Big Boss, begitu panggilan akrab yang disematkan para seniman Senen, kepada raja film Indonesia : Djamaludin Malik. Sapaan ini muncul, lantaran ia kerap membantu para artis dan pemain teater, yang kala itu masih hidup susah. Pada masa setelah kemerdekaan hingga Bung Karno jatuh, seniman — utamanya para sineas dan pemain film — tidaklah mendapatkan prioritas oleh pemerintah kita. Hingga tahun 1964, tak ada satupun kementerian yang mengurusi perkembangan industri film tanah air. Oleh karenanya, di era 1950-an bioskop-bioskop banyak dikuasai film-film asing, terutama produksi Bollywood. Dalam keadaan carut-marut seperti itu, banyak film karya anak negeri yang cukup berkualitas, namun tak laku dipasaran. Akibatnya banyak rumah produksi yang gulung tikar, dan karyawannya di-PHK.
Dari sekian banyak tokoh film Indonesia yang mampu bertahan dari terpaan krisis itu adalah Djamaludin Malik. Ia merupakan pendiri sekaligus pemilik Persari (Perseroan Artis Indonesia). Sebuah perusahaan film yang menampung artis-artis Indonesia pada masa itu. Sebenarnya Djamaludin bukanlah seorang seniman. Namun kecintaannya terhadap sandiwara dan perfilman Indonesia, menyebabkannya mau memodali industri ini.