Kalau Amerika punya Jack Welch atau Thomas W. Horton yang berhasil membalikkan kondisi perusahaan dari yang hampir bangkrut jadi menguntungkan, maka Indonesia juga memiliki Chief Executife Officer (CEO) terbaik yang sukses melakukan turn around perusahaan-perusahaan sekarat menjadi perusahaan hebat. Nah, dalam artikel kali ini, kita akan mengulik siapa-siapa saja diantara mereka yang layak disebut sebagai CEO terbaik, yang berhasil membalikkan keadaan perusahaan dari kondisi merugi jadi menguntungkan. Selain itu, kami juga mencatat ada beberapa eksekutif yang berhasil mengubah lanskap bisnis dengan memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat luas.
Memang gampang-gampang susah mencari the best CEO dari sekian ribu pemimpin perusahaan di Indonesia. Oleh karenanya kami hanya memfokuskan diri pada perusahaan besar yang memiliki pengaruh terhadap perekonomian nasional. Mungkin artikel ini terlalu singkat untuk menggambarkan seberapa besar keberhasilan mereka. Namun setidaknya, deskripsi ini akan memperlihatkan kepada kita bahwa jika perusahaan-perusahaan besar dipimpin oleh orang yang tepat, akan memberikan dampak positif bagi masyarakat luas. Siapa saja mereka? Berikut ulasannya.
1. Robby Djohan
Bagi Anda yang mengikuti perkembangan bisnis tanah air dari zaman Orde Baru hingga masa setelah krisis, mungkin nama Robby Djohan tak asing lagi ditelinga Anda. Namanya mulai bersinar ketika sukses membawa Bank Niaga menjadi salah satu bank papan atas tanah air. Sebelum krisis, bank yang didirikan oleh Julius Tahija dan Soedarpo Sastrosatomo itu berhasil masuk ke dalam peringkat 10 besar bank nasional. Setelah sukses mengangkat bank tersebut, dia ditunjuk pemerintah menangani Garuda Indonesia. Robby diserahkan tongkat estafet kepemimpinan maskapai pelat merah itu pada bulan Juni 1998, di saat kondisi perusahaan sedang sempoyongan. Pada saat itu, Garuda dililit hutang sebesar USD 1,2 miliar dengan total aset yang jauh lebih kecil. Disamping itu, jumlah karyawannya yang mencapai 13.000 orang — idealnya cuma separuhnya, juga membebani keuangan perusahaan. Banyak rute-rute yang tak produktif, yang sepi penumpang, namun dibiarkan bertahun-tahun. Lebih parahnya lagi, banyak diantara pegawai Garuda yang sulit untuk diajak berubah.
Dalam kondisi seperti ini, langkah pertama yang diayunkan Robby adalah membenahi organisasi. Ia mengangkat direksi baru serta menolak keterlibatan serikat pekerja yang sok berkuasa. Tak lama setelah itu, semua karyawan vokal yang sebelumnya tergabung dalam tim reformasi, tunduk di bawah kepemimpinannya. Yang cukup menarik ialah ketika penulis buku “The Art of Turn Around” itu merestrukturisasi hutang Garuda yang terlanjur besar. Ia bersama Emirsyah Satar – kelak menjadi CEO Garuda Indonesia – berangkat ke Eropa untuk meminta bank-bank di benua biru mau menerima syarat pelunasan hutang yang diajukan. Syaratnya, ia akan melunasi hutang-hutang tersebut dalam jangka waktu 16 tahun dengan bunga 1% di atas SIBOR. Persyaratan ini awalnya ditolak para bankir Eropa. Namun karena mereka tak punya pilihan, akhirnya para bankir tersebut mau mengalah.
