Sejak Tol Trans Jawa tersambung di penghujung tahun 2018, Alhamdulillah sudah dua kali saya menjajalnya. Yang pertama di bulan Juli lalu sampai Probolinggo. Dan yang kedua akhir bulan kemarin mentok kota Malang. Mungkin dulu tak pernah terbayang jarak antara Jakarta-Surabaya bisa ditempuh dalam waktu 9 jam. Dari Jakarta-Semarang saja, dulu (tahun 2011) saya harus menempuhnya selama 10 jam. Untuk sampai di Surabaya, mungkin bisa makan waktu 18 jam. Meski dengan Argo Bromo Anggrek waktu tempuh ke Surabaya sudah tembus 9 jam, namun rasanya tak semenarik mengendarai mobil. Selain tak bisa mampir berwisata kuliner, naik kereta api agaklah membosankan. Kalau naik mobil, apalagi di siang hari, kita bisa menoleh ke kanan dan ke kiri. Menikmati sawah, ladang, sungai, dan gunung-ganang yang berdiri menantang awan.
Serius! Ada sensasi tersendiri ketika mengendarai mobil sepanjang hampir 1.000 km dari barat ke timur Pulau Jawa. Lepas dari Jakarta, kita bisa tancap gas langsung naik tol Japek Elevated. Di jalan layang sepanjang 40 km ini, kita tak kan diganggu oleh truk-truk dan bus AKAP yang kadang menyebalkan. Memang tol layang ini agak sedikit bergelombang, tapi so far oke-lah untuk dilalui. Dari atas jalan, kita bisa menyaksikan betapa massifnya pembangunan koridor Bekasi – Karawang. Para pengembang seakan saling berlomba-lomba membangun apartemen di kedua belah sisi jalan. Yang paling mencolok adalah Meikarta. Proyek besutan Lippo Group itu membangun sekitar 56 menara setinggi 30 lantai. Di malam hari, lampu-lampu dari tower crane, memercikan cahaya seperti sedang menari. Setelah turun di KM 47, jalan biasanya agak tersendat. Selain bottle-neck, truk-truk yang berjalan lambat juga menghambat laju kendaraan pribadi. Kondisi seperti ini biasanya sampai KM 67, ketika Tol Trans Jawa terpecah dua : ke arah Bandung dan Cirebon.
Selepas Gerbang Tol Cikampek Utama, Tol Trans Jawa hanya tersisa dua lajur. Melintasi Tol Cikampek – Palimanan (Cipali), mengingatkan saya dengan situasi Tol Jakarta-Cikampek (Japek) di era 1990-an. Pada masa itu, tol Japek masih punya dua lajur dengan taman berumput di median jalan. Kabupaten Karawang, sepanjang mata memandang masihlah berupa hamparan sawah. Truk dan bus AKAP-pun belum sebanyak sekarang. Primajasa, bus yang merajai lintas Jawa Barat, belum-lah sesesak hari ini. Pada waktu itu, P.O. Sahabat-lah yang menguasai jalur Pantura. Mereka saling kejar-kejaran dengan P.O. Bhineka dan Luragung Jaya, yang sama-sama tujuan Cirebon. Meski Tol Cipali tergolong baru, namun rest area-nya sudah cukup lengkap dan nyaman. Kebutuhan dasar para pelintas, seperti toilet, rumah makan, pom bensin, dan mushola, sudah banyak tersedia.
Meski telah banyak dibangun, namun di musim liburan rest area yang ada tak lagi menampung. Sebagai alternatif, mungkin Anda bisa keluar di KM 138. Tak jauh dari exit tol, kita bisa menjumpai dua restoran besar : Taman Selera dan Singgalang Jaya. Keduanya sama-sama menyajikan masakan Padang, dengan ruang makan yang cukup besar. Toiletnya-pun juga tersedia banyak, sehingga tak perlu mengantri lama. Berdiri di atas lahan seluas 4 hektar, agaknya Taman Selera merupakan restoran terbesar di lintasan Pulau Jawa. Melihat banyaknya bis dan mobil yang terparkir rapat di halaman restoran, mengingatkan saya pada Rumah Makan Umega di Gunung Medan, Sumatera Barat (Lihat : Ekspedisi Jalan Lintas Sumatera).
Kalau Anda ingin mencoba makanan lokal, maka empal gentong Cirebon bisa menjadi pilihan. Di sepanjang Jalan Panembahan hingga Jalan Tuparev (exit tol KM 194), kita bisa menjumpai rumah-rumah makan khas Cirebon yang menawarkan empal gentong. Diantara yang sebanyak itu, saya pilih Empal Gentong Haji Apud. Kuahnya yang kental dengan sayatan daging berlimpah, bisa membuat Anda kekenyangan. Kalau masih belum cukup, bisa menambahnya dengan seporsi sate kambing. Yummy! Satu lagi makanan khas Cirebon yang bisa Anda cicipi adalah Nasi Jamblang. Namun karena saya gak terlalu suka, jadi tak direkomendasikan. Hehe.
