
Yusof Ishak, mengenakan peci, sedang meninjau barisan pada Hari Kebangsaan (sumber : beritaharian.sg)
The Wall Street Journal, koran terkemuka asal Amerika, setahun lepas menurunkan laporan yang berjudul “Brain Drain Dampak Kebijakan Etnis Malaysia”. Laporan ini ditulis oleh Shie-Lynn Lim, salah seorang koresponden Wall Street Journal di Kuala Lumpur yang memberitakan keadaan di negeri jiran. Dalam laporannya Lim menulis, kuatnya politik Ketuanan Melayu di negeri itu, memicu rasa frustrasi sebagian warga Malaysia keturunan China. Akibatnya banyak diantara mereka yang kemudian lari dan bermukim di Singapura. Pendapat lainnya datang dari Rita Sim, salah seorang pendiri Centre for Strategic Engagement. Sim yang juga penulis buku “Unmistakably Chinese, Genuinely Malaysian” itu berpendapat, banyaknya orang-orang keturunan China yang keluar dari Malaysia disebabkan oleh sense of belonging mereka yang rendah terhadap negeri itu. Lagi-lagi ini disebabkan oleh politik Ketuanan Melayu yang dianggap tak berpihak kepada mereka.
Politik Ketuanan Melayu
Politik Ketuanan Melayu merupakan sistem politik yang memberikan hak-hak khusus kepada bangsa Melayu di Malaysia. Secara resmi politik ini berlaku sejak kemerdekaan Malaysia tahun 1957. Namun sistem ini mulai digagas sejak dekade 1920-an, dimana pada masa itu muncul bibit-bibit nasionalisme Melayu yang dipicu oleh politik segregasi Britania. Umum diketahui, pada masa kolonial Eropa orang-orang pribumi di Asia Tenggara diletakkan pada lapisan yang terbawah. Sedangkan bangsa-bangsa pendatang — seperti China, India, dan Arab, dijadikan sebagai intermedier antara pihak kolonial dengan kaum pribumi. Politik segregasi etnis tersebut, sengaja memisah-misahkan antara kaum Melayu, Tionghoa, dan India, agar mereka tak bersatu padu menentang pemerintahan Inggris di Semenanjung.