Posts Tagged ‘Sultan Buyung’


Setelah kita menengok jatuh-bangunnya kerajaan-kerajaan di pesisir timur Sumatera, maka kali ini Anda akan diajak untuk melihat naik-turunnya kerajaan-kota di pantai barat Sumatera. Tak kalah menarik dengan di bagian timur, di pesisir barat juga banyak situs-situs sejarah yang belum terungkap. Oleh karenanya, dalam artikel kali ini kita akan coba mendedah lagi hal-hal yang masih luput dari perhatian khalayak luas. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita meninjau dulu kondisi geografis kawasan ini yang akan berpengaruh terhadap perkembangan kerajaan-kota disini. Kawasan pantai barat Sumatera terbentang di sisi barat Bukit Barisan sepanjang 1.650 km. Menghadap ke Lautan Hindia, dengan dihalangi oleh pulau-pulau kecil yang berjarak sekitar 160 km dari bibir pantai. Topografi kawasan ini berada di kemiringan 20-90 derajat, yang secara tak menentu terpotong oleh igir-igir yang menyentuh pantai. Jarak antara pantai ke pegunungan berkisar antara 0 – 10 km. Dataran pantai yang lebar hanya terdapat di beberapa tempat, seperti di Meulaboh ataupun Singkil. Karena letaknya di kemiringan, banyak sungai pendek berarus deras yang mengalir disini. Berbeda dengan keadaan pesisir timur yang landai, sungai-sungai disini sangat sulit dialiri. Sehingga hubungan antara masyarakat pedalaman dengan pesisir barat, tak seintens antara pedalaman dan pesisir timur. Yang juga perlu menjadi catatan, kawasan ini sejak dahulu merupakan daerah rawan gempa. Lokasinya yang berada di patahan besar Sumatera serta berdekatan dengan zona subduksi, menyebabkannya berguncang setiap saat.

Karena geografisnya yang kurang menguntungkan, banyak orang yang enggan bermukim disini. Para peneroka hanya menjadikannya sebagai hunian sementara, sebelum mendapat upah atau keuntungan yang kemudian ditanamnya di pedalaman. Hingga abad ke-19, perbandingan antara populasi di pantai barat dan di pedalaman tak lebih antara 2 : 5. Rasio ini agaknya mirip dengan pantai selatan dan utara Pulau Jawa saat ini, dimana kawasan selatan masih relatif sepi. Dikarenakan populasinya yang sedikit, banyak kerajaan-kota disini yang bergantung dari dunia luar. Berbeda dengan Demak, Aceh, atau Malaka yang menjadi pemain utama dalam dunia perdagangan, kerajaan-kerajaan pantai di kawasan ini tak lebih hanya sebagai vassal kerajaan di pedalaman atau kota dagang kerajaan seberang lautan. Tak salah jika kemudian mereka menjadi rebutan kerajaan-kerajaan besar, mulai dari Sriwijaya, Pagaruyung, hingga Kesultanan Aceh. Kejadian ini terus berlangsung selama seribu tahun sejak kemunculan Kerajaan Fansur di abad ke-9 hingga kekuasaan kompeni Belanda.

(lebih…)

Iklan

Reruntuhan Benteng Portugis di Malaka : A Fomosa

Reruntuhan Benteng Portugis di Malaka : A Fomosa

Rivalitas politik dan kompetisi ekonomi antar raja-raja “Melayu”, ternyata telah menarik banyak peneliti asing untuk melakukan riset di Nusantara. Anthony Reid, Leonard Andaya, Timothy Barnard, dan Anthony Milner, merupakan sedikit dari peneliti-peneliti asing yang rajin mengungkap konflik dan persaingan di Selat Malaka. Bagi penulis sendiri, membaca kisah persaingan ini sama seperti halnya membaca rivalitas raja-raja di Laut Tengah : dari masa Romawi vs Kartago, hingga ke era persaingan Turki Utsmani melawan Venesia dan Spanyol. Yang menarik dari cerita itu, banyak pula kisah-kisah kelam seperti tipu muslihat, intrik, dan konflik internal yang kemudian menjadi petite histoire.

Selain karya peneliti asing, dari dalam negeri terbit pula buku-buku yang ditulis oleh Raden Hoesein Djajadiningrat, Amir Luthfi, dan Suwardi Mohammad Samin. Sebelum masa kemerdakaan dan bahkan jauh dari itu, di tanah Melayu sudah ada cerita-cerita yang mengupas kisah heroik pertempuran di Selat Malaka. Beberapa yang cukup terkenal antara lain : Hikayat Hang Tuah, Hikayat Siak, Syair Perang Siak, dan Hikayat Aceh. Sebagian isi catatan tersebut memang diambil dari fakta historis, namun sebagian yang lain lebih sebagai bentuk justifikasi kekuasaan. Sama seperti banyak buku sejarah yang ditulis pada masa Orde Baru.

Dalam artikel ini penulis akan mencatat kembali persaingan raja-raja “Melayu” di Selat Malaka, dengan membaginya ke dalam dua fase waktu : pertama 1511 – 1641, dimana terjadi kompetisi segi tiga antara Aceh, Johor dan Portugis, dan pada fase kedua (periode 1641 – 1824), mengenai persaingan antara Johor melawan Jambi, serta Johor melawan Siak. Pada masa ini kita juga akan melihat bagaimana pengaruh raja-raja Pagaruyung, petualang Bugis, serta para pedagang Inggris dan Belanda, dalam merebut supremasi di Selat Malaka.

(lebih…)