Dalam 70 tahun terakhir, kita melihat kebangkitan ekonomi negara-negara Asia Timur. Dari sekian banyak negara di kawasan itu, Korea Selatan merupakan suatu kisah yang menarik. Mungkin Anda mengira bahwa Jepang-lah negara yang mengalami keajaiban pertumbuhan ekonomi. Namun jika kita membaca sejarah ekonomi Jepang, negara itu sebenarnya sudah bangkit sejak akhir abad ke-19, dan di tahun 1940 boleh dikatakan telah setara dengan Eropa. Oleh karenanya, ia berani menantang kekuatan Barat dalam Perang Dunia Kedua. Pasca Perang Pasifik, sebenarnya Jepang hanya memulihkan kekuatannya saja. Dan ini berbeda dengan Korea Selatan yang memang bangkit dari titik nol. Sejak kehancuran akibat Perang Korea (1950-1953), PDB per kapita Korea Selatan telah tumbuh lebih dari 491 kali, dari USD 64 menjadi USD 31.430. Dilain pihak, PDB per kapita Jepang di tahun 1950 sudah berada di posisi USD 1.873, dan hanya bertumbuh 22 kali ke posisi hari ini yang berada di angka USD 40.847. Jika kita melihat PDB per kapita secara riil (menggunakan paritas daya beli/purchasing power parity), maka kini keduanya hanyalah terpaut sedikit. Jepang berada di posisi USD 45.546, sedangkan Korea Selatan di angka USD 44.740. Tak cuma PDB per kapita, dari segi Indeks Pembangunan Manusia-pun Korea Selatan juga hampir setara. Negara ini sudah berada di angka 0,906; dan Jepang di posisi 0,915.
Bagaimana dengan hasil industri? Meski tergolong pemain baru, namun dalam sepuluh tahun terakhir produk-produk Korea telah menggerogoti pangsa pasar Jepang. Kemauan perusahaan Korea untuk menggelontorkan dana riset, juga menjadi faktor penting yang menyebabkan produk-produk mereka diakui dunia. Berdasarkan data yang dirilis OECD, di tahun 2015 persentase pengeluaran riset terhadap PDB Korea Selatan sudah di atas Jepang (Lihat Grafik 2). Bahkan di tahun itu menurut Bloomberg, Korea Selatan merupakan negara dengan inovasi ekonomi terbaik di dunia. Dengan melihat fakta-fakta tersebut, timbul pertanyaan di benak kita : benarkah sekarang produk-produk Korea telah melampaui produk Jepang. Mengingat selama ini, kita mengenal produk-produk Jepang — terutama elektronik dan otomotifnya — sebagai produk terbaik di dunia. Dalam sajian kali ini, kita akan melihat kinerja beberapa industri di kedua negara, dan membandingkannya untuk melihat siapa yang lebih unggul.
Elektronik
Mungkin tak ada manusia modern di dunia ini yang tak mengenal dua merek elektronik terbesar asal Korea Selatan : Samsung dan LG. Keduanya telah memberikan good image terhadap negeri itu sebagai penghasil produk-produk berkualitas. Tak cuma imej, di tahun 2018 keduanya juga berkontribusi terhadap PDB Korea Selatan sebesar 16,5% (Lihat Grafik 5). Lalu apa jualan mereka sehingga bisa memberikan kontribusi sebesar itu? Jawabannya ialah televisi dan telepon pintar. Saat ini kedua merek tersebut sudah menguasai 30,7% industri telepon pintar dunia. Rinciannya, Samsung mengendalikan 26,1% sekaligus sebagai market leader, dan LG sebesar 4,6%. Data pada kuartal pertama 2017 menunjukkan bahwa dalam hal pengembangan smartphone, Korea Selatan boleh bertepuk dada. Mereka berhasil melampaui raja teknologi asal Amerika : Apple (16,9%), atau merek-merek China seperti Oppo, Huawei, dan Vivo (Lihat Grafik 3). Bagaimana dengan merek Jepang? Kalau 20 tahun lalu masih ada Sony yang diperhitungkan, kini tak nampak satupun produk Jepang yang unjuk gigi. Meski Korea telah berhasil mengembangkan gawai telepon pintar, namun untuk operating system (OS)-nya masih bergantung kepada Android, salah satu produk Alphabet (Google) asal Amerika. Jadi meskipun secara hardware mereka sudah memimpin, namun untuk software-nya Amerika masih pegang kendali.
