Setiap kali ku melintas jembatan penyeberangan Dukuh Atas (Jakarta Pusat), duduknya selalu menyila. Mengapit anaknya yang tertidur di pangkuan. Parasnya tak pernah nampak jelas oleh ku. Selain tertutup tudung putih lusuh yang sudah kecoklatan, kepalanya selalu menekur. Wajahnya yang acap merunduk, mungkin sedang larut dalam simpuh kepada sang Khalik. Dalam doanya ia meminta, agar anak yang dipangkuannya itu, kelak tak menemui nasib seperti dirinya. Usianya ku tak tahu pasti. Tua belum mudapun terlampau. Mungkin sudah kepala empat. Yang jelas, anak yang dipangkuan itu, lewat sedikit dari umur anakku yang baru pandai berjalan.
Aku yakin, anak yang dipelukan itu, anak kandungnya sendiri. Bukan anak sewaan atau anak pungut yang biasa banyak dipakai oleh para pengemis jalanan. Meskipun statusnya miskin, namun yang ku lihat, ia tak pernah menengadahkan tangan. Apalagi membuat-buat cacat palsu, seperti pengemis lain di ujung jembatan penyeberangan itu. Walau tak semua orang lewat melemparkan recehan ke hadapannya. Sepintas ku lihat dari kejauhan, ada saja rezeki ibu ini.
Tapi yang tak jelas ia ketahui, sampai kapan nasibnya seperti itu? Seolah-olah kemiskinan enggan berpisah darinya. Sudah lebih dari dua tahun ku memintas jembatan itu. Namun hingga kini, keadaannya masih seperti yang dulu. Lusuh, bau, dan tak berpenghasilan. Tak ada satu orangpun yang peduli dengan nasibnya. Termasuk pemerintah, yang bernaung dalam Dinas Sosial Kependudukan. Kadang ku berpikir, dimana kewajiban pemerintah kita, yang jelas-jelas diamanatkan oleh konstitusi untuk melindungi orang miskin dan anak-anak terlantar. Ah… mungkin mereka lupa, kalau negara ini masih dihuni 40 juta orang-orang miskin. Atau mungkin juga karena sibuk dengan urusan pencitraan, kerja-kerja non-populis abai terlaksana.
Mengatasi Kemiskinan
Sejatinya, ada dua faktor yang bisa melepas manusia dari jeratan kemiskinan : penguasaan alat produksi serta pendidikan yang layak. Tanpa dua persyaratan itu, atau salah satunya terabaikan, maka kemiskinan akan terus membelenggu masyarakat.
Pada suatu kesempatan, Soekarno pernah menemui seorang petani di daerah Bandung Selatan. Dalam pertemuan itu, terjadilah dialog antara Soekarno (S) dengan sang petani yang diketahui bernama Marhaen (M).
S : Milik siapa tanah ini?
M : Saya.
S : Cangkul ini milik siapa?
M : Saya.
S : Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?
M: Punya saya.
S : Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?
M : Untuk saya.
S : Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?
M : Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.
S : Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?
M : Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri.
S : Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?
M : Benar, saya hidup dalam kemiskinan.
Dari dialog di atas, nampak sekali Soekarno iba dengan kehidupan Marhaen yang miskin. Namun kemandiriannya, telah menginspirasi pemikiran Soekarno muda. Ajarannya yang kelak dikenal dengan Marhaenisme, mengajak jutaan kaum tani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh kasar, untuk mencontoh Marhaen menjadi rakyat mandiri, yang menguasai alat-alat produksi seperti tanah dan cangkul. Menurutnya dengan cara itulah maka bangsa Indonesia akan terbebas dari kemiskinan.
Marhaenisme, seperti halnya Marxisme yang dipelajari Soekarno bertahun-tahun, sebatas hanya menekankan pada penguasaan alat-alat produksi, tanpa mengutamakan pentingnya pendidikan. Padahal, justru dengan pendidikanlah kemiskinan bisa diberantas. Sejarah telah mencatat, dengan pengabaian itu Marhaenisme gagal mencapai tujuannya.
Lalainya pemerintah kita menyediakan fasilitas pendidikan yang layak, berujung pada tumpulnya keahlian yang dimiliki putra-putri Indonesia. Produktifitas rendah, budi pekerti yang tak terasah, serta masih adanya sikap barbar pada sebagian masyarakat kita, disebabkan karena tak adanya sarana pendidikan yang bisa membentuk jiwa, sanubari, dan akal pikiran manusia.
Coba tengoklah Maluku, Papua, dan sebagian besar wilayah Indonesia Timur. Walau sumber daya alam melimpah ruah — baik bahari, perkebunan, maupun pertambangan — namun masih banyak masyarakatnya yang terjerat dalam kubang kemelaratan. Hal ini disebabkan karena tak adanya tempat pendidikan yang memadai. Serta tenaga pengajar mumpuni yang bisa mengangkat harkat dan martabat masyarakat setempat. Bukan hanya di kawasan Indonesia Timur saja. Di Jawapun walau banyak sekolah-sekolah berdiri, namun biayanya mencekik leher. Mahalnya biaya pendidikan di Jawa, seolah-olah menganggap sepi keberadaan 20 juta orang miskin disini, yang untuk memenuhi kebutuhan perutnya saja harus menjerit dan terlunta-lunta.
Laporan masyarakat jelas mengata, untuk masuk ke sekolah-sekolah top seperti UI, ITB, dan UGM, uang Rp 10 juta musti ada di tangan. Kalau tak ada sejumlah itu — yang bagi sebagian besar rakyat sangatlah besar — jangan berharap bisa mencicipi fasilitas pendidikan yang memadai. Kalau begini keadaannya, bayang-bayang untuk lepas dari jeratan ekonomi sulit, terpaksa harus ditunda dulu. Menunggu kepastian dari pemerintah, memberikan pendidikan layak nan gratis kepada segenap anak-anak bangsa.
Lihat pula :
Mengapa Nusantara Jatuh Miskin