OA_N.indd

Setelah menengok kiprah orang Arab di Semenanjung Malaya dan Singapura, selanjutnya kita akan melihat sepak terjang mereka di Indonesia. Di negeri ini, sebelum kedatangan orang Eropa, hampir keseluruhan masyarakat Arab-Hadhrami tinggal di pusat-pusat kerajaan Islam. Mayoritas mereka bermukim di Kutaraja, Siak, Palembang, Demak, Yogyakarta, Surakarta, Pontianak, dan Ternate. Di tempat-tempat tersebut banyak diantara mereka yang menjadi kadi, ulama, penasehat raja, dan kemudian menikah dengan kerabat keluarga sultan.

Semasa era penjajahan Belanda, banyak dari pendatang Arab yang bermukim di kota-kota perdagangan, seperti Jakarta dan Surabaya. Oleh pemerintahan Hindia-Belanda pergerakan mereka sering kali dibatasi. Mereka dipaksa untuk tinggal di kampung-kampung khusus, dan harus membuat kartu pas ketika berpergian. Mengenai motif kedatangan mereka, L. W. C. van den Berg — salah seorang orientalis Belanda di abad 19 — dalam karyanya “Le Hadhramout Et Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien” mengungkapkan, bahwa perantauan mereka ke Indonesia terutama disebabkan oleh faktor ekonomi, bukan misi penyebaran agama. Lebih lanjut Azyumardi Azra menegaskan, kalaupun ada diantara mereka yang memegang posisi keagamaan sebagai imam, itupun hanyalah untuk mengejar imbalan keuangan yang tidak bermotifkan agama.

Orang Arab di Lingkungan Istana

Apapun itu latar belakang mereka ke Indonesia, namun sejarah telah mencatat bahwa kaum Arab-Hadhrami telah memainkan peranan cukup besar di negeri ini. Untuk melihat kiprah dan sepak terjang mereka, kita akan memulainya dari Kesultanan Aceh di ujung barat Pulau Sumatera. Di Kutaraja, salah seorang Arab yang memegang peranan cukup penting adalah Badrul-Alam Syarif Hasyim Jamaluddin. Dia merupakan utusan dari negeri Hejaz yang sedang meniti persahabatan dengan Kesultanan Aceh. Di abad ke-17, Aceh merupakan salah satu kesultanan muslim yang cukup diperhitungkan. Oleh karenanya penguasa Mekkah saat itu perlu menjalin persahabatan dengan kesultanan ini. Karena kepandaiannya di bidang agama, Syarif Hasyim dinikahkan dengan Ratu Zainatuddin Kamalat Syah, penguasa Aceh ketika itu. Melihat peluang yang ada, beberapa orang Arab bersama para oposan politik, mencoba untuk merebut singgasana Ratu Kamalat Syah. Mereka melakukan intrik dengan meminta fatwa dari kadi Mekkah yang mengharamkan seorang perempuan menjadi kepala negara. Berkat fatwa itu, tahta kekuasaan Aceh diserahkan kepada Badrul-Alam Syarif Hasyim Jamaluddin, suami Kamalat Syah. Sejak saat itu hingga 28 tahun kemudian, tampuk kepemimpinan Aceh dipegang oleh para penguasa berketurunan Arab.

Tak lama Syarif Hasyim memimpin (1699-1702), beliau menyerahkan kekuasaannya kepada Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui. Namun putranya itu hanya berkuasa selama satu tahun. Setelah itu singgasana kekuasaan diserahkan kepada putranya yang lain, Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Pada masa pemerintahannya, negeri Aceh tergolong negeri yang makmur. Meski begitu ada pula pihak-pihak yang tak menyukai kepemimpinan beliau, diantaranya adalah Panglima Sagi. Karena pemberontakan kaum bangsawan itu, maka Sultan Jamalul Alam Badrul Munir melarikan diri ke Pidie. Pada tahun 1727, setelah dijabat oleh lima orang sultan, Dinasti Syarif di Aceh terpaksa harus berakhir.

