
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (sumber : detravelling.com)
Mungkin kalian punya seribu satu alasan untuk datang ke Jogja. Seperti saya, meski sudah berulang kali datang kesini, tapi tetap saja kota ini ngangenin. Apa yang membuat saya suka datang kesini? masyarakatnya. Terus apalagi? suasananya. Ah untuk yang satu ini, saya susah melukiskannya. Karena setiap kesini, selalu saja ada hal yang berkesan. Jogja atau biasa ditulis Yogyakarta, memang luar biasa. Kota ini telah lama menjadi ikon wisata Pulau Jawa. Pemandangan yang indah, bangunan yang unik, serta kulturnya yang mempesona, menjadikannya sebagai tujuan utama pelancong lokal maupun mancanegara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, di tahun 2012 terdapat 3,5 juta wisatawan yang berkunjung kesini. Dirangkum dari berbagai sumber serta berdasarkan pengalaman penulis, ada 7 hal menarik yang menjadikan Jogja sebagai tempat wisata yang layak untuk dikunjungi. Berikut rangkumannya :
1. Keraton Jawa.
Tak bisa dipungkiri bahwa daya tarik Jogja yang sebenarnya adalah Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Karena keberadaan keraton inilah maka Jogja ditabalkan sebagai pusat kebudayaan Jawa. Surakarta, kota tetangga sekaligus pesaingnya di masa lampau, juga memiliki keraton yang serupa, namun auranya tak sekuat keraton di Jogjakarta. Mungkin karena di Jogja, raja Jawa yang “tersisa” : Sultan Hamengkubuwono X masih memegang titah, setidaknya untuk level propinsi. Di Keraton Jogjakarta, Anda masih bisa merasakan pesona kebesaran Kesultanan Mataram. Disini berbagai upacara masih diselenggarakan secara berkala. Anda juga masih bisa melihat kereta kuda zaman dahulu, keris-keris, kursi kebesaran, hingga pakaian para raja. Semua itu masih terawat dan diagungkan. Keraton ini dibangun pada tahun 1755 oleh Pangeran Mangkubumi. Dalam kosmologi Jawa, Keraton merupakan pusat dari garis imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi. Oleh karenanya terdapat dua alun-alun di halaman istana : Alun-alun Utara (Tepas Keprajuritan) dan Alun-alun Selatan (Tepas Pariwisata), yang merupakan gerbang kedua “kutub” tersebut.
Di malam hari, Alun-alun Selatan merupakan tempat yang menarik untuk dikunjungi. Disini banyak orang yang menguji mitos, berjalan diantara dua pohon beringin besar dengan mata tertutup. Namun entah mengapa, jarang sekali orang yang berhasil melewatinya. Sebagian orang percaya, pohon beringin itu memiliki daya magisnya tersendiri. Penasaran? buktikan saja sendiri. Setelah menonton orang-orang bermain masangin (masuk diantara dua beringin), selanjutnya Anda bisa menikmati keasyikan mengemudi mobil bling-bling. Mobil ini sebenarnya adalah sepeda kayuh yang dimodifikasi sedemikian rupa hingga menyerupai VW Beetle dan Kancil. Dengan memasang lampu hias di bagian rangka, serta MP3 player dan TV LCD 10 inchi, kehadiran sepeda-sepeda ini telah membetot perhatian para pengunjung. Dengan uang Rp 20.000, Anda bisa menyewa sepeda ini selama 30 menit untuk berkeliling Tepas Pariwisata.
2. Kemegahan Candi Borobudur
Seperti halnya saya ketika pertama kali datang ke Borobudur, mungkin Anda akan terperangah begitu melihat megahnya Candi Borobudur. Seolah-olah Anda tak percaya, melihat besarnya undakan batu yang bertumpuk-tumpuk menjulang setinggi 35 meter. Bayangkan, panjang candi ini 123 meter – lebih besar dari ukuran stadion sepak bola. Kalau dibandingkan dengan Stadion Utama Bung Karno yang juga besar dan megah, mungkin masih belum seberapa. Sebab disini selain terdapat 72 stupa beserta arca Budha yang sedang duduk bertapa, ada pula relief pahatan sebanyak 2.672 buah, yang jika direntangkan bisa mencapai 6 km.

