Senen merupakan salah satu distrik di ibu kota yang tak pernah tidur. Aktifitasnya berdenyut nyaris 24 jam. Mulai dari pasar kue yang sudah ramai sebelum subuh, hingga para pedagang baju bekas yang baru tutup lewat tengah malam. Di paruh pertama abad ke-20, ada lima pusat perbelanjaan besar di Batavia, yakni Glodok-Pinangsia, Meester Cornelis (Jatinegara), Pasar Baru, Tanah Abang, dan Senen. Dari kelima pusat perbelanjaan itu, Senen yang menjadi trade mark sekaligus pusat gaya hidup. Pada dasawarsa 1930-an, berdiri dua bioskop ternama disini : Kramat Theater (kemudian berganti nama menjadi Rex Theater, lalu Grand Theater) dan Rivoli Theater. Keduanya sering menjadi tempat pemutaran perdana film-film baru atau film impor yang masuk ke Indonesia. Oleh karenanya sebelum meletus perang, Senen menjadi tempat berkumpulnya para muda-mudi.
Setelah masa kemerdekaan, Senen jadi tak terurus. Walikota Jakarta ketika itu, tak menaruh minat untuk mempertahankannya sebagai tempat perdagangan utama ibu kota. Akibatnya para gembel dan preman terus berdatangan ke kawasan ini. Di sepanjang rel antara Gang Sentiong hingga Pasar Senen, banyak berdiri pemukiman-pemukiman liar. Di utara stasiun arah ke Kemayoran, juga muncul tempat-tempat pelacuran. Pada dasawarsa 1950-an, Senen dikenal sebagai red light district-nya ibu kota. Hingga Ali Sadikin memindahkannya ke Kramat Tunggak, Senen populer sebagai tempat esek-esek kelas kecoa. Selain wanita tuna susila, pencopet, dan gelandangan, disini banyak pula berkumpul para seniman partikelir. Mereka yang kemudian menjadi terkenal antara lain Chairil Anwar (penyair), Misbach Yusa Biran (sutradara), Benyamin Sueb (aktor dan penyanyi), Soekarno M. Noer (aktor), dan Nurnaningsih (aktris).
(lebih…)