Meski hampir satu abad tersingkir dari pentas perpolitikan Aceh, namun sisa-sisa pengaruh keturunan Arab belumlah memudar. Pada tahun 1815, dengan memanfaatkan kekayaan mereka dan pengaruh politik Inggris di Selat Malaka, sekali lagi orang-orang Arab mengambil alih tahta Aceh. Adalah Syed Hussein Aidid, cucu Sultan Jamalul Alam Badrul Munir, yang berhasil mendudukkan putranya : Syarif Saiful Alam Syah sebagai raja Aceh ke-30. Karena hal ini sudah disinggung sebelumnya, maka saya akan mengajak Anda untuk menengok kiprah masyarakat Hadhrami di bagian lain Pulau Sumatera, tepatnya di Kesultanan Siak Sri Inderapura.

Di Siak, orang Arab yang berhasil masuk ke tampuk kuasa kerajaan adalah Sayid Uthman bin Abdurrahman. Uthman ditunjuk sebagai komandan militer dan penasehat keagamaan pada masa Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah. Karena kepandaiannya, ia dinikahkan dengan putri sultan : Badriyyah. Dari pernikahan mereka kemudian lahir keturunan yang memegang tongkat estafet kepemimpinan Siak. Menurut Zahra Aljunied dalam artikelnya yang bertajuk : “The Genealogy of the Hadhrami Arabs in Southeast Asia – the ‘Alawi Family“, bahwa sejak sultan yang ketujuh hingga keduabelas, Siak diperintah oleh kepala negara berketurunan Arab. Berbeda dengan para pendahulu mereka yang gagah berani, sultan-sultan berdarah Arab itu lebih seperti orang pesakitan. Mereka dengan mudahnya diatur-atur oleh pemerintahan kolonialis Eropa. Sultan Sayid Ibrahim misalnya, ia membuat perjanjian kerjasama dengan Inggris (1818) dan Belanda (1822), yang malah melemahkan kedudukan Siak di Selat Malaka. Kemenakannya : Sultan Sayid Ismail lebih tragis lagi. Beliau dipaksa turun tahta oleh Belanda, dan para penerusnya hanyalah menjadi raja-raja boneka.

Sultan Syarif Kasim II (berdiri)

Sultan Syarif Kasim II (berdiri)

Setelah hampir satu abad di bawah hegemoni Belanda, pada tahun 1945 Kesultanan Siak menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia. Sultan yang terakhir : Sultan Syarif Kasim II, menghibahkan sebagian hartanya sebesar 13 juta gulden (setara dengan 69 juta Euro dengan kurs tahun 2011) untuk pemerintahan baru republik. Tindakan sultan itu mengingatkan kita kepada kebiasaan orang-orang Arab-Hadhrami di Singapura yang gemar mewakafkan harta-harta mereka. Pilihan ini cukuplah cerdik, mengingat beberapa sultan Melayu di Sumatera Timur diamuk massa lantaran ingin mempertahankan status quo di bawah kekuasaan Hindia-Belanda.

Di Kalimantan Barat, orang-orang Hadhrami juga berhasil masuk ke lingkaran kekuasaan. Lagi-lagi hal ini diawali dengan jalan perkawinan. Dialah Sayid Habib Husein Alkadrie, seorang pengelana dari Yaman Selatan yang kemudian menetap di Kesultanan Matan. Di kesultanan ini ia diangkat sebagai hakim utama dan kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Muhammad Muazzuddin. Disini ia bertugas hingga Sultan Matan yang keempat : Sultan Ahmad Kamaluddin. Karena terjadi perselisihan dengan keluarga kerajaan, ia ditawari Opu Daeng Menambun pindah ke Mempawah. Untuk memperkuat persahabatan mereka, putri Daeng Menambun : Candramidi dinikahkan dengan Syarif Abdurrahman Alkadrie, putra Husein Alkadrie. Pada tahun 1778, setelah mendapatkan izin di Pontianak, Abdurrahman Alkadrie mendirikan Kesultanan Kadriah. Namun dalam perjalanannya kesultanan ini tak lebih dari sekadar perpanjangan tangan Hindia-Belanda.

