Tahun ini tepat 100 tahun Bahasa Inggris diakui sebagai bahasa internasional. Adalah Perjanjian Versailles yang menjadi titik balik diakuinya Bahasa Inggris sebagai lingua franca. Sebelumnya, bahasa diplomasi yang digunakan oleh masyarakat internasional adalah Bahasa Perancis. Namun ketika perjanjian perdamaian Perang Dunia I itu disusun, Perdana Menteri Amerika Serikat Woodrow Wilson mensyaratkan agar perjanjian juga dibuat dalam Bahasa Inggris. Wilson beralasan kongres Amerika harus menyetujui isi perjanjian tersebut, dan mereka hanya mengerti dalam Bahasa Inggris. Lucunya, meski Inggris menjadi salah satu dari empat negara pemenang perang — bersama Amerika, Perancis, dan Italia, Perdana Menteri Inggris David Lloyd George tak memaksa penggunaan Bahasa Inggris dalam kesepakatan itu.
Penandatanganan Perjanjian Versailles boleh dibilang agak canggung. Karena ini untuk kali pertama Amerika turut terlibat dalam urusan negara-negara Eropa. Perancis yang ketika itu memiliki bargaining politik cukup besar, harus mau mengalah mengikuti keinginan Amerika. Tak hanya dalam penentuan batas negara, Bahasa Inggris — yang digunakan oleh mayoritas orang Amerika — juga mulai disejajarkan dengan Bahasa Perancis. Konon untuk menghambat naiknya popularitas Bahasa Inggris, Perdana Menteri Perancis Clemenceau juga menawarkan agar Bahasa Italia juga dipakai dalam perjanjian. Namun entah mengapa akhirnya hanya dua bahasa saja yang digunakan, yaitu Perancis dan Inggris. Keterlibatan Amerika dalam percaturan politik benua biru ternyata tak cuma sampai disini. Setelah Perang Dunia I, negara Paman Sam mulai sering tampil dalam urusan militer dan ekonomi negara-negara Eropa. Banyak perjanjian dagang, hukum, dan aturan-aturan militer yang kemudian ditulis dalam Bahasa Inggris.
Pasca-Perang Dunia II, Bahasa Perancis sudah tak relevan lagi. Masyarakat internasional mulai beralih menggunakan Bahasa Inggris sebaga bahasa pergaulan. Harus diakui Amerika-lah yang berperan penting menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Meski banyak orang Inggris tak mengakuinya, namun sejarah mencatat bahwa sebelum orang Amerika menemukan produk-produk mutakhir, Bahasa Inggris tak pernah menjadi lingua franca. Penemuan komputer dan internet, menjadi salah satu pemicu dipakainya Bahasa Inggris secara besar-besaran. Para programmer — yang sebagian besarnya adalah orang Amerika, melakukan kodifikasi perangkat lunak dengan menggunakan bahasa American English. Pemakaian Bahasa Inggris tak mendapat resistensi dari masyarakat setelah kebudayaan pop Amerika menyebar ke seluruh dunia. Anak-anak muda yang gandrung dengan film-film Hollywood dan musik pop, mau tak mau harus memahami Bahasa Inggris.
Pengguna Bahasa Inggris
Di akhir abad ke-19, meski Imperium Inggris menjadi yang terkuat di dunia, namun Bahasa Inggris belumlah mengglobal. Orang-orang Eropa daratan, masih enggan menggunakan bahasa tersebut karena dianggap bukan bahasa ilmu pengetahuan. Ketika itu kedudukan Bahasa Inggris tak lebih baik dari bahasa utama Eropa lainnya, seperti Perancis, Italia, ataupun Jerman. Bahasa Inggris justru lebih mendapat tempat di luar benua Eropa, terutama di negara-negara koloni. Pada tahun 2016 ada 400 juta orang yang mengaku Bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Empat negara terbesar adalah Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia. Kecuali Inggris, ketiga negara tersebut berada di luar Eropa. Di Amerika Serikat, semula Bahasa Inggris hanya digunakan di 13 negara bagian ex koloni Inggris. Namun setelah negara bagian di wilayah tengah dan barat ikut bergabung, jadilah masyarakat disana juga menggunakan Bahasa Inggris. Seperti di Texas dan California misalnya, dulu masyarakat disana berbahasa Spanyol. Begitu pula dengan Louisiana yang berbahasa Perancis. Baru di pertengahan abad ke-19, setelah negara-negara bagian itu diakuisisi dan dibeli oleh Amerika, mereka menggunakan Bahasa Inggris. Di Australia, hanya 73% penduduk yang menempatkan Bahasa Inggris sebagai bahasa ibunya. Selebihnya adalah para imigran dari Asia yang merupakan native speaker Bahasa Mandarin, Arab, dan bahasa-bahasa Asia lainnya. Di Kanada persentasenya lebih kecil lagi, cuma 57%. Di wilayah timur, seperti di Quebec dan Ontario, Bahasa Inggris harus berbagi pengaruh dengan Bahasa Perancis. Oleh karenanya di Kanada, keduanya diakui sebagai bahasa resmi negara.