Setelah berhasil membenahi hutang Garuda, Robby ditarik pemerintah untuk menangani merger empat bank BUMN. Dimana Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) disatukan menjadi entitas tunggal yang dinamai Bank Mandiri. Tak cuma menjadi komandan proses penggabungan, Robby juga diwarisi dengan seabrek masalah. Salah satunya adalah rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) keempat bank tersebut yang sudah negatif. Ketika itu CAR Bank Exim anjlok sebesar -144,91%, BDN -79,3%, BBD -39,57%, dan Bapindo -30,44%. Kemampuan keempat bank tersebut mencetak keuntungan juga tergolong buruk. Hal ini nampak dari rasio return on assets/ROA yang seluruhnya negatif. Sementara rasio likuiditas (loan to deposit ratio/LDR) keempat bank itupun berada di atas 110%. Menghadapi situasi tersebut, lagi-lagi step pertama yang ia lakukan adalah memberesi organisasi. Ia menempatkan orang-orang kompeten, seperti Agus Martowardojo dan Edwin Gerungan dalam manajemen Bank Mandiri. Setelah organisasi diisi orang-orang profesional, baru pemerintah mau mengucurkan obligasi rekapitulisasi sebesar Rp 103 triliun. Setelah itu pada 28 Desember 1999, Mandiri kembali mendapatkan kucuran senilai Rp 75 triliun. Dengan begitu, maka nilai obligasi rekap yang disuntikkan pemerintah mencapai Rp 178 triliun. Dari uang itulah kemudian Mandiri mencetak keuntungan dan menjadi bank terbesar di Indonesia.
2. Ignasius Jonan
Kalau Anda pengguna jasa kereta api sejak zaman baheula, mungkin Anda merasakan adanya perubahan pada moda transportasi tersebut. Dulu mungkin tak pernah terbayangkan, bagaimana enaknya naik kereta ekonomi yang tak berdesak-desakkan, tak kepanasan, atau tak perlu ngantri ketika membeli tiket. Bagi Anda pengguna komuter Jabodetabek, mungkin tak pernah menyangka kalau transportasi publik yang satu ini bisa dilayani dengan kereta berpendingin ruangan, rute yang multi trip, serta uang elektronik sebagai alat pembayar. Namun sejak Ignasius Jonan melakukan pembenahan, semua itu bisa menjadi kenyataan.
Jonan memang sudah lama berkecimpung di dunia pelayanan. Sebelum menjadi Direktur Utama (Dirut) PT Kereta Api Indonesia, ia menjabat sebagai Managing Direktur Citibank. Selain itu ia juga pernah duduk sebagai Direktur Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. Karena pengalamannya, dia lalu menjadikan kereta api sebagai perusahaan berorientasi servis. Dia membenahi seluruh stasiun yang ada, menambah panjang peron, memperbarui sinyal, serta memperbaiki toilet-toilet yang busuk. Tak cukup sampai disitu, pria lulusan Universitas Airlangga itu juga melakukan peremajaan kabin-kabin tua. Kereta ekonomi yang sebelumnya sumpek dan pengap, dibuatnya lapang serta berpendingin ruangan. Para penumpang yang biasanya duduk berjejal di lorong-lorong kereta, kini tak diperkenankan lagi. Begitu pula dengan penumpang yang tidur di kolong jok tempat duduk, agaknya sudah jarang dijumpai.
Dulu sebelum Jonan menjabat, jumlah gerbong dalam satu rangkaian komuter hanya delapan kereta. Kini setelah melakukan penambahan armada, jumlah tersebut bisa mencapai 12 gerbong. Rutenya-pun dibuat lebih variatif, yang memungkinkan penumpang bisa menjelajahi semua tujuan. Dari Bogor/Depok menuju Bekasi misalnya, kini cukup transit di Manggarai. Tak perlu lagi ke Stasiun Jakarta Kota yang memakan waktu dua kali lebih lama. Dan yang cukup mengesankan adalah digunakannya tiket multi trip yang bisa dipakai ke seluruh tujuan. Sehingga penumpang tak harus lagi membeli tiket sobekan jika berpindah-pindah rute tujuan. Berkat prestasinya itu, pada waktu pembentukan Kabinet Kerja, Presiden Joko Widodo menunjuknya sebagai Menteri Perhubungan. Meski sempat di-reshuffle, namun tiga bulan kemudian ia kembali masuk ke dalam kabinet. Kali ini ia menempati pos Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bersama Archandra Tahar, ia ditugasi untuk membenahi pengelolaan pertambangan yang selama ini selalu menjadi bancakan para politisi.
