Anwar Ibrahim merupakan sosok yang tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Sehingga terpilihnya beliau sebagai perdana menteri yang ke-10, tak mengejutkan banyak pihak. Ditunjuknya Anwar sebagai pemimpin baru Malaysia, setelah terjadi kebuntuan politik pasca Pemilu 19 November lalu. Dimana dalam Pemilu tersebut, Pakatan Harapan (PH) yang dipimpinnya, hanya meraih 82 kursi. Jumlah ini jauh dari syarat minimal untuk membentuk pemerintahan sendiri, yakni 112 kursi. Karena tak mencapai syarat yang dibutuhkan, maka PH mesti berkoalisi dengan gabungan partai lain. Setelah terjadi lobi-lobi singkat, Perikatan Nasional (PN) yang merupakan peraih kursi terbanyak kedua, enggan bergabung dengannya. Begitupula dengan pemenang ketiga Barisan Nasional (BN). Akibat tak adanya kesepakatan, Yang Dipertuan Agong Sultan Abdullah sempat memanggil anggota dewan dari PN ke istana. Sultan meminta agar PN mau membentuk koalisi pemerintah bersama PH. Tapi sayang, semua anggotanya kompak menolak. Mereka sepakat untuk menjadi oposisi. Lalu sultan-pun meminta dua koalisi lainnya : BN dan GPS (Gerakan Partai Serawak) agar mau bergabung. Meski agak berat, namun akhirnya mereka sepakat untuk membentuk pemerintahan baru.
Bagi sebagian orang, keterpilihan Anwar sudah diprediksi sejak jauh-jauh hari. Ini karena banyaknya rakyat Malaysia yang tak puas atas kepemimpinan Ismail Sabri Yaakob. Anjloknya suara BN – koalisi partai pendukung Ismail – pada Pemilu lalu, membuktikan itu semua. Pada Pilihan Raya Umum yang diikuti oleh 14 juta pemilih, BN hanya beroleh 30 kursi. Jauh dari pemenang kedua : Perikatan Nasional, yang meraih 73 kursi. Melorotnya suara BN, agaknya disebabkan oleh kasus korupsi 1 MDB yang menerpanya. Walau kejadian itu sudah berlangsung lama, namun banyak rakyat Malaysia yang belum percaya. Sejak kasus itu, Malaysia telah mengganti perdana menterinya sebanyak empat kali. Dari tiga perdana menteri, tak satupun diantara mereka yang menjabat hingga dua tahun. Mahathir Mohammad yang sebelumnya pernah menjabat selama 22 tahun, kali ini hanya bertahan 22 bulan. Begitu pula dengan Muhyiddin Yasin yang cuma 17 bulan, dan Ismail Sabri Yaakob 15 bulan.
Pergantian perdana menteri yang terjadi di Malaysia akhir-akhir ini, disebabkan banyaknya politisi kutu loncat yang berpindah dari satu partai ke partai lainnya. Selain itu, para politisi dengan mudah mencabut dukungan karena isu-isu sepele. Sehingga mereka yang semula mendukung pemerintah, berubah menjadi anti-pemerintah. Seperti yang terjadi pada tahun 2020 lalu, dimana Partai Bersatu pimpinan Muhyiddin mencabut dukungannya kepada Mahathir. Muhyiddin-pun lalu merapat ke Barisan Nasional dan beroleh dukungan mayoritas di parlemen. Dia naik menjadi perdana menteri setelah menang tipis atas Anwar Ibrahim. Karena penanganan Covid-19 yang buruk serta tak membaiknya kondisi ekonomi, sebagian besar anggota parlemen mengeluarkan mosi tak percaya. Muhyiddin-pun terjungkal, dan digantikan Ismail Sabri Yaakob. Ismail naik, namun hanya sebentar. Desakan masyarakat agar segera digelarnya Pemilu, menyebabkan ia membubarkan parlemen.
Kini setelah Anwar terpilih sebagai Perdana Menteri, tak ada jaminan kalau pemerintahan bakal bertahan hingga Pemilu selanjutnya. Boleh jadi di tengah jalan, UMNO atau GPS akan mencabut dukungannya. Terlebih UMNO yang menjadi pendukung supremasi Melayu, tak cocok dengan DAP (anggota koalisi PH) yang merupakan partai utama kaum Tionghoa. Begitu juga dengan GPS, meski didukung warga Tionghoa Sarawak, namun mereka tak cocok dengan DAP pimpinan Lim Guan Eng. Masalah antara Pakatan dan Perikatan-pun tak kalah peliknya. Partai Bersatu dan Partai Islam Se-Malaysia yang bergabung di dalam Perikatan, dikenal sebagai pendukung syariat Islam (partai kanan). Mereka tak cocok dengan partai-partai yang berkoalisi dalam Pakatan yang sebagian besar berideologi sosialis (partai kiri). Destabilisasi politik di Malaysia akhir-akhir ini, mengingatkan kita pada krisis politik yang terjadi di Indonesia tahun 1998-2001 lalu. Ketika itu Poros Tengah yang digawangi PAN, PKB, dan PBB, menggagalkan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi presiden. Padahal ketika itu PDI-P pimpinan Megawati menjadi partai pemenang Pemilu. Selanjutnya, Abdurrahman Wahid yang dicalonkan Poros Tengah berhasil naik menjadi presiden. Namun tak sampai dua tahun, ia-pun di-impeach, dan digantikan wakilnya, Megawati.