Dari kota Cirebon, kami masuk (kembali) ke Tol Trans Jawa melalui Gerbang Tol Ciperna. Melintasi Bandar Udara Cakrabhuwana, dikejauhan akan terlihat Gunung Ciremai tinggi menjulang. Selepas Cirebon hingga masuk Semarang, mobil bisa digeber sekencang-kencangnya. Memacu mobil di Tol Trans Jawa kadang membuat kita lupa diri. Tanpa tersadar, speedometer sudah menunjuk angka 150. Bagi “anak mobil” ini mungkin suatu kepuasan tersendiri. Namun bagi saya kecepatan setinggi itu bikin darah tersirap. Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, buru-buru saya melepas sedikit injakan gas, hingga stabil ke angka 120.
Di lintas Cirebon-Semarang, sebenarnya ada satu lagi rest area yang cukup unik. Sekitar kota Brebes. Tepatnya di KM 260 arah Jakarta. Disini Anda bisa menengok bekas pabrik gula yang disulap menjadi tempat peristirahatan. Masuk ke dalam ruang seluas 1,4 hektar, Anda akan merasakan suasana pekerja perkebunan di zaman Belanda. Disini kita masih bisa melihat tempat pembakaran yang terbuat dari batu bata. Di halaman luar, juga terpajang lokomotif kereta api serta dua buah mesin penggiling tebu. Pabrik gula ini kabarnya didirikan oleh perusahaan perkebunan NV Cultuurmaatschappij yang berpusat di Amsterdam 112 tahun silam. Begitu memasuki bangunan utama, Anda akan bersua ruangan besar berdinding kaca yang digunakan sebagai taman. Mungkin karena masih baru, tanaman di ruang ini belumlah terlihat rimbun.
Di perbatasan Batang dan Kendal, kita akan menjumpai Jembatan Kalikuto. Jembatan ini merupakan salah satu ikon di lintasan Tol Trans Jawa. Satu tahun lalu, ketika tol ini baru dibuka, banyak pelintas yang berselfi ria di tempat ini. Namun terakhir saya lewat, ada larangan untuk berfoto disekitar situ. Karena memang bisa mengganggu pengguna jalan lainnya. Jembatan sepanjang 160 meter itu dibangun dari rangka baja berbobot 2.400 ton, serta struktur utamanya yang melengkung. Kalau Anda melihat Jembatan Youtefa di Teluk Jayapura, maka model kedua jembatan tersebut amatlah mirip. Bedanya, girder Jembatan Holtekamp dirakit dan dipasang di Surabaya dan kemudian diangkut ke Jayapura. Sementara Jembatan Kalikuto, semua material girder dirakit dan diinstal langsung di lokasi proyek.
Sesampainya di kota Semarang, lalu lintas mulai terasa ramai. Lori peti kemas nampak hilir mudik keluar masuk kawasan industri menuju Tanjung Emas. Dari simpang susun Krapyak hingga Banyumanik, perjalanan agak sedikit tersendat. Truk-truk renta dengan muatan besar, nampak terengah-engah meniti pendakian. Ya, kontur Semarang yang berbukit, memang menjadi penyebab sulitnya kendaraan untuk melaju kencang. Sebagai informasi, secara topografi kota Semarang terbagi dua bagian, yakni Semarang Atas dan Semarang Bawah. Semarang Atas merupakan lokasi Kampus Undip dan tempat dimana rumah-rumah elit berada. Sedangkan Semarang Bawah adalah pusat kota, tempat aktivitas ekonomi dan pemerintahan berlangsung. Kalau Anda berjalan di malam hari, dari arah Jatingaleh ke Krapyak, akan nampak cahaya berpendar berkilauan. Ya, cahaya itu adalah lampu-lampu yang terpancar dari gedung dan pertokoan di Semarang Bawah.
Setibanya di simpang susun Jatingaleh, arus kendaraan terpecah dua. Ke utara menuju Tanjung Emas atau Demak, serta ke selatan terus ke Solo dan Surabaya. Masuk Ungaran hingga Salatiga, jalanan semakin menanjak. Ruas ini boleh dibilang merupakan jalur paling ekstrem dari seluruh lintas Tol Trans Jawa. Meski agak curam, namun pemandangan di ruas ini sangatlah mengesankan. Kalau cuaca sedang cerah, di sebelah kanan ruas jalan Anda dapat melihat panorama empat gunung yang berdiri beriringan. Keempatnya adalah Gunung Ungaran dan Gunung Telomoyo di bagian utara, Gunung Merbabu di tengah-tengah, serta Gunung Merapi nun jauh di selatan. Dengan pemandangan pegunungan serta persawahan yang membentang luas, tak salah jika ruas ini dijuluki sebagai “panoramic toll road”.