3. Dahlan Iskan
Tokoh yang satu ini, mungkin tak perlu lagi diragukan kredibilitasnya. Hingga kini ia masih dikenang sebagai Dirut Perusahaan Listrik Negara (PLN) terbaik sepanjang masa. Pernyataan itu agaknya tak berlebihan, jika kita menengok pencapaian beliau selama dua tahun menjabat. Dahlan mulai duduk sebagai Dirut PLN pada bulan Desember 2009. Pada masa itu, kondisi perusahaan kedua terbesar di Indonesia itu boleh dibilang centang perenang. Seringnya pemadaman listrik, hingga kasus korupsi di semua lapisan, menjadi perhatian sebagian besar publik. Dulu sebelum Dahlan menjadi orang nomor satu, pelanggan seringkali diakali, disusahi, bahkan dimintai uang ketika pemasangan atau memperbaiki sambungan. Kini semuanya tak lagi terjadi. PLN sekarang bisa dibilang cukup responsif. Para petugas di lapangan menolak untuk diberi bayaran, bahkan sekedar menerima makanan ringan.
Sama seperti CEO hebat lainnya, keberhasilan Dahlan meningkatkan pelayanan dimulai dari perhatiannya terhadap para karyawan. Pertama kali masuk PLN, ia menulis harapan serta cita-citanya yang dapat dibaca oleh semua lapisan pegawai melalui situs pln.co.id. Ia juga merangkul serikat pekerja dan mengajak mereka untuk berdialog. Dalam urusan keuangan, ia melakukan efisiensi besar-besaran dengan menghapus biaya perjalanan dinas. Untuk mengejar pendapatan perusahaan, Dahlan menargetkan satu juta sambungan setiap hari. Selain itu, program ini juga bertujuan untuk meningkatkan coverage listrik nasional yang masih tergolong rendah. Salah satu terobosan Dahlan yang banyak membantu masyarakat kecil ialah penggunaan listrik pra-bayar. Dengan menggunakan token, masyarakat bisa mengontrol besaran penggunaannya. Untuk memudahkan pelanggan melakukan pembayaran, ia juga merangkul bank-bank besar serta jaringan minimarket di seluruh Indonesia. Belakangan strategi ini juga ditiru oleh Perusahaan Air Minum (PAM) yang dikenal lamban dalam merespons kebutuhan masyarakat.
4. Mochtar Riady
Mungkin selama ini, Anda hanya mengenal sosok Mochtar Riady sebagai pengusaha terkemuka. Namun tahukah Anda, sebelum ia membangun bisnisnya sendiri, Mochtar adalah karyawan Bank Central Asia (BCA). Ya, dia pernah menjabat sebagai direktur utama di bank milik keluarga Salim tersebut selama lebih dari satu dasawarsa. Berkat tangan dinginnya, BCA yang pada dekade 1970-an cuma sayup-sayup terdengar, tumbuh menjadi bank yang kita kenal seperti sekarang ini. Mochtar bergabung dengan BCA pada tahun 1975, setelah sebelumnya menjabat CEO Bank Panin serta Bank Buana. Saat masuk BCA, aset bank tersebut hanya sekitar Rp 12,8 miliar. Namun di awal 1990-an — ketika ia resign — asetnya melompat menjadi Rp 5 triliun. Langkah pertama yang ia lakukan ketika bergabung dengan bank ini ialah mengajak para kolega sang pemilik, Sudono Salim, untuk mendepositokan uangnya disini. Pada saat itu, Salim adalah pemasok untuk beberapa pabrik rokok dan tepung terigu. Sehingga tak sulit baginya mengajak klien kakap mendepositokan uangnya disini.
Step selanjutnya, ia membenahi prosedur standar operasional (SOP) BCA menjadi lebih simpel. Dia lalu memperbaiki sistem pengarsipan, akunting, serta sumber daya manusia. Agar transfer antar bank tak memakan waktu berhari-hari, ia memakai jasa kurir yang cuma butuh waktu sehari. Kelebihan ini membuatnya jadi kebanjiran nasabah. Setelah melakukan pembenahan internal, ia memperluas jaringan dengan membuka cabang di kota-kota besar seluruh Indonesia. Untuk mengumpulkan dana masyarakat, pria kelahiran Malang 88 tahun lalu itu membuat program Tahapan (Tabungan Hari Depan) BCA. Produk ini masih menjadi handalan BCA hingga hari ini. Setelah dana terkumpul, ia kemudian menyediakan fasilitas kredit murah. Lagi-lagi produk ini diminati oleh banyak nasabah. Tak salah jika dalam beberapa tahun, kantor-kantor BCA sudah dijubeli oleh antrian nasabah. Sehingga banyak orang yang memplesetkannya menjadi “Bank Capek Antri”. Pada dasawarsa 1990-an, BCA sudah menjadi bank papan atas tanah air. Mereka telah memiliki cabang dimana-mana serta menguasai segmen kaum urban. Karena kesuksesannya itu, oleh para ekonom Mochtar dijuluki sebagai The Magic Man of Bank Marketing. Keberhasilannya terus berlanjut ketika ia mengembangkan bank miliknya sendiri : Lippo Bank.