Hingga masa kemerdekaan, Dinasti Alkadrie di Pontianak masihlah menjadi penyokong kuat pemerintahan Hindia-Belanda. Syarif Hamid Alkadrie, sultan ketujuh, malah menjadi tentara KNIL hingga memperoleh pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Belanda. Meski berjasa dalam mendesain lambang Garuda Pancasila, namun di masa revolusi fisik Hamid Alkadrie adalah seorang yang anti-republik. Dalam beberapa konferensi, ia memilih bentuk pemerintahan Indonesia federal yang berinduk kepada Belanda. Karena kedekatannya dengan komandan KNIL, ia kemudian bersekongkol dengan Raymond Westerling untuk menggulingkan Kabinet Republik Indonesia Serikat. Dalam kudeta itu mereka berencana akan membunuh tokoh-tokoh republik terkemuka, termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX. Hamid Alkadrie pernah menjabat sebagai Menteri Negara tanpa portofolio, sebelum akhirnya dipecat karena terlibat dalam pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Setelah masa kemerdekaan, banyak orang-orang keturunan Arab yang diangkat menjadi menteri. Selain Hamid Alkadrie, ada sejumlah nama yang cukup menonjol, diantaranya : Ali Alatas, Mar’ie Muhammad, dan Saleh Afiff. Semuanya menjabat pada masa Orde Baru. Ali Alatas, blasteran Arab-Sunda, sempat menduduki Menteri Luar Negeri selama 11 tahun (1988-1999). Dia dipilih oleh dua orang presiden : Soeharto dan B.J Habibie. Namanya cukup dikenal di dunia internasional setelah ia aktif sebagai fasilitator perundingan perdamaian. Kemudian ia berperan besar dalam kepemimpinan Indonesia pada organisasi Gerakan Non-Blok. Karena namanya yang cukup akrab di kalangan diplomat, ia sempat santer diisukan menjadi calon Sekretaris Jenderal PBB menggantikan Boutros-Boutros Ghali. Pada tahun 2003, ia menjadi utusan khusus PBB untuk pembebasan Aung San Suu Kyi.

Mar’ie Muhammad juga merupakan orang kepercayaan Soeharto. Sebelum menjabat menteri di tahun 1993, ia sempat menduduki pos Direktorat Jenderal Pajak. Karena pribadinya yang bersih dan jujur, ia kerap dijuluki sebagai “Mr. Clean”. Satu lagi orang keturunan Arab yang cukup cemerlang adalah Saleh Afiff. Dia merupakan barisan terakhir dari anggota teknokrat Barkeley (“Mafia Barkeley”) yang dipakai Soeharto sebagai arsitek ekonomi Indonesia. Sebelum menjabat Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

Anies Baswedan

Setelah Orde Reformasi, banyak pula orang keturunan Arab-Hadhrami yang menduduki pos kementerian. Mereka adalah Alwi Shihab (Menteri Luar Negeri), Said Agil Husin Almunawwar (Menteri Agama), Nabiel Makarim (Menteri Negara Lingkungan Hidup), Fadel Muhammad (Menteri Kelautan dan Perikanan), Salim Segaf Aljufri (Menteri Sosial), dan Anies Baswedan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Namun dari nama-nama menteri tersebut tak ada yang menonjol kecuali nama yang terakhir. Anies Baswedan memulai kariernya sebagai seorang peneliti di Universitas Gadjah Mada hingga meraih jabatan rektor di Universitas Paramadina. Selain mengajar, ia juga merupakan seorang konseptor pendidikan yang lugas. Untuk membenahi pendidikan di daerah-daerah terpencil, ia menggagas gerakan “Indonesia Mengajar”. Karena prestasinya itu, ia diganjar berbagai macam penghargaan. Diantaranya ialah PASIAD Education Award dari pemerintah Turki dan Nakasone Yasuhiro Award dari mantan perdana menteri Jepang : Yasuhiro Nakasone. Di tahun 2010, ia juga memperoleh titel sebagai salah satu dari 20 tokoh pembawa perubahan dunia untuk 20 tahun mendatang versi majalah Foresight.