Untuk industri televisi, meskipun Samsung banyak melakukan inovasi, namun hingga saat ini pemimpin pasar masihlah dipegang produsen asal Jepang : Sony. Perusahaan yang didirikan oleh Akio Morita itu masih menguasai 27% kue pertelevisian global. Dua produsen Korea Selatan, Samsung dan LG Electronics, membuntuti di belakang dengan market share sebesar 23% dan 21%. Meski bukan menjadi pemimpin pasar, namun secara agregat Korea Selatan hampir menguasai separuh kue industri, dan sudah jauh meninggalkan Jepang di belakang.
Pada tahun 2017, sekitar 17,1% ekspor Korea Selatan berasal dari industri semi konduktor. Meski sebagai produsen semi konduktor terbesar kedua setelah Taiwan, namun tak satupun merek komputer personal (PC) asal negeri ini yang mencuat. Samsung dan Sky Hynix hanya puas sebagai pemasok komponen ke perusahaan-perusahaan PC di seluruh dunia. Di tahun 2018, ada enam pemain utama di industri ini : satu produsen China, tiga Amerika, dan dua dari Taiwan. Keenamnya menguasai hampir 80% market share. Lenovo (China) dan Hewlett Packard (Amerika) masih menjadi dua produsen terdepan dengan penguasaan pasar mencapai 22,5% dan 21,7%. Diikuti dua merek Amerika lainnya, yakni Dell (16,2%) dan Apple (6,9%), serta dua merek asal Taiwan : Acer (6,1%) dan Asus (6%). Tak adanya merek Jepang yang masuk lima besar dalam sepuluh tahun terakhir, agaknya patut dipertanyakan. Padahal di awal milenium ini, Fujitsu, NEC, dan Toshiba, sempat menggerogoti pangsa pasar produsen Amerika. Krisis ekonomi 2008 agaknya memukul banyak perusahaan elektronik negeri sakura, yang kemudian memaksa mereka memangkas divisi pembuatan komputer.
Game console juga merupakan produk elektronik yang memberikan keuntungan cukup besar. Namun dari tiga pemain utama saat ini, tak ada satupun perusahaan Korea Selatan yang bercokol. Sejak tahun 2012, Sony dengan produknya PlayStation 4 secara konsisten menjadi pemimpin pasar dengan raihan sekitar 53,5%. Diikuti oleh X-Box One dari Microsoft (Amerika) sebesar 21,3%; serta Switch dan Wii U keluaran Nintendo (Jepang) masing-masing 18,1% dan 7,1%. Praktis untuk industri ini, Jepang menguasai lebih dari tiga per empat market share dunia. Nampaknya dalam beberapa tahun ke depan, tak ada produsen asal Korea Selatan yang mau mencicipi manisnya industri ini.
Otomotif
Selain industri elektronik, otomotif juga merupakan penopang utama ekonomi Korea Selatan. Berbeda dengan produk elektronik yang tak memerlukan biaya riset besar, industri otomotif merupakan bisnis padat modal. Sehingga tak mudah bagi Korea untuk merebut kue yang selama ini dinikmati Jepang. Jika Anda melihat daftar 10 teratas produsen otomotif dunia, di tahun 2018 Toyota berada di urutan kedua (Lihat Grafik 4). Posisinya selalu bergantian dengan perusahaan Jerman, Volkswagen, yang tahun lalu berada di urutan pertama. Chaebol Korea Selatan, Hyundai, ada di urutan keempat di bawah General Motors (Amerika). Setelah itu tak ada lagi pemain asal Korea yang bercokol. Sementara Jepang masih punya tambahan dua perusahaan lagi, yakni Nissan dan Honda. Dari data Forbes 500, Toyota juga merupakan perusahaan otomotif dengan pendapatan terbesar kedua setelah Volkswagen. Berdasarkan tahun buku 2019, perusahaan yang berdiri sejak tahun 1937 itu berhasil membukukan pendapatan sebesar USD 272,6 miliar, jauh di atas Hyundai yang cuma mencetak revenue USD 83,26 miliar. Meski dari jumlah unit yang terjual lebih besar, namun secara keuangan pendapatan Hyundai masih di bawah Honda (USD 143,3 miliar) dan Nissan (USD 110 miliar).