Pada tahun 1999, untuk melunasi hutangnya ke pemerintah, Mochtar harus melego bank tersebut ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bank ini lalu diakuisisi oleh perusahaan Malaysia : Khazanah Bhd. Namun karena kebijakan kepemilikan tunggal, dimana sebelumnya Khazanah telah mengakuisisi Bank Niaga, maka bank ini kemudian dilebur menjadi Bank CIMB Niaga. Pada tahun 2010, Mochtar kembali berhasrat untuk memiliki jaringan perbankan sendiri. Padahal sebelumnya dalam acara Investor Summit 2008, saya mendengar kalau Mochtar sudah kapok berbisnis perbankan. Akhirnya karena semangatnya itu, ia mengakuisisi bank yang sudah mati suri : National Nobu. Menurut data Bank Indonesia, pada saat diakuisisi aset bank tersebut hanya berjumlah Rp 111,557 miliar. Karena ia memang ahli dalam pengembangan bank, dalam enam tahun beroperasi aset bank tersebut sudah naik 85 kali lipat menjadi hampir Rp 9 triliun. Kini cabang Bank Nobu sudah terlihat dimana-mana, dan nampaknya ia akan segera mengikuti jejak pendahulunya.
5. Rini Soemarno
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada tanggal 8 Februari 1998, Astra International sedang dalam kondisi kritis. Sahamnya di Bursa Efek Jakarta, hanya bernilai Rp 128 per lembar. Padahal pada saat go public tahun 1990, saham perusahaan berkode ASII itu dijual diharga Rp 14.850. Dalam kondisi Perusahaan yang semaput, Rini didaulat menjadi Presiden Direktur. Pengalamannya tujuh tahun di Citibank serta delapan tahun sebagai Direktur Keuangan Astra, membantunya dalam melakukan pengelolaan hutang serta SDM. Untuk menghentikan pendarahan yang terjadi, ia melakukan pemotongan gaji jajaran eksekutif dan beberapa karyawan puncak. Ia juga menutup jaringan distribusi yang merugi, serta mem-PHK seperlima dari 100 ribu karyawan yang ada. Meski melakukan pemangkasan gaji, Rini juga mengajak mereka untuk menjadi pemegang saham Astra. Ini bertujuan untuk menyelaraskan kepentingan perusahaan, para karyawan, serta stakeholders lainnya. Tak hanya itu, ia juga melakukan restrukturisasi hutang yang mencapai Rp 1 trilliun dan USD 1 milliar. Hasilnya, pada tahun 1999 Astra beroleh untung sekitar Rp 800 milliar, dari sebelumnya yang mengalami kerugian sebesar Rp 1,976 trilliun.
Meski berhasil melakukan turn around, namun oleh kepala BPPN Cacuk Sudaryanto, ia dianggap tak kooperatif. Hal ini terkait rencana BPPN yang hendak melepas saham milik pemerintah kepada Jardine Cycle & Carriage Ltd. Rini dianggap telah menghambat proses divestasi, karena tak suka pada investor asal Inggris tersebut. Akibatnya dalam RUPSLB 8 Februari 2000, Rini harus melepas kursi Presiden Direktur kepada Theodore Permadi Rachmat, mantan atasan sekaligus CEO Astra sebelumnya. Sebagai catatan, pada tahun 1998 Astra menjadi pasien BPPN, setelah pemiliknya William Soerjadjaya menjaminkan perusahaan tersebut untuk melunasi kewajiban Bank Summa. Bank itu adalah kepunyaan putra sulungnya Edwin Soerjadjaya, yang terlilit hutang sekitar Rp 3,1 triliun. Akibatnya, William harus melepas kepemilikan di perusahaan yang telah ia dirikan sejak tahun 1957 itu kepada pemerintah.