* * *
Anwar Ibrahim lahir di Bukit Mertajam, Penang tanggal 10 Agustus 1947. Kedua orang tuanya juga merupakan politisi UMNO. Bahkan ayahnya pernah menjadi anggota parlemen mewakili distrik Seberang Perai Pusat. Sebelum terjun ke dunia politik, Anwar sempat menjadi Presiden Angkatan Belia Islam Malaysia (1974-1982). Di awal-awal kepemimpinannya, ia berdemonstrasi memprotes kebijakan pemerintah. Gara-gara itu ia ditahan selama 20 bulan tanpa proses pengadilan. Tahun 1982, ia bergabung dengan UMNO yang saat itu dipimpin Mahathir. Kariernya menanjak cukup cepat, dimana pada tahun 1983 ia sudah ditunjuk sebagai Menteri Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga. Satu tahun kemudian ia di-reshuffle dan menjabat sebagai Menteri Pertanian. Tahun 1986, ia kembali pindah posisi menjadi Menteri Pendidikan. Pada saat inilah ia mengganti istilah Bahasa Malaysia menjadi Bahasa Melayu. Langkahnya itu tentu mengkhawatirkan banyak pihak. Sebab orang-orang non-Melayu akan merasa kalau bahasa ini sekarang bukan lagi bahasa mereka.
Pada tahun 1991, Anwar diangkat sebagai Menteri Keuangan (Menkeu). Selama menjabat sebagai Menkeu inilah pengaruhnya terhadap Malaysia langsung terasa. Negara ini menikmati kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya tak pernah terjadi. Tak lama setelah menjabat Menkeu, Euromoney memasukkannya ke dalam salah satu dari empat Menkeu terbaik. Dan pada tahun 1996 giliran Asiamoney yang memilihnya sebagai “Finance Minister of the Year”. Di tengah krisis keuangan Asia, Anwar — sebagai wakil perdana menteri dan menteri keuangan — dipuji karena berhasil membawa Malaysia melalui masa-masa ketidakstabilan. Keberhasilannya itu disebabkan karena ia mendukung prinsip pasar bebas serta menolak bail-out bank-bank bermasalah. Tahun 1998, Anwar terpilih sebagai Ketua Komite Pembangunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Sejak saat itu, popularitasnya makin tak terbendung.
Pada bulan Mei 1997, ketika mengambil cuti dua bulan, Mahathir menunjuk Anwar sebagai penjabat Perdana Menteri Malaysia. Di waktu yang cukup singkat itulah, Anwar secara independen mengambil langkah-langkah radikal yang banyak bertentangan dengan Mahathir. Anwar mengubah kebijakan pemerintah terutama terkait pengendalian krisis keuangan. Serangan frontal Anwar terhadap apa yang dia gambarkan sebagai budaya nepotisme dan kronisme yang merasuk di tubuh UMNO (dan koalisi Barisan Nasional) membuat Mahathir berang. Begitu pula upayanya untuk membongkar kebijakan proteksionis yang telah dibuat Mahathir selama ini. Karena perbedaan pandangan inilah, hubungan Anwar dan Mahathir mulai memburuk. Pada tanggal 2 September 1998, Anwar dipecat dari kabinet, dan keesokan harinya dikeluarkan dari UMNO.
Banyak laporan yang menyebut, keluarnya Anwar dari kabinet dikarenakan ia melakukan sodomi. Atas tuduhan tersebut, Anwar ditangkap pada tanggal 20 September 1998 dan ditahan tanpa proses pengadilan. Beberapa minggu kemudian, Anwar didakwa melakukan korupsi karena diduga mengganggu penyelidikan polisi terhadap dirinya. Saat berada dalam tahanan, Anwar dipukuli oleh Inspektur Jenderal Polisi Rahim Noor. Rahim kemudian dinyatakan bersalah telah melakukan penyerangan, dan akhirnya dipenjara dua bulan pada tahun 2000. Dia meminta maaf secara terbuka kepada Anwar dan membayar ganti rugi. Selama persidangan, kasur yang diduga terkena air mani Anwar dihadirkan ke pengadilan sebagai bukti tindakan seksualnya. Anwar membantah ada kaitannya dengan kasur tersebut, meski Lim Kong Boon, seorang ahli kimia DNA bersaksi dalam persidangan bahwa hasil tes menunjukkan 10 dari 13 noda air mani di kasur cocok dengan DNA Anwar. Tim pembela Anwar menyiratkan, bahwa sampel DNA mungkin telah diambil dari Anwar saat ia tak sadarkan diri setelah dianiaya polisi. Namun hakim Pengadilan Tinggi Augustine Paul menghiraukan pandangan tersebut, dan menerima bukti DNA yang disampaikan.
