnya? Kalau kita mengambil contoh Malaysia misalnya, jarak Putrajaya dengan Kuala Lumpur hanyalah 1 jam perjalanan. Jadi para ASN disana, meski bekerja di ibu kota baru, masih bisa ulang-alik ke Kuala Lumpur.

Permasalahan keempat adalah membengkaknya biaya perjalanan para pelaku usaha, mengingat sebagian besar kegiatan ekonomi berada di Jakarta. Tak terbayang, berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh para bisnismen jika hendak bertemu pejabat pemerintah di Kalimantan. Jangan bilang : “kan sekarang semuanya bisa online”. Gak semua pengajuan ijin dan pengawasan bisa dilakukan secara online. Adapula hal-hal dimana pelaku usaha harus bertemu langsung dengan pihak pemerintah, atau sebaliknya. Kalau memang dipaksakan jua, sudahkah negara memiliki sarana penghubung yang murah antara Jakarta dan Balikpapan. Jika cuma mengandalkan pesawat dengan harga tiket seperti sekarang, ya bisa tekor! China misalnya, mereka telah memiliki jaringan kereta cepat yang terhitung murah, yang menghubungkan ibu kota pemerintahan (Beijing) dengan pusat bisnis (Shanghai dan Hongkong) serta pusat pengembangan teknologi (Shenzhen). Begitupula dengan Amerika Serikat, yang memiliki jaringan kereta dan jalan raya yang menghubungkan Washington D.C. (ibu kota) dengan New York City (pusat finansial).

 

* * *

Kalau sudah begini, lalu bagaimana solusinya? Kalau menurut saya, sebaiknya pemerintah menata ulang kawasan Jabodetabek. Masih banyak tanah-tanah kosong yang bisa dijadikan ibu kota baru di kawasan ini. Di Sukatani, Parungpanjang, Jonggol, atau Tigaraksa, masih banyak lahan yang bisa dimanfaatkan untuk calon ibu kota baru. Namun jika pemerintah tetap bersikeras mau memindahkan ibu kota keluar Jabodetabek, sebaiknya tempat yang dipilih tak jauh dari Jakarta. Majalengka mungkin bisa menjadi alternatif. Selain sudah ada Bandara Kertajati, kawasan ini juga terhubung dengan jaringan jalan tol dan akan dihubungkan oleh kereta cepat dari/ke Jakarta. Jika kabupaten ini menjadi ibu kota, maka para ASN yang tinggal di Jabodetabek masih bisa ulang alik. Ini mirip seperti Putrajaya dengan Kuala Lumpur.

Jika alasan pemerintah memindahkan ibu kota ke Kalimantan untuk pemerataan pembangunan, saya kok kurang yakin ya. Kalau tujuannya ingin pemerataan, bukankah negara kita sudah memiliki Undang-undang Otonomi Daerah. Dimana disitu diatur mengenai kewenangan daerah beserta dana yang dapat mereka kelola. Tinggal implementasinya saja yang diawasi. Kalau pelaksanaannya kurang greget, mungkin pemimpin daerahnya yang kurang inovasi. Atau aturannya yang terlalu kaku. Kalau peraturannya masih kaku dan tak adaptif, ya direvisi saja, sehingga para pemimpin daerah mau menggunakan anggarannya. Seperti yang diketahui, kini banyak pemerintah daerah yang enggan membelanjakan anggaran karena takut ditangkap KPK. Kalau persoalannya seperti ini, meski ibu kota dipindah ke Papua sekalipun, pemerataan pembangunan juga tak kan terwujud.

 

sumber gambar : http://www.liputan6.com

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s