 

Dunia Perdagangan dan Bisnis Orang Arab

Leif Manger dalam bukunya “The Hadhrami Diaspora : Community-Building on the Indian Ocean Rim” mencatat bahwa bisnis orang-orang Hadhrami terbentang luas mulai dari Addis Ababa, Jeddah, Hyderabad, Penang, Singapura, hingga ke Maluku. Di Jeddah, kelompok masyarakat Hadhrami mendominasi bisnis penukaran uang. Mereka juga menangguk untung dari bisnis properti, seperti yang dilakoni oleh keluarga Bin Laden. Di Hyderabad mayoritas peniaga Hadhrami menggeluti bisnis peminjaman uang. Diantara mereka yang sukses adalah Umar bin Awad Alquayti, Ghalib bin Muhsin Alkatiri, serta Abdallah bin Ali Awlaqi. Sedangkan di Singapura, seperti yang telah ditulis sebelumnya, sebagian besar mereka berhasil menjadi konglomerat dari bisnis real estat dan transportasi.

Seperti kota-kota lain di tepi Samudera Hindia, mayoritas orang Arab di Indonesia juga menggeluti bisnis properti, transportasi, dan peminjaman uang. Dari ketiga bidang inilah orang-orang Arab-Hadhrami muncul sebagai saudagar yang cukup disegani. Menurut laporan L. W. C. van den Berg, pada tahun 1887 terdapat 79 orang Hadhrami yang memiliki modal lebih dari 100.000 gulden. Kalau saja Raffles tak mengiming-imingi mereka untuk pindah ke Singapura, mungkin di tahun itu ada lebih dari 150 orang Arab di Indonesia yang berstatus miliuner. Karena hampir keseluruhan dari 80 orang konglomerat Arab di Singapura ketika itu, berasal dari Sumatera dan Jawa. Kekayaan mereka di Indonesia juga terlihat dari data statistik pembayaran pajak. Pada tahun 1936, dari 3.000 jiwa kelompok “Other Foreign Oriental” yang hampir keseluruhannya adalah kaum Arab-Hadhrami, terkumpul pajak sebesar 9 juta gulden. Artinya, rata-rata orang Arab membayar pajak sebesar 3.000 gulden/kapita. Angka ini lebih rendah dari golongan Eropa yang berada di level elit (4.092 gulden/kapita), namun di atas kelompok Tionghoa (2.216 gulden/kapita) dan “pribumi” (1.852 gulden/kapita).

Dari catatan Regeringsalmanak kita juga bisa menengok bahwa di tahun 1850 kaum Arab-Hadhrami telah mengendalikan lebih dari separuh bisnis perkapalan di Indonesia. Mereka juga memainkan peranan cukup besar dalam bidang pengangkutan komoditi antar kota-antar pulau. Dari Gresik, kemudian Surabaya, mereka mengendalikan aneka komoditi yang laku di pasaran dalam negeri maupun mancanegara. Itulah mengapa di abad ke-19 kedudukan Surabaya sebagai kota bisnis lebih penting daripada Batavia (sekarang Jakarta). Beberapa pengusaha Hadhrami yang menguasai bisnis galangan kapal di Surabaya antara lain Sayid Hasan Alhabsyi dan Sayid Alwi Alhabsyi. Menurut Dennys Lombard dalam bukunya “Le Carrefour Javanais”, mereka memulai bisnis sekitar tahun 1820 dengan bermodalkan hanya satu buah kapal. Namun setelah 30 tahun, bisnis keduanya meroket tajam. Mereka menguasai lebih dari separuh tonase perkapalan di Surabaya.