Bulan April 1999, Pengadilan Tinggi akhirnya menjatuhkan putusan yang menghukum Anwar enam tahun penjara untuk kasus korupsi dan sodomi. Namun dua bulan kemudian, keputusan tersebut diubah. Ia dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara untuk kasus sodomi, serta menjalani hukuman tambahan selama enam tahun terkait korupsi. Atas putusan tersebut, dalam laporannya Amnesty International menyatakan bahwa proses persidangan Anwar telah mempertontonkan manipulasi politik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga utama negara, serta menyatakan bahwa ditangkapnya Anwar sebagai bentuk pembungkaman atas kritiknya selama ini. Setelah penuh drama dan kontroversi, Pengadilan Federal akhirnya membatalkan hukuman tersebut, dan Anwar dibebaskan dari sel isolasi pada 2 September 2004.
Anwar kembali ke gelanggang politik dengan menjadi penasehat Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang dipimpin istrinya, Wan Azizah Wan Ismail. Ketika “Aksi Bersih” di Dataran Merdeka, Kuala Lumpur, November 2007 lalu, ia menjadi salah satu tokoh yang terdepan. Dalam aksi tersebut, ia menuntut agar diselenggarakannya Pemilu yang bersih dan adil. Tanggal 14 April 2008, Anwar merayakan come back-nya ke panggung politik. Lebih dari 40.000 pendukung menyambutnya dalam sebuah rapat umum. Dalam pertemuan itu, ia berpidato hampir dua jam sebelum akhirnya dihentikan pihak berwajib. Ketika lolos ke parlemen bulan September 2008, Anwar langsung dikukuhkan sebagai pemimpin oposisi. Meski tak berhasil menarik dukungan untuk membentuk pemerintahan sendiri, namun Anwar tetap menjadi oposan yang keras. Dia menjadi simbol perlawanan dan reformasi politik Malaysia. Melihat perlawanan yang dilakukan Anwar, pemerintah-pun menjebloskannya ke dalam penjara. Ia lagi-lagi dikriminalisasi atas tuduhan yang sama : sodomi.
Dalam perjalanan waktu, korupsi dan nepotisme yang disangkakan Anwar selama ini terbukti adanya. Perdana Menteri Najib Razak diduga menggelapkan uang perusahaan pengelola investasi 1 Malaysian Develompment Berhad. The Wall Street Journal dalam laporan investigasinya menyebut ada sekitar USD 700 juta uang perusahaan tersebut yang lari ke rekening Najib. Kasus yang kemudian dikenal dengan skandal 1 MDB itu ternyata juga melibatkan banyak politisi UMNO. Melihat kapal yang sudah oleng, Mahathir-pun melompat ke dalam sekoci. Ia keluar dari UMNO dan kemudian mendirikan Partai Bersatu. Berhasrat untuk mengambil alih kekuasaan, tahun 2017 Mahathir bergabung dengan Pakatan Harapan. Untuk memuluskan hasratnya, ia membujuk Anwar untuk menyokongnya sebagai pemimpin oposisi. Mahathir berjanji akan memberikan tongkat estafet kepemimpinan PH kepadanya. Satu tahun kemudian, Anwar dinyatakan bebas dan koalisi PH memenangkan Pemilu. Mahathir diangkat sebagai perdana menteri, dan istri Anwar, Wan Azizah Wan Ismail, sebagai wakilnya.
Anwar merupakan sosok flamboyan yang telah malang melintang di dunia politik sejak 40 tahun lalu. Meski tuduhan demi tuduhan terlontar kepada dirinya, namun ia tetap tenang. Bahkan ketika dua kali masuk penjara karena tuduhan sodomi, ia-pun tak melawan. Publik tahu, kalau popularitasnya semakin menaik. Makanya penguasa ketika itu harus menjebloskannya ke dalam penjara. Meski berada di dalam tahanan, namun simpati dan dukungan terus mengalir kepadanya. Termasuk dari Indonesia, dimana Anwar memiliki pendukung yang tak sedikit. Kini meskipun ia telah menjadi perdana menteri, posisinya-pun tak terlalu kokoh. Lawan-lawan politiknya bisa saja menarik dukungan, dan menjatuhkan pemerintahannya. Namun bagaimana-pun, Anwar telah memberikan teladan kepada kita bagaimana menjadi pemimpin sejati. Pemimpin yang telah mempertaruhkan seluruh hidupnya, demi mempertahankan nilai-nilai yang diyakininya. Seperti ungkapan Haji Agus Salim “leiden is lijden”, Anwar telah membuktikan kalau ia siap memimpin, siap menderita. Tahniah Pakcik Anwar!