Walau secara brand Hyundai sudah terkenal, namun imej mereka belumlah sekuat merek-merek Jepang. Banyak orang berpendapat, mesin mobil produksi Korea tak dapat dihandalkan. Ini terlihat dari jumlah mesin mobil mereka yang ditarik dari pasaran, lantaran cacat produksi. Sedangkan mobil keluaran Jepang, selain dikenal memiliki kualitas baik, juga punya berbagai varian pilihan. Seperti Toyota yang mengeluarkan kelas mewahnya Lexus, atau Mitsubishi yang punya tipe mobil sport : Pajero Sport. Pada dekade 1990-an, lewat film “Fast and Furious”, merek mobil Jepang semakin melambung. Mesinnya yang tahan lama, cepat, irit, dan ringan di kantong, segera menjadi pilihan masyarakat dunia menggantikan mobil Eropa dan Amerika yang terkenal boros.
Industri Hiburan dan Kreatif
Seperti yang telah kami ulas pada artikel berjudul “Pengaruh K-Pop dan K-Drama, Terhadap Perekonomian Korea Selatan”, industri musik dan drama Korea Selatan telah mengancam Jepang dalam satu dekade terakhir. Pada dasawarsa 1990-an, musik pop Jepang atau J-Pop cukup populer di pasar Asia dan Amerika. Namun kehadiran Korean Pop (K-Pop) di tahun 2009, secara perlahan mulai menggantikan kedudukannya. Sebagai penyuka hiburan Jepang, saya tak habis pikir mengapa akhirnya industri hiburan negeri ini tak lagi relevan. Beberapa opini yang saya baca di Quora menyatakan, kalau gadis-gadis Jepang kalah menarik dibandingkan cewek-cewek Korea. Benarkah? Setidaknya itu yang diungkapkan oleh Feng Xian, mantan peneliti di Eurasian Center. Menurutnya rata-rata orang Jepang memiliki masalah dengan kaki dan tinggi badan mereka. Kaki mereka cenderung tidak lurus dan tak setinggi orang Korea. Dalam industri hiburan, sexual appealing tentulah menjadi perhatian utama. Tak bisa dipungkiri para penonton akan senang melihat cowok-cowok tampan nan klimis, serta cewek berkaki jenjang dengan penampilan seksi. Menurutnya, J-Pop dan J-Drama akan sulit menarik penonton dari luar negeri jika mereka masih mengandalkan gadis manis (kawaii) – dan bukan yang seksi.
Pada dasarnya, K-Pop mewarisi sistem yang dikembangkan J-Pop 30 tahun lalu. Mereka juga mengembangkan industri para idola (idols) dalam sebuah kompetisi yang sarat drama. Di kompetisi tersebut nantinya para pemenang akan dikontrak dengan ketentuan-ketentuan mengikat, seperti harus menghasilkan album dalam periode tertentu. Mirip dengan J-Pop, agar diterima oleh khalayak luas, lagu-lagunya haruslah dinyanyikan dalam Bahasa Inggris. Lagu-lagu Blackpink atau BTS (Bangtan Boys) misalnya, hampir semua yang sukses di pasaran dilantunkan dengan Bahasa Inggris. Meski banyak kesamaan, namun ada pula perbedaan yang menjadikan K-Pop lebih unggul. Tidak seperti J-Pop yang sebagian besar masih mengadopsi kultur Jepang, K-Pop sudah banyak menyerap unsur pop Amerika. Seperti musik yang menghentak, gerak yang cepat, dengan dibalut pakaian seksi.