Disamping Surabaya, bisnis perkapalan orang-orang Hadhrami juga banyak digerakkan dari Palembang dan Pontianak. Bahkan di kedua kota itu, bisnis perkapalan menjadi tulang punggung pendapatan mereka. Sayangnya kejayaan bisnis perkapalan orang-orang Arab tak berlangsung lama. Di penghujung abad ke-19, para pengusaha Eropa yang telah menggunakan teknologi kapal uap, mengambilalih penguasaan mereka. Sejak saat itu bisnis perkapalan kaum Arab-Hadhrami mulai menurun. Mereka yang sebelumnya menguasai pangsa pasar jemaah haji dan pelayaran internasional, kemudian harus puas hanya melayani rute-rute pendek antar pulau.

Selain bergelut di bisnis transportasi dan galangan kapal, komunitas Arab-Hadhrami juga ramai yang menekuni usaha properti. Di beberapa kota besar seperti Batavia dan Surabaya, mereka dikenal sebagai tuan tanah yang menguasai lahan-lahan strategis. Di Batavia pada tahun 1885, nilai real estat milik orang-orang Arab telah mencapai 2,5 juta gulden. Mereka menguasai ratusan hektar tanah di kawasan Menteng, Kwitang, Tanah Abang, Krukut, dan Jatinegara, yang memiliki nilai jual cukup tinggi. Pada tahun 1904 di pinggiran Batavia, terdapat 22 padang pertanian dengan luas total sekitar 50 km2 yang hanya dimiliki oleh sepuluh orang Arab.

Rumah peristirahatan Said Abdullah bin Alwi Alatas yang kini menjadi Museum Tekstil

Rumah peristirahatan Said Abdullah bin Alwi Alatas yang kini menjadi Museum Tekstil

Salah seorang saudagar properti yang cukup terkenal ialah Said Naum. Pada mulanya Naum merupakan pengusaha galangan kapal di Palembang. Namun karena usahanya mulai menurun, ia pindah ke Batavia dan menetap di kawasan Pekojan. Di kota ini ia banyak membeli lahan-lahan kosong yang kemudian dikembangkan menjadi properti-properti berharga. Di Pekojan, Naum mendirikan sebuah mesjid yang dikenal dengan nama Mesjid Langgar Tinggi. Di Tanah Abang ia memborong sebagian besar lahan di sekitaran pasar, yang separuhnya kemudian ia wakafkan untuk pemakaman umum. Setelah kondisi fisiknya mulai menurun, Naum menyerahkan seluruh bisnisnya kepada sang menantu : Abdullah bin Said Basalamah. Pada tahun 1970, gubernur Jakarta Ali Sadikin memindahkan pemakaman wakaf Said Naum ke Karet Bivak. Lahan itu kemudian dimanfaatkan pemerintah DKI untuk pembangunan rumah susun Tanah Abang.

Di pertengahan abad ke-18, Assan Nina Daut merupakan salah seorang pengusaha Arab yang cukup menonjol. Dia merupakan penguasa lahan di kawasan Menteng sebelum berpindah tangan kepada J. du Chene de Vienne dan akhirnya ke keluarga Shahab. Said Abdullah bin Alwi Alatas juga merupakan pengusaha Arab di Batavia yang tergolong sukses. Selain memiliki tanah yang sangat luas, ia juga memiliki pengecoran logam dan pabrik mesin. Pada tahun 1890-an ia membeli rumah peristirahatan di kawasan Petamburan, Tanah Abang. Rumah bergaya neo-klasik tersebut kini telah berubah fungsi menjadi Museum Tekstil Indonesia. Saudagar kaya lainnya ialah Syeikh Umar bin Yusuf Mangus. Ia juga seorang pengusaha real estat sekaligus eksportir gula. Pada tahun 1902-1931, ia menjabat sebagai Kapiten Arab di Batavia.