Mobil Bling-bling di Alun-alun Selatan Keraton (sumber : http://jejaktraveling.com)
Menyusuri dinding Candi Borobudur dari bawah ke atas, seolah-olah Anda sedang membaca cerita kehidupan masyarakat Nusantara di abad pertengahan. Ada empat cerita utama yang terpahat di dinding Borobudur, yaitu : Karmawibhangga (hukum karma), Lalitawistara (riwayat Sang Budha), Jataka dan Awadana (sifat sang Budha), dan Gandawyuha (cerita Sudhana yang mencari ilmu pengetahuan). Melihat rangkaian cerita itu, mungkin Anda akan terkagum-kagum merasakan kebesaran nenek moyang bangsa Indonesia dahulu kala. Jika Anda berencana melawat ke Angkor Wat di Kamboja atau Wat Pho di Thailand, namun belum melihat Candi Borobudur, maka sebaiknya Anda datang dulu ke Jogjakarta. Sebab kemegahan dan keunikan Borobudur, lebih menarik jika dibandingkan dengan kedua candi tersebut.
3. Keramaian Malioboro
Jalan Malioboro merupakan pusat kota sekaligus pusat keramaian di Jogjakarta. Disini kita bisa menjumpai ratusan pedagang kaki lima menjual aneka penganan serta pakaian khas Jogjakarta. Malioboro adalah pasar rakyat yang sebenarnya. Di ruas ini para pedagang kecil tanpa sungkan menggelar lapak, mulai dari Stasiun Tugu sampai ke halaman Benteng Vredeburg. Kopi joss, gudeg, serta wedang ronde, merupakan jenis kuliner yang banyak dijual di Malioboro. Selain kuliner, hal menarik lainnya di tempat ini adalah pernak-pernik yang ditawarkan relatif lebih murah. Kerajinan tangan berbentuk becak misalnya, hanya dibanderol seharga Rp 85.000. Kereta kuda sekitar Rp 125.000, dan replika gerobak soto dipatok pada harga Rp 200.000.
Pasar Beringharjo, di bagian selatan Malioboro, juga merupakan bagian dari pusat keramaian kota. Bagi Anda yang hendak mencari batik, pasar ini merupakan tempat berkumpulnya para pedagang batik dari seantero kota. Agar Anda bisa mendapatkan harga yang bersahabat, datanglah ke Beringharjo pada pagi atau sore hari. Biasanya para penjual tak segan-segan membanting harga demi memperoleh tambahan penglaris. Meski ramai orang berlalu lalang, namun di Malioboro semuanya berjalan tertib. Tak ada yang grasa-grusu, buru-buru, dan berteriak berebut konsumen. Segalanya berjalan konstan dan ajeg. Tukang andong misalnya, berbaris dengan tertib menunggu giliran penumpang. Begitu pula dengan para pengamen, yang menyanyikan tembang-tembang Jawa dengan tulus, berkelompok, dan penuh harmoni.
4. Kreatifitas Kaos Dagadu
Bagi sebagian orang, rasanya kurang pas jika ke Jogjakarta tak membeli kaos Dagadu. Produk ini sudah sejak lama dikenal luas sebagai salah satu buah tangan khas Jogjakarta. Tak hanya memproduksi kaos dengan beragam rangkaian kata-kata unik, Dagadu juga memproduksi barang dengan desain menarik, seperti jaket, topi, sandal, dan tas. Selain bisa didapat di berbagai kedai, kini Dagadu juga memiliki pusat penjualan produknya sendiri, yakni di Yogyatorium. Bagi Anda yang berkantong cekak, Dagadu-Dagadu palsu-pun banyak dijual orang di pinggir jalan. Karena besarnya manfaat Dagadu bagi perekonomian Jogja, nampaknya pemilik asli Dagadu : A. Noor Arief, telah mewakafkan merek tersebut untuk kemaslahatan bersama. Namun setelah sekian lama menjadi “milik bersama”, belakangan pemilik asli merek tersebut malah meminta agar masyarakat tak lagi memalsukan produk-produknya.
