Disamping faktor ekonomi, bermigrasinya orang-orang Minang ke utara pantai barat Sumatera juga disebabkan oleh adanya perseteruan politik. Sama seperti Barus, Kerajaan Natal yang terletak di sehiliran Batang Natal juga merupakan kerajaan yang memiliki keterkaitan dengan Pagaruyung dan Indrapura. Menurut Puti Balkis Alisjahbana dalam bukunya Natal Ranah nan Data, kerajaan ini didirikan oleh Pangeran Indra Sutan (Pagaruyung) dan Rajo Putiah (Indrapura). Kepergian mereka ke daerah ini diperkirakan karena adanya kemelut di lingkungan istana. Satu lagi kerajaan kecil yang berkerabat dengan Indrapura adalah Kesultanan Sorkam. Kesultanan ini merupakan pecahan dari Kesultanan Barus yang raja pertamanya bergelar Rajo Junjungan Datuk Bungkuk. Seperti kerajaan pesisir barat lainnya, disini tak banyak ditemukan situs peninggalan sejarah, kecuali rumah keluarga raja, meriam pemberian Belanda, serta makam para raja.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kejatuhan kekuasaan Aceh dikarenakan lemahnya raja-raja pewaris Sultan Iskandar Muda. Selain itu tentu adanya kekuatan Eropa – terutama Belanda, yang sering bekerjasama dengan pedagang-pedagang Minang di kota pelabuhan pesisir barat. Para peniaga Minang yang selama ini tak diuntungkan oleh monopoli Aceh, terpaksa harus beraliansi dengan VOC untuk menyingkirkan mereka dari kota-kota pelabuhan. Akibatnya di beberapa kota, terjadi dualisme kepemimpinan. Di Barus, raja-raja hilir yang merupakan keturunan Minang, banyak yang mendukung kehadiran VOC. Sedangkan raja hulu dari Batak Silindung, masih setia dengan kepemimpinan sultan Aceh. Atas permintaan peniaga Minang, serangkaian aksi militer yang dilakukan VOC selama periode 1665-1667 akhirnya berhasil mengakhiri dominasi Aceh di pesisir barat. Leonard Andaya dalam karyanya Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka memerikan, untuk memperkuat aksi-aksinya di kawasan ini, VOC kerap mengatasnamakan sultan Pagaruyung. (lebih…)