Di Surabaya, keluarga Baswedan dan Baagil merupakan pengusaha properti yang ternama. Pada tahun 1930-an banyak properti di jalan-jalan protokol kota Surabaya dimiliki oleh para pengusaha Arab. Di awal abad ke-20, Ibrahim Baswedan merupakan salah seorang pengusaha Hadhrami yang memiliki tanah cukup luas. Ia menguasai lahan di kawasan Bagong, Gubeng, serta antara Kertajaya dan Karangmenjangan. Di sekitar kawasan Gubeng, ia mengembangkan proyek real estat bersaing dengan para pengusaha Eropa. Pada tahun 1940, Ibrahim Baswedan wafat dengan meninggalkan puluhan hektar tanah. Karena tak ada ahli waris yang mengurusinya, beberapa hektar tanah di kawasan Gubeng Terowongan hingga Gubeng Klingsingan diduduki oleh para pemukim liar. Mereka merupakan simpatisan komunis yang mendapat sokongan dari Partai Komunis Indonesia. Sedangkan sebagian tanahnya di Karangmenjangan diambil alih oleh pemerintah Surabaya untuk pendirian Universitas Airlangga.

 

Para Ulama dan Stereotip Orang Arab

Sejak kedatangan mereka di abad ke-13, orang-orang Arab telah banyak berkontribusi terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Sebagian besar dari anggota Wali Songo, disebut-sebut memiliki asal usul dari jazirah Arab. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, merupakan ulama-ulama keturunan Arab yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Meski banyak diantara penyebar Islam yang berdarah Arab, namun stereotip mereka sebagai rentenir dan kapitalis tetap melekat dibenak masyarakat Indonesia. Setidaknya hal itu berlangsung hingga abad ke-19, ketika orang-orang Arab berhenti menjalani profesi sebagai peminjam uang.

Habib Ali Kwitang (kiri)

Habib Ali Kwitang (kiri)

Setelah masyarakat Arab “meninggalkan” dunia bisnis dan terjun sebagai profesional/akademisi, stereotip itu perlahan-lahan mulai terkikis. Namun — disamping kedua profesi itu, yang mengangkat derajat komunitas Arab ke permukaan adalah kembalinya mereka ke jalur dakwah. Tak sedikit diantara mereka yang kemudian menjadi panutan masyarakat luas. Di Jakarta, salah satu ulama yang cukup dihormati ialah Ali bin Abdurrahman Alhabshi atau yang lebih dikenal dengan Habib Ali Kwitang. Habib Ali lahir di Kwitang pada tahun 1870 dari pasangan Abdurrahman Alhabshi dan Salmah. Ayahnya termasuk golongan sayid dan merupakan blasteran Arab-Jawa. Sedangkan ibunya adalah wanita Betawi asal Kampung Melayu, Jatinegara. Dari asal usulnya itulah, maka di kalangan masyarakat Betawi, Habib Ali merupakan tempat orang bertanya dan mengadu. Beberapa pemuka Betawi seperti Thahir Rohili (pendiri Attahiriyah) dan Abdullah Syafi’i (pendiri Assyafiiyah), pernah belajar di Kwitang dan menjadi murid beliau. Pada tahun 1911, Habib Ali mendirikan Majelis Taklim Kwitang. Majelis itu hingga kini masih ramai dikunjungi masyarakat Jakarta, terutama pada hari minggu. Karena kealiman serta pengaruhnya yang cukup luas, banyak tokoh-tokoh politik yang menyambangi kediaman beliau. Pada masa Orde Lama, beberapa tokoh politik seperti Soekarno dan Abdul Haris Nasution, dikenal cukup dekat dengannya.

Sejak paruh kedua abad ke-20, peran ulama-ulama Arab nampaknya mulai memudar. Organisasi massa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang pengurusnya sebagian besar diisi oleh ulama “pribumi” konservatif, agaknya lebih mendapat tempat di hati umat muslim. Sekolah Islam modern yang didirikan oleh para sarjana “pribumi”-pun, juga secara meyakinkan menggeser pondok pesantren asuhan ulama-ulama Arab. Al Azhar, Muhammadiyah, Pondok Gontor, serta Diniyah School, adalah beberapa contoh sekolah Islam yang menjadi orientasi masyarakat dalam 50 tahun terakhir. Setelah era Reformasi, citra kelompok masyarakat Hadhrami-pun tak lebih baik – kalau tak bisa dikatakan semakin memburuk, dibandingkan masa sebelumnya. Banyaknya tuduhan terhadap mereka yang menggerakkan organisasi radikal, merupakan salah satu faktor menurunnya simpati masyarakat.