Selepas Kertasura lalu lintas kembali lengang. Mobil-mobil tujuan Solo dan Yogyakarta, keluar meninggalkan lintasan. Bagi Anda yang hendak menuju Yogyakarta, sebenarnya lebih dekat keluar di Gerbang Tol Bawen. Namun karena jalur ini sering macet, sehingga banyak orang yang menempuh jarak lebih jauh, memutar melewati Kertasura. Memasuki perbatasan Jawa Timur, kita akan disambut oleh Gunung Lawu yang tinggi menjulang. Konon gunung setinggi 3.265 meter itu merupakan salah satu tempat paling mistis di Pulau Jawa. Hal ini mungkin dikarenakan gunung tersebut sebagai pusat kegiatan spiritual raja-raja Mangkunegaran. Selain menjadi tempat spiritual, di lereng Gunung Lawu banyak pula obyek wisata menarik, seperti Air Terjun Grojogan Sewu serta Telaga Sarangan. Oiya, kompleks pemakaman keluarga Soeharto : Astana Giribangun, juga berada di kaki gunung ini. Tak jauh dari situ, berdiri mausoleum raja-raja Mangkunegaran.
Setelah 15 menit memandangi Gunung Lawu lekat-lekat, tak terasa kita sudah memasuki KM 600. Kondisi lalu lintas yang lengang dengan ruas jalan yang lurus, menyebabkan mata terasa ngantuk. Maklum kami sudah berjalan selama 9 jam. Bagi Anda yang mengalami kelelahan, tak perlu khawatir. Sebab setiap 30 kilometer di kawasan ini, Anda akan menjumpai rest area yang cukup selesa. Pada ruas Tol Mojokerto-Surabaya, jumlah kendaraan yang lalu lalang mulai ramai kembali. Kendaraan kami tak lagi bisa dipacu di atas 100 km/jam. Dari kejauhan terlihat gedung-gedung pencakar langit kota Surabaya. Dari sebanyak itu, yang paling mencolok adalah Tunjungan Plaza. Tiga apartemennya yang setinggi 200 meter, menyembul diantara rerimbunan skyscraper kota pahlawan.
Mengelok di simpang susun Waru dan masuk ke ruas tol Surabaya-Gempol, kepadatan semakin menjadi-jadi. Ini mirip Tol Lingkar Luar Jakarta, pikir saya! Truk-truk kontainer dari arah Pelabuhan Tanjung Perak berjalan beriringan menuju pabrik dan pergudangan di Sidoarjo. Pada tahun 2006, gara-gara luapan lumpur Lapindo, tol ini sempat berhenti beroperasi. Untuk menyiasati genangan lumpur, pemerintah kemudian membangun jalan tol layang sepanjang 10 kilometer. Baru dua tahun ini, tol tersebut kembali beroperasi penuh. Menyambung dari Gresik hingga Gempol di Pasuruan. Meski tak seasri jalan tol dalam kota Semarang, namun yang menarik pada ruas ini adalah penampakan Gunung Arjuno di kanan dan Gunung Semeru di kiri. Memandangi kedua gunung tersebut, saya jadi teringat sosok Bung Karno. Dalam pidatonya, Si Bung sering menggunakan dua gunung itu sebagai perumpamaan. Suatu waktu Soekarno pernah bilang : “Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia.” Ternyata karena lahir dan besar di Jawa Timur, Bung Karno selalu mengingat hamparan alam tempat ia dibesarkan. Dan diantaranya adalah Gunung Arjuno dan Gunung Semeru.
Setibanya di Gempol, Tol Trans Jawa kembali bercabang dua. Ke arah timur menuju Pasuruan terus Probolinggo, dan yang ke selatan menuju kota Batu serta Malang. Probolinggo bukanlah akhir dari rencana Tol Trans Jawa. Di tahun 2021, targetnya pemerintah akan merampungkan pembangunan ruas Probolinggo-Banyuwangi. Rute ini kabarnya cukup sulit. Terutama disekitar PLTU Paiton, Gunung Lurus, Gunung Putri Tidur, dan Taman Nasional Baluran. Selain bukit yang menjorok ke bibir pantai, disini juga terdapat pembangkit listrik yang mengalirkan energi ke seantero Jawa-Bali. Kalau tak diperhitungkan secara cermat, maka pembangunan di ruas ini akan memakan waktu cukup lama. Tetapi kalau rute ini sudah selesai, pemandangannya mungkin yang paling ciamik. Selain sawah dan gunung, dari ruas tol ini nantinya akan nampak Selat Madura. Ya, mudah-mudahan saja tahun depan sudah selesai. Dan saya bisa mencicipi nikmatnya berkendara di ruas tol ini. Doakan ya.