5. Gurihnya Bakpia Pathok
Satu lagi oleh-oleh khas Jogja yang banyak digandrungi orang ialah Bakpia Pathok. Sama seperti halnya Dagadu, di Jogjakarta ada pula persaingan diantara para penjual Bakpia Pathok. Semuanya mengklaim sebagai penghasil bakpia asli. Untuk membedakan diantara sekian banyak pedagang bakpia, mereka “sepakat” untuk menambahkan nomor di belakang kata Bakpia Pathok. Misal : Bakpia Pathok 25, Bakpia Pathok 72, Bakpia Pathok 75, dan Bakpia Pathok 145.
Awalnya bakpia dibuat oleh seorang keturunan Tionghoa, Kwik Sun Kwok. Karena dagangannya lumayan laris, kemudian banyak orang yang mengikuti jejak beliau menjual bakpia. Sebenarnya kue pia adalah juadah khas negeri Tiongkok. Oleh karenanya di beberapa kota Pulau Jawa yang banyak perantau China-nya, dengan mudah kita jumpai kue-kue pia dengan aneka bentuk dan cita rasa. Di Jogjakarta, salah satu sentra home industry pembuatan bakpia ada di Jalan K.S. Tubun. Jika Anda hendak membeli kue tersebut dengan mencarter andong atau becak, biasanya para kusir andong dan tukang becak akan mengantarkannya kesini. Sebab dari para penjual bakpia inilah, mereka akan memperoleh tip yang cukup lumayan. Oleh karenanya bagi wisatawan, jasa tukang becak dan andong di Jogjakarta terhitung sangatlah murah. Asalkan Anda mau berbelanja ke toko-toko yang mereka rekomendasikan.
6. Kampung Batik
Ada banyak kampung batik di Jogjakarta, diantaranya Giriloyo, Ngasem, dan Mangunan. Di kampung batik Giriloyo, Anda bisa melihat secara langsung para pembatik mengukir dengan canting di atas kain-kain putih. Ada berbagai macam motif batik tulis, salah satunya ialah motif kipas yang merupakan motif warisan Kesultanan Mataram. Harga batik tulis di Giriloyo bervariasi, mulai dari Rp 350 ribu sampai Rp 1,5 juta, tergantung tingkat kerumitan dan lamanya waktu pengerjaan. Kampung Ngasem merupakan sentra batik yang banyak menjual baju-baju kemeja serta daster. Disini Anda bisa memperoleh satu potong kemeja seharga Rp 75.000. Tak hanya baju, Ngasem juga memproduksi aksesoris dan produk-produk lainnya yang berbahan batik, seperti taplak meja, tas, seprei, dan sarung bantal.
7. Dari Legenda ke Legenda
Ada banyak cerita legendaris di Jogjakarta. Salah satunya ialah kisah Loro Jonggrang yang minta dibuatkan seribu candi dalam satu malam. Adalah Bandung Bondowoso, pangeran Kerajaan Pengging yang membuat 1.000 candi itu dalam semalam, untuk memenuhi permintaan calon permaisurinya. Namun karena permaisuri itu bersiasat, akhirnya Bandung Bondowoso gagal memenuhi permintaan tersebut. Atas kejadian itu, Bandung Bondowoso murka dan mengutuk Loro Jonggrang menjadi batu. Kisah Loro Jonggrang dengan 1.000 candinya itu bisa dilihat pada kompleks Candi Prambanan. Salah satu arca (Arca Durga Mahisashuramardini) di bagian utara Candi Siwa, katanya merupakan perwujudan dari putri Loro Jonggrang.
Legenda lainnya datang dari kisah kehidupan raja-raja Mataram. Di Taman Sari, 500 meter dari Keraton, terdapat kolam pemandian yang dulunya merupakan bagian dari kebun istana raja. Kolam pemandian ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Umbul Kawitan, Umbul Pamuncar, dan Umbul Panguras. Dari atas gapura panggung setinggi 10 meter, sultan bisa melihat para selirnya yang sedang mandi. Kemudian dari tempat itu, sultan memilih salah satu diantara mereka untuk diajak mandi bersama. Penasaran bagaimana asiknya sultan-sultan Jogja melihat para selirnya yang sedang mandi, datanglah ke Taman Sari bersama imajinasi Anda.
Bagi Anda yang sudah wara-wiri ke Jogjakarta, mungkin alasan-alasan di atas agaknya tak lagi begitu relevan. Tapi coba ingat deh, apa sih “wow stories” Anda ketika pertama kali ke kota ini.