Salah satu tokoh keturunan Hadhrami yang dianggap berpandangan radikal adalah Abu Bakar Bashir. Ia disebut-sebut menjadi penasehat spiritual Jemaah Islamiyah yang terafiliasi dengan jaringan Al Qaidah. Pada tahun 1972 bersama Abdullah Sungkar, ia mendirikan Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Surakarta. Pada saat terjadi kasus pemboman di awal milenium ini, pesantrennya dituduh sebagai tempat penghasil ajaran terorisme. Di masa Orde Baru, Bashir pernah ditahan karena menentang ideologi Pancasila dan menuntut ditegakkannya syariat Islam. Ia kembali masuk penjara di tahun 2004 atas tuduhan pemboman Hotel Marriot di Kuningan, Jakarta. Setelah bebas di tahun 2006, empat tahun kemudian ia kembali ditahan atas dakwaan terlibat dalam pelatihan teror di Aceh. Ketika ISIS muncul pada tahun 2014 lalu, Bashir berbaiat kepada Abu Bakar Albaghdadi sebagai khalifah umat muslim.

Tokoh lainnya yang juga tergolong keras adalah Habib Rizieq Shihab. Beliau lahir di Petamburan, Jakarta Pusat pada tahun 1965. Setelah menamatkan pendidikannya di LIPIA Jakarta, pada tahun 1990 ia melanjutkan studinya ke Universitas King Saud dengan mengambil jurusan Usul Fiqh. Ia kemudian meraih gelar pasca-sarjana di International Islamic University Malaysia (master) dan Universiti Sains Islam Malaysia (doktor). Setelah Reformasi, tepatnya tanggal 17 Agustus 1998, Rizieq mendirikan Front Pembela Islam (FPI). Organisasi ini bertujuan untuk menegakkan syariat Islam, meskipun dalam pelaksanaannya sering keluar dari prosedural hukum yang berlaku. Karena tindakannya yang cenderung anarkis, kehadiran organisasi ini mengundang pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Walau banyak pihak yang menentang aktivitasnya, namun banyak pula anak-anak muda yang menikmati kegiatan tersebut. Meskipun berlabel pembela Islam, namun sesungguhnya aksi-aksi yang dilakukan oleh FPI malah merugikan umat Islam dan masyarakat Arab. Pernyataan itu pernah disampaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, ketika menanggapi insiden Kendal 2013 yang melibatkan FPI dengan warga setempat.

 

Relasi Sosial : Pertentangan Sayid vs Non-Sayid

Di negara asal mereka Yaman, masyarakat Hadhrami terbagi ke dalam beberapa strata sosial yang kaku. Ada golongan sayid, syeikh, gabili, dan masakin. Dahulu bahkan hingga sekarang, sayid adalah golongan tertinggi diantara mereka. Sebab mereka mengklaim merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dari cucunya Husein. Mereka juga kerap disebut Ba’alawi, merujuk kepada Alawi, seorang cucu dari leluhur mereka : Ahmad bin Isa, yang lebih dari seribu tahun lalu bermigrasi dari Irak ke Hadhramaut. Di Hadhramaut, golongan sayid menduduki posisi istimewa. Mereka tak diwajibkan untuk menyandang senjata, berdakwah, atau menunaikan tugas-tugas politik. Golongan syeikh dan gabili merupakan lapisan menengah masyarakat Hadhrami. Syeikh sesungguhnya adalah kaum elit agama yang orisinal. Namun kedudukan mereka kerap terkebiri oleh golongan sayid yang mengaku keturunan Nabi. Di strata paling bawah terdapat golongan masakin, yang secara harfiah berarti miskin. Di Hadhramaut golongan ini terdiri dari para pedagang, nelayan, dan budak. Dalam relasi sosial, ada tata cara berhubungan diantara kasta-kasta tersebut. Ketika bertemu dengan golongan sayid misalnya, kalangan lainnya diharuskan untuk mencium tangan mereka. Begitu juga dalam hal perkawinan. Anak perempuan dari golongan sayid dilarang untuk menikah diluar kalangan mereka, meskipun pria tersebut cukuplah terpandang. Namun sebaliknya, laki-laki sayid boleh menikahi perempuan dari golongan manapun.