Pendapat lain datang dari Luana Brandao Takahashi, yang mengatakan bahwa mandeknya J-Pop dewasa ini disebabkan kurangnya kreativitas mereka. Hampir setiap lagu yang keluar memiliki gaya, ritme, dan tema yang sama. Singkatnya, konsep yang digunakan J-Pop hanya itu ke itu saja, tak berubah dari hari ke hari. Manajer dan produser J-Pop, umumnya tak mau mencoba hal-hal baru. Mereka lebih suka tinggal di zona nyaman mereka. Di sisi lain produser K-Pop terus menciptakan inovasi-inovasi baru setiap hari. Mereka menggabungkan gaya baru, jenis musik baru, dan talenta yang lebih beragam. Anda dapat melihat orang non-Korea yang menjadi personel kelompok K-Pop, sementara hampir tak ada orang non-Jepang di dalam kelompok J-Pop. Tak salah jika kini banyak gadis China, Thailand, ataupun Vietnam yang bermimpi menjadi bagian dari kelompok K-Pop. Dan ini secara tak langsung akan meningkatkan popularitas mereka di negara-negara tersebut. Keseriusan Korea Selatan dalam menggarap K-Pop, telah memperlihatkan kepada kita bahwa jika industri ini dikemas dengan baik maka akan memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan negara. Bayangkan, satu grup K-Pop saja : BTS, memberikan sumbangan sebesar USD 4,65 miliar atau setara 0,3% terhadap PDB negara (Lihat Grafik 5).
Untuk industri musik dan drama, boleh saja Korea telah melampaui Jepang. Namun tidak untuk industri animasi. Berdasarkan data yang dirilis gamedesigning.org, dari 50 studio animasi terbaik dunia, tak satupun perusahaan Korea yang muncul. Sedangkan Jepang menempatkan sebelas perusahaannya, yaitu Studio Ghibli, Toei Animation, OLM, Sunrise, Sony Pictures Imageworks, Sony Pictures Animation, Nippon Animation, Studio Pierrot, Production I.G., Studio 4ᴼC, dan Madhouse. Perusahaan-perusahaan itu membuat serial televisi, video game, dan commercial break yang di ekspor ke mancanegara. Namun jangan sangka industri animasi cuma beroleh pendapatan dari tiga sumber itu saja. Beberapa produk justru menghasilkan pundi-pundinya dari penjualan marchandise, komik, buku, musik, film, serta tiket museum. Contoh yang menarik adalah Pokemon. Animasi ini telah mengakumulasi pendapatannya senilai USD 92,12 miliar sejak diluncurkan 14 tahun lalu. Itu artinya, setiap tahun Jepang mendapat pemasukan sebesar USD 4 miliar, cuma dari Pokemon! Dari sepuluh animasi/karakter global dengan pendapatan terbesar sepanjang sejarah, Jepang punya lima produk. Setelah Pokemon di urutan pertama, ada Hello Kitty di urutan kedua (USD 80,03 miliar sejak 1974). Selanjutnya Anpanman (USD 60,29 miliar sejak 1973), Super Mario (USD 36,14 miliar sejak 1981), dan Jump Comics (USD 34,12 miliar sejak 1968) (Lihat Grafik 6). Satu-satunya negara yang bisa menyaingi produk animasi Jepang hanyalah Amerika.
* * *
Dari uraian di atas nampak kalau perusahaan Jepang telah kehilangan posisi dominan mereka untuk beberapa kategori produk elektronik. Sejak hantaman krisis ekonomi 2008, sejumlah perusahaan Jepang telah berjuang keras mengatasi masalah finansial serta tergerogotinya pangsa pasar mereka. Di tahun tersebut, banyak perusahaan yang mengalami kerugian. Dua perusahaan besar, yakni Hitachi dan NEC, melaporkan kerugian mereka masing-masing sebesar USD 12 miliar dan USD 5 miliar. Atas kerugian ini, banyak terjadi merger dan akuisisi, baik dengan perusahaan asing maupun antar perusahaan Jepang sendiri. JVC dan Kenwood bergabung membentuk JVC Kenwood Holdings, serta Renesas Technology dan NEC Electronics bergabung membentuk Renesas Electronics. Disamping itu, Panasonic mengakuisisi mayoritas saham voting Sanyo, dan mengkonsolidasinya ke dalam Grup Panasonic. Saking hebatnya krisis 2008 menghantam Jepang, laba operasional Samsung di tahun 2009 bisa dua kali lebih besar dibading gabungan sembilan perusahaan elektronik Jepang. Gabungan sembilan perusahaan itu cuma membukukan laba operasional sebesar USD 1,519 miliar, sedangkan Samsung berhasil mencetak USD 3,26 miliar. Untuk menghadapi persaingan ketat dari Samsung dan Sky Hynix, pada tanggal 15 November 2011 Toshiba dan Hitachi menandatangani perjanjian untuk menggabungkan bisnis LCD mereka, dan menciptakan perusahaan baru bernama Japan Display.