Selain sebagai bahasa ibu, Bahasa Inggris juga menjadi bahasa kedua di hampir 80 negara. Jika ditotal dengan native speaker, saat ini pengguna Bahasa Inggris mencapai 1,1 miliar jiwa. Dan ini menempatkannya sebagai bahasa dengan pengguna terbanyak di dunia. Dari sekitar 80 negara tersebut, India adalah yang terbesar. Berbeda dengan Indonesia yang punya bahasa persatuan, India yang sama-sama terdiri dari banyak suku bangsa tak memilikinya. Bahasa Hindi meski digunakan oleh separuh rakyat India, namun tak diakui sebagai bahasa persatuan. Orang-orang Bengal, Punjab, ataupun Tamil yang memiliki bahasa sendiri, enggan berkomunikasi dengan bahasa tersebut. Mereka lebih memilih bercakap dengan Bahasa Inggris yang telah digunakan di pemerintahan sejak abad ke-19. Begitupula dengan Nigeria. Negara yang juga dihuni oleh puluhan suku bangsa itu, memiliki tiga bahasa utama, yaitu Hausa, Igbo, dan Yoruba. Meski Bahasa Hausa digunakan oleh sepertiga populasi, namun percakapan antar etnis sering menggunakan Bahasa Inggris.
Di Karibia, seperti Jamaika, Bahamas, Dominika, dan Barbados, Bahasa Inggris juga menjadi bahasa resmi negara. Kawasan ini dulunya adalah bekas koloni Inggris, yang penduduknya mayoritas berasal dari Afrika Barat. Mereka adalah keturunan para buruh perkebunan yang dibawa pedagang Inggris di abad ke-19. Meski 90% penduduknya berkulit hitam (Black Caribean), namun masyarakat disana lebih memilih menggunakan Bahasa Inggris sebagai pengantar. Terlebih kebanyakan mereka tak tahu lagi bahasa ibunya. Berbeda dengan orang Karibia yang kehilangan bahasa ibu, warga Singapura masih menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Melayu, Tamil, dan beberapa dialek China, hingga hari ini masih lestari. Namun sejak tahun 1965, Perdana Menteri Lee Kuan Yew mendorong masyarakatnya agar mempelajari dan menjadi pengguna aktif Bahasa Inggris. Ketika itu, Lee menyebut Bahasa Inggris akan menjadi bahasa masa depan dan berperan penting dalam kemajuan suatu negara.
Masa Depan Bahasa Inggris
Sejak meningkatnya perekonomian China, banyak orang yang mulai berpikir apakah Bahasa Mandarin akan menggantikan Bahasa Inggris sebagai lingua franca. Pertanyaan ini cukup beralasan, mengingat besarnya kegiatan perdagangan yang dilakukan Tiongkok akhir-akhir ini. Pertanyaan semacam ini sebenarnya juga pernah terlontar ketika perekonomian Jepang sedang bagus-bagusnya. Ya, pada dasawarsa 1990-an banyak anak-anak muda yang mengambil kursus Bahasa Jepang karena melihat prospek bahasa ini akan menjadi bahasa internasional. Namun bayangan itu segera sirna setelah perekonomian Jepang terus mengalami stagnasi (Lihat : Mengapa Perekonomian Jepang Stagnan dan Banyak Perusahaannya Bertumbangan?). Melihat tren pertumbuhan ekonomi China yang terus menurun, penulis agaknya ragu apakah Bahasa Mandarin bisa menggantikan Bahasa Inggris. Terlebih untuk menjadi bahasa internasional, tak hanya faktor ekonomi saja yang menentukan, namun juga penguasaan budaya dan ilmu pengetahuan (soft power).
Seperti yang telah diutarakan di atas, naiknya Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional lebih dikarenakan kebudayaan pop Amerika yang mengglobal. Oleh karenanya, sejak dasawarsa 1970-an banyak orang-orang tua yang mengkursuskan anaknya agar tak ketinggalan zaman. Selain itu, banyak pula orang tua yang beranggapan : mengajarkan Bahasa Inggris kepada putra-putri mereka untuk mencegah teralienasinya dari ilmu pengetahuan. Maklum, sumber ilmu pengetahuan masih didominasi oleh negara-negara Anglophone. Amerika sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, masih menjadi kiblat ilmu pengetahuan. Tak salah jika sekarang hampir seluruh buku dari semua rumpun ilmu, ditulis dalam Bahasa Inggris. Malah orang-orang yang bukan berasal dari Anglophone, harus menerjemahkan karyanya ke Bahasa Inggris jika hendak dibaca khalayak luas.
Melihat perkembangan dewasa ini, agaknya sulit bagi bahasa manapun untuk menggantikan kedudukan Bahasa Inggris. Meski dalam lima puluh tahun ke depan China dan India bisa melampaui perekonomian Amerika, namun selama mereka tak mengembangkan soft power-nya, maka Bahasa Inggris tetap akan menjadi lingua franca. Orang-orang masih memerlukan Bahasa Inggris untuk membaca buku-buku terbaik atau sekedar nonton film berkualitas. Mungkin kalau film Bollywood sudah digandrungi mayoritas warga dunia, atau buku-buku terbaik sudah ditulis dalam huruf kanji, boleh jadi Bahasa Inggris akan dilupakan orang. Seperti halnya Bahasa Latin, Bahasa Arab, dan Bahasa Perancis yang sempat berjaya berabad-abad lalu karena menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Lihat pula : Menghitung Pengaruh dan Kekuasaan Amerika Dewasa Ini