
Pada tahun 2012 banyak pencinta seni Indonesia yang menaruh harapan besar terhadap perkembangan film di negeri ini. Sebab pada tahun itu, The Raid menjadi salah satu film box office di Amerika. Selain tampil dalam berbagai festival, film yang disutradarai oleh Gareth Evans tersebut berhasil meraup pendapatan sebesar USD 9,3 juta. Dari jumlah itu, USD 4,1 juta atau sekitar 45%-nya diraih dari pasar Amerika dan Kanada. Sebagai perbandingan, film beladiri Thailand Ong Bak: Muay Thai Warrior (2003) yang juga populer di Amerika, beroleh pendapatan sekitar USD 4,5 juta. Selain sukses dari segi bisnis, dari segi kualitas-pun, The Raid juga cukup berhasil. Berdasarkan penilaian situs web Rotten Tomatoes, film ini beroleh rating 87% dari 52.427 audiens, serta 86% dari 166 kritikus film. Bahkan Peter Bradshaw dari The Guardian memberikan nilai sempurna untuk film yang dibintangi oleh Iko Uwais, Yayan Ruhian, dan Joe Taslim itu.
Setelah The Raid, perkembangan film di Indonesia tak lantas meningkat. Jangankan go internasional, di negeri jiran-pun film-film kita belum mampu mendominasi. Tak usah dengan film Amerika yang sudah maju berpuluh-puluh tahun, dengan film India dan Korea-pun kita masih kedodoran. Menurut Rosnani Jamil, salah seorang sineas kenamaan asal Malaysia, minat anak-anak muda terhadap film Indonesia belakangan ini memang agak menurun. Mengutip dari situs balaikita.com, Rosnani — yang masih berdarah Indonesia itu – mengatakan : “Ayat-ayat Cinta itu cetak duit disini, Surga Yang Tak Dirindukan bolehlah, tapi setelah itu tak tahu lagi ape film Indonesia yang diputar disini, rasenye tak ade lagi.” Senada dengan Rosnani, beberapa mahasiswi Malaysia yang diwawancarai balaikita juga tak tahu lagi apa film Indonesia yang diputar di Malaysia. “Film Indonesia boring-lah. Ceritenye begitu-begitu saje, tak ade kemajuan.”
Berdasarkan penelusuran penulis terhadap film-film Indonesia yang diputar di Malaysia, ternyata pada tahun lalu film Makmum berhasil meraih pendapatan yang cukup besar. Dari data Antenna Entertainments Sdn Bhd, film garapan Hadrah Daeng Ratu itu beroleh pendapatan sekitar MYR 7,15 juta selama 25 hari penayangan. Jumlah ini merupakan rekor tertinggi yang pernah diraih film Indonesia di pasar Malaysia. Agaknya genre-genre horor mulai diminati oleh masyarakat di negeri jiran. Karena itulah Dheeraj Kalwani selaku produser, saat ini sedang menggarap Makmum 2. Diharapakan film ini juga bisa meledak seperti seri pertamanya.
Sebelumnya di tahun 2017 lalu, film bergenre horor : Pengabdi Setan juga memperoleh animo yang cukup baik. Film yang disutradarai oleh Joko Anwar itu berhasil meraup sekitar MYR 6 juta. Sebagai perbandingan, di tahun yang sama film begenre horor : Haunted Hotel produksi Malaysia, hanya beroleh pendapatan MYR 1 juta. Tak pelak film inipun menjadi perbincangan ramai di negeri jiran. Di tahun 2016, Ada Apa Dengan Cinta? 2 juga laris di Malaysia. Film yang disutradarai Riri Riza itu beroleh pendapatan MYR 4,6 juta. Film-film percintaan seperti Ada Apa Dengan Cinta, Ayat-ayat Cinta, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck memang pernah menjadi demenan muda-mudi di Malaysia. Namun karena tak ada improvisasi cerita pada film-film bergenre ini, pasar-pun jadi mulai bosan.
Ini mirip seperti nasib sinetron yang mulai ditinggalkan oleh para penonton Malaysia. Seperti diketahui, hampir sebagian besar cerita pada sinetron kita berkisah mengenai konflik rumah tangga, orang miskin vs orang kaya, dan sederet drama situasi yang ceritanya tak kunjung usai. Jadi bukan hal yang aneh kalau drama-drama Korea dan Turki mulai menggeser posisi sinetron Indonesia. Tak hanya disana, di Indonesia-pun mamah-mamah muda lebih antusias ngomongin drama Korea tenimbang sinetron. Tak salah kalau kemudian banyak netizen Malaysia yang menyindir jalan cerita sinentron kita.