6. Emirsyah Satar
Tokoh yang satu ini mungkin cukup familiar di telinga Anda. Namanya beberapa kali disebut-sebut oleh lembaga internasional sebagai salah seorang CEO terbaik dunia. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pada akhir dasawarsa 1990-an Emir pernah menjabat sebagai Direktur Keuangan Garuda Indonesia. Ketika itu ia berhasil melakukan restrukturisasi hutang maskapai flag carrier tersebut. Setelah sukses menjabat CFO, pada tahun 2005 ia ditunjuk pemerintah untuk menakhodai perusahaan. Selama sembilan tahun memimpin, banyak prestasi gemilang yang telah ia torehkan. Emir tak hanya menambal keuangan perusahaan yang berdarah-darah, ia juga memperbaiki pelayanan Garuda yang sering mendapat komplain dari pelanggan. Ada beberapa cara yang ia tempuh untuk membenahi pelayanan Garuda Indonesia. Yang pertama, ia mengubah imej buruk Garuda dengan melakukan rebranding. Tahun 2010, Emir memesan beberapa pesawat baru dalam perhelatan Farnborough International Airshow di Inggris. Ia membeli enam pesawat A330-200 sebagai bagian dari proyek peremajaan armada. Sebelumnya ia menerima empat pesawat dengan jenis yang sama, dengan metode leasing. Pesawat-pesawat ini melengkapi enam pesawat tipe A330-300 yang sudah beroperasi.
Langkah ketiga adalah melakukan penawaran saham Garuda kepada publik. Meski sempat heboh – karena tak seluruhnya terserap pasar – namun dari dana yang diperoleh mampu mengungkit kinerja Garuda. Setelah mantap secara finansial, misi Emir selanjutnya adalah mengembangkan pelayanan bintang lima. Ia mendefinisi ulang bisnis Garuda dari sekedar maskapai penerbangan menjadi sebuah pelayanan premium. Ia juga gencar melakukan promosi ke kalangan korporat, meyakinkan mereka kalau Garuda kini lebih baik. Tak puas dengan slogan “Kini Lebih Baik”, ia mendorong imej Garuda untuk memberikan pengalaman perjalanan. Misi inilah yang kemudian dinamakan dengan “Garuda Indonesia Experience”, yang iklannya kita dengar dimana-mana. Setelah mampu menghadirkan pelayanan kelas satu, pada pertengahan 2010 ia membawa Garuda bergabung dengan SkyTeam Alliance. Dengan menjadi anggota aliansi tersebut Garuda akan mendapatkan privelese di bandara-bandara yang menjadi anggota SkyTeam. Maskapai ini diterima sebagai anggota ke-20 setelah melalui review selama 40 bulan.
Berkat kerja kerasnya, pada tahun 2010 Garuda diganjar penghargaan sebagai “World’s Most Improved Airline” oleh Skytrax. Dalam daftar World Airlines versi Skytrax tahun 2011, peringkat Garuda berada di urutan ke-19. Tahun berikutnya, posisi tersebut melompat ke peringkat sebelas, dan berhasil masuk delapan besar pada tahun 2013. Pada tahun ini pula, Garuda memperoleh penghargaan “The World’s Best Economy Class”. Tak hanya sampai disitu, di tahun 2014 Garuda Indonesia berhasil memperbaiki posisinya ke peringkat tujuh. Dan lagi-lagi sukses meraih penghargaan internasional sebagai “The World’s Best Cabin Crew”. Yang paling fenomenal dari semua ini ialah ditempatkannya Garuda ke dalam maskapai bintang lima (5-Star Airlines), bersama Singapore Airlines, Cathay Pacific Airways, Qatar Airways, Asiana Airlines, All-Nippon Airways, serta Hainan Airlines. Ini merupakan pertama kalinya maskapai Indonesia masuk ke dalam tim elit penerbangan dunia. Setelah sebelumnya dikacangin, bahkan sempat dilarang terbang ke Eropa.