Pukulan keras krisis 2008, ternyata masih membekas hingga hari ini. Sekarang Jepang tak lagi menikmati reputasi yang sama seperti yang mereka rasakan satu setengah dekade lalu. Saat ini, pasar elektronik konsumen internasional sudah didominasi oleh Korea Selatan, serta Taiwan dan China menguntit di belakang. Ini terlihat dari daftar yang dirilis Global Data Intelligence Center and Annual Reports per tahun 2018, dimana Samsung berada di urutan kedua sebagai perusahaan teknologi dengan pendapatan terbesar, setelah Apple (Lihat Grafik 7). Hanya dua perusahaan Jepang yang masuk ke dalam 25 besar, yakni Sony (urutan ke-8) dan Fujitsu (urutan ke-19). Dan jumlahnya sudah kalah dibandingkan Taiwan ataupun China yang dua dekade lalu masih tergolong “anak bawang”. Hon Hai/Foxconn (Taiwan), Lenovo (China), Tencent (China), Pegatron (China), Taiwan Semiconductor (Taiwan), Quanta (Taiwan), dan Wistron/Acer (Taiwan) adalah perusahaan-perusahaan elektronik yang telah menggerogoti pangsa pasar Jepang. Dari data tersebut terlihat bahwa sebenarnya yang menjadi ancaman serius perusahaan elektronik asal Jepang bukanlah Korea Selatan semata, namun juga China dan Taiwan yang dalam satu dekade ke depan boleh jadi akan menjadi pemain terbesar.
Jika menoleh ke industri otomotif, nampak kalau Jepang masihlah dominan. Bahkan untuk level dunia, beberapa merek negeri sakura masih terdepan di kelasnya. Korea Selatan sepertinya masih tergagap-gagap mengikuti derap maju industri otomotif Jepang. Berbeda dengan China yang merespons perubahan begitu cepat, Korea masih meraba-raba jenis mobil apa yang akan dikembangkan. Pengembangan mobil listrik atau hybrid yang kemungkinan besar akan menjadi pilihan konsumen ke depan, nampaknya tak begitu diseriusi oleh Hyundai. Kini ada lima perusahaan yang dengan semangat menggeluti mobil masa depan itu, yakni aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi (Perancis-Jepang), Tesla (Amerika), BAIC (China), BMW (Jerman), dan Chery (China).
Untuk industri kreatif, tak ada data yang bisa menjadi rujukan untuk menggambarkan perbandingan kedua negara. Namun setidaknya dari popularitas K-Pop dan J-Pop, kita bisa meraba bahwa industri musik Korea saat ini lebih unggul dibanding Jepang. Begitupula dengan serial drama Korea yang lebih memikat tenimbang dorama Jepang. Namun untuk industri animasi, agaknya negeri matahari terbit masihlah digdaya. Tak adanya produk animasi Korea yang menjual, menunjukkan ketertinggalan mereka dalam industri tersebut. Ini juga terjadi pada beberapa industri, seperti keuangan, farmasi, dan konstruksi, dimana tak satupun perusahaan Korea yang mampu menyaingi perusahaan Jepang.
Bagaimana dengan Hyundai Heavy Industries dan Samsung Heavy Industries, yg memproduksi kapal2 peti kemas terbesar di dunia dan juga rig pengeboran minyak lepas pantai rata-rata dibuat oleh kedua perusahaan tersebut 🙏
SukaSuka
Untuk industri perkapalan, saat ini antara Korea Selatan dan Jepang saling saing menyaingi. Meski gabungan 4 perusahaan Korea : Hyundai, STX, Daewoo (DSME), dan Samsung lebih besar dari gabungan perusahaan-perusahaan Jepang, namun Mitsubishi Heavy Industries masih lebih besar dari masing-masing 4 perusahaan Korea tersebut.
SukaSuka