Di awal milenium lalu, banyak sinetron Indonesia yang mengisi slot jaringan televisi di Malaysia. Tak tanggung-tanggung, sinetron kita ditayangkan pada jam-jam premier. Bawang Putih Bawah Merah, Cinta Fitri, Jelita, Tersanjung, Anak Jalanan, Cinta Bersemi di Putih Abu-abu, Nada Cinta, Cinta Kirana, Mutiara, serta Upik Abu dan Laura sempat menjadi tayangan favorit di negeri jiran. Tak hanya saluran free to air yang menayangkannya, televisi berbayar Astro-pun juga menyediakan paket berlangganan khusus acara dari Indonesia. Namanya Indo Pek atau paket Indonesia. Dua salurannya, yakni kanal Pelangi (saluran 142) dan kanal Bintang (saluran 141) menyediakan program hiburan mulai dari film-film terbaru, infotainment, talkshow, sinetron, hingga komedi situasi. Oleh karenanya di awal dekade 2010-an, masyarakat Malaysia-pun juga mengenal acara-acara seperti Silet, Opera van Java, dan Extravaganza.
Saking populernya program acara Indonesia di Malaysia, seorang netizen negeri jiran : @shaqirwazizi1 sempat ngetwit tentang sinetron-sinetron kita yang pernah tayang disana. Unggahan tertanggal 15 Mei 2020 itu menampilkan empat kover sinetron Indonesia dengan kicauan : “the best ever “sinetron” legendary, siapa layan dulu2.” Saat tulisan ini diturunkan, unggahannya itu telah beroleh 6.800 retweet dan 1.300 tweet kutipan. Sayang, setelah K-Drama muncul dan menginvasi jaringan televisi Asia Tenggara, sinetron Indonesia tak lagi unjuk gigi. Terakhir mungkin Tukang Bubur Naik Haji yang cukup populer disana. Sinetron yang dibintangi oleh Cinta Kirana dan Andi Arsyl ini mengudara selama lima tahun dengan 2.185 episode!
Berbeda dengan film dan sinetron, musik-musik karya anak bangsa mampu mengimbangi — kalau tak bisa dibilang mendominasi — musik di negeri jiran. Ya, disamping nyanyian Amerika, lagu dari Indonesia-pun juga mendapat sambutan hangat disana. Kalau Anda berkunjung ke pusat perbelanjaan serta kafe-kafe di Kuala Lumpur, Melaka, atau kota lainnya, sering sekali lagu-lagu Indonesia diputar. Penyanyi-penyanyi seperti Afghan, Rossa, Noah, Sheila On 7, Dewa, Wali, Tulus, Naif, dan Via Vallen, memiliki penggemar yang cukup banyak disana. Tak salah jika radio-radio di Malaysia memainkan musik-musik Indonesia hingga tengah malam.
Ramainya radio Malaysia memutarkan lagu-lagu Indonesia, sempat diprotes oleh para seniman lokal. Di tahun 2008 lalu, ratusan musisi yang tergabung dalam Persatuan Karyawan Industri Musik Malaysia, menuntut pemerintah agar membatasi peredaran dan pemutaran lagu-lagu Indonesia di semua stasiun radio. Dalam sebuah petisi yang disampaikan kepada Menteri Shaziman Abu Mansor, kerajaan diminta untuk mengatur lagu-lagu Indonesia dan memberikan 90% kuota kepada lagu-lagu Malaysia. Petisi tersebut sontak menuai berbagai tanggapan, khususnya dari khalayak ramai pecinta musik Indonesia.
Adanya seruan pembatasan musik asing di media-media mainstream, mendorong warga Malaysia untuk beralih ke media lain. Salah satunya adalah Spotify. Orang-orang Malaysia yang hendak mendengarkan lagu pop Indonesia, banyak yang masuk ke ruang Pop Indo Hub. Begitupula dengan Youtube. Kalau Anda menengok di kolom komentar, banyak sekali apresiasi positif datang dari para penonton negeri jiran. Disamping itu, acara-acara konser yang mendatangkan artis-artis Indonesia-pun, selalu banyak saja peminatnya. Beberapa artis kita yang wara-wiri konser di Semenanjung antara lain Rossa, Tulus, Afghan, Dewa, Krisdayanti, dan Noah.

Pop Indo Hub di Spotify
Pada tahun 2017, dua artis top Indonesia sempat manggung di Kuala Lumpur. Di bulan Februari, Krisdayanti dengan konsernya yang bertajuk “Romansa” mengguncang Malaysia 3 hari 3 malam. Di bulan November, giliran Noah yang menggebrak Stadium Negara Kuala Lumpur dengan konser tunggalnya. Pada konser tersebut Noah melantunkan 17 lagu-lagu populer miliknya, sekaligus meresmikan klub penggemar “Sahabat Noah Malaysia”. Suksesnya konser-konser musisi tanah air memang tak lepas dari tingginya minat masyarakat Malaysia terhadap musik Indonesia. Jadi meskipun ada hambatan, “tapi gak pengaruh tuh, yang menonton tetap berjubel”, ujar Ukie salah seorang personel Noah.