Sekolah Jamiat Kheir di Tanah Abang, Jakarta

Sekolah Jamiat Kheir di Tanah Abang, Jakarta

Di Indonesia, relasi sosial semacam ini terus dibina bahkan hingga sekarang. Pada masa kolonial banyak dari golongan non-sayid yang sudah menjadi pengusaha kaya raya, enggan menganggap kedudukan para sayid. Bahkan diantara mereka, seperti Syeikh Umar bin Yusuf Mangus, menolak untuk mencium tangan para sayid ketika bertemu. Akibatnya oleh kalangan sayid mereka dicap sebagai perusak tatanan moral komunitas. Perpecahan semakin menjadi-jadi ketika Ahmad Surkati, seorang ulama berpengaruh asal Sudan, menyerukan kesetaraan bagi seluruh umat muslim. Dalam dakwahnya ia kerap menentang kebiasaan mencium tangan (taqbil), adanya perantaraan (tawassul), serta penggunaan gelar sayid. Ia juga mendorong agar terjadinya kesetaraan dalam pernikahan (kafa’ah) antara golongan sayid dan non-sayid. Sontak ide Surkati tersebut mendapat penentangan dari para sayid yang tergabung dalam Jamiat Kheir.

Di tahun 1914, sebagai “tandingan” Jamiat Kheir, ia mendirikan Jamiat al-Ishlah wal-Irsyad, atau yang lebih dikenal dengan Al-Irsyad. Salah seorang dari pendonor organisasi tersebut adalah Syeikh Umar bin Yusuf Mangus. Seperti Jamiat Kheir, Al-Irsyad juga bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan. Namun karena filosofi dasarnya yang berbeda, Al-Irsyad berkembang menjadi gerakan pembaharuan sejati. Organisasi itu seperti halnya Jamiat Kheir, juga mempunyai cabang-cabang di komunitas Arab seluruh negeri. Al-Irsyad kemudian terlembaga sebagai kelompok anti-sayid atau yang sering disebut sebagai “kubu syeikh”.

Hingga tahun 1930-an, kedua belah kubu yang saling berseberangan itu kerap kali bertikai di media massa. Kadang banyak pula diantara mereka yang menyindir ketika sedang berpidato, bahkan sampai ada yang adu jotos. Pada tahun 1928, karena tak puas dengan pengakuan atas status mereka, golongan sayid mendirikan organisasi Rabithah Al-Alawiyah. Tak mau ketinggalan, golongan qabili yang sepakat dengan kaum masakin kemudian juga membentuk organisasi Al-Jamiah Al-Katsiriyah Al-Islahiyah. Untuk memperkokoh posisi mereka, kedua kubu sama-sama mencari dukungan dari ulama Timur Tengah serta media massa Arab. Meski konflik internal itu berlangsung cukup lama, namun munculnya permasalahan lain yang lebih krusial, memberikan penyadaran bagi kedua belah pihak. Pada tahun 1934, Abdurrahman Baswedan dan Abdullah Alatas mendirikan Partai Arab Indonesia. Partai itu kemudian secara perlahan mendorong integrasi antar golongan di dalam komunitas Arab-Hadhrami.

Komentar
  1. Kuncimas berkata:

    Menarik artikel2nya, boleh tahu rujukan2nya darimana?

    Suka

  2. Anak kemarin sore berkata:

    Bagus Mas, menambah ilmu saya

    Suka

Tinggalkan komentar