Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 telah berjalan lancar dan aman. Sejumlah lembaga survei telah merilis hasil hitung cepat (quick count) versi mereka. Meski sebagian pihak masih ada yang belum menerima, namun dari hasil itu kita bisa mengetahui bahwa Joko Widodo (Jokowi) kembali terpilih sebagai presiden Republik Indonesia. Menurut perkiraan, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin memperoleh suara sekitar 55%. Angka ini sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2014 lalu, dimana kala itu Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla cuma meraih 53,15%. Kalau kita menilik hasil perhitungan — baik secara quick count maupun real count, maka terlihat kalau politik identitas sedang mengalami penguatan di tengah masyarakat kita. Politik identitas yang dimaksud adalah pilihan-pilihan politik seseorang terhadap calon pemimpin yang semata-mata hanya karena kedekatan emosional. Kedekatan emosional disini bisa dikarenakan persamaan ideologi, latar belakang agama dan etnis, atau kesamaan profesi.
Nah dalam Pilpres kali ini, karena dari awal kontestannya hanya dua pasang, jadi cukup menarik untuk melihat kaitan antara politik identitas dan peta para pemilih. Dari peta tersebut diharapkan kita bisa mengetahui preferensi politik masyarakat Indonesia yang bisa digunakan untuk pemilihan umum selanjutnya. Untuk menyederhanakan kajian, penulis akan membagi tulisan ini menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan membahas mengenai politik identitas yang dilihat dari pandangan/ideologi masyarakat pemilih. Dan yang kedua, berdasarkan kelompok etnis dan agama. Agar pemetaan ini bisa dihandalkan, penulis akan mengambil perhitungan secara riil dari situs www.kawalpemilu.org serta hasil quick count dan exit poll dari lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Indikator Politik. Di bagian ketiga, penulis akan coba melakukan flash-back terkait menguatnya politik identitas akhir-akhir ini.
* * *
Kalau kita menengok hasil Pilpres 2019, maka akan terlihat gambaran yang hampir sama dengan Pemilu 1955. Dimana ketika itu terdapat pertarungan empat ideologi besar di republik ini : nasionalis, islamis modernis, islamis tradisional, dan komunis/sosialis. Jika dalam Pemilu 1955, pertarungan keempat ideologi itu direpresentasikan oleh PNI, Masyumi, NU, dan PKI, maka pada Pilpres 2019 ini pertarungan itu bisa dilihat antara Jokowi-Ma’ruf Amin (nasionalis dan islamis tradisional) melawan Prabowo-Sandiaga Uno (sosialis dan islamis modernis). Hal ini bisa dilihat dari partai pengusung masing-masing calon, dimana pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin didukung oleh dua partai nasionalis : PDIP dan NasDem serta partai berbasis islamis tradisional : PKB dan PPP. Jika keempat partai ini telah memiliki ideologi yang jelas, maka positioning Partai Golkar – pengusung utama lainnya — selalu abu-abu. Pada masa Orde Baru, partai ini diisi oleh orang-orang dengan spektrum ideologi beraneka ragam. Namun kini Golkar boleh dibilang sebagai partai “centrist” yang menganut ideologi nasionalis. Meski mengaku nasionalis, namun partai ini lebih diwarnai oleh kader-kader yang mengusung mazhab islamis modernis. Itulah mengapa pada Pilpres 2014 lalu, Golkar mendukung Prabowo sebelum akhirnya berpindah ke kubu Jokowi.
Untuk pasangan Prabowo-Sandiaga Uno, banyak pengamat yang mempersepsikannya sebagai capres-cawapres kaum islamis modernis. Padahal Prabowo sendiri merupakan pendiri Partai Gerindra yang menganut paham sosialis, mirip Partai Sosialis Indonesia (PSI)-nya Sutan Sjahrir. Sebagai catatan, pada tahun 1955 PSI tak termasuk ke dalam partai empat besar. Meski begitu pengaruhnya cukup terasa, karena banyak elit ketika itu yang menjadi kader serta simpatisan partai tersebut. Salah satunya Soemitro Djojohadikusumo, ayahnya Prabowo. Karena ideologi komunis telah dilarang sejak tahun 1966, maka satu-satunya ideologi sayap kiri (leftist) yang masih bertahan ialah sosialis. Kalau Gerindra berideologikan sosialis, lalu mengapa nuansa islamis modernis begitu kental pada kubu tersebut. Tentu ini dikarenakan besarnya dukungan kader-kader PKS dan PAN yang memang bercorakan islamis modernis. Meski berhaluan kiri, namun dalam sejarahnya orang-orang sosialis lebih dekat dengan kaum islamis modernis. Terlebih pada masa Demokrasi Liberal, Masyumi dan PSI sering berkoalisi dan menjadi oposannya PNI. Kedekatan orang-orang Masyumi dan PSI terus berlanjut setelah kedua partai ini dibubarkan Bung Karno pada tahun 1960.
Kemudian dimana posisi Demokrat yang juga menjadi pengusung pasangan ini. Sama seperti Golkar, Demokrat bisa dikatakan sebagai partai “centrist”. Ini terlihat dari pernyataan yang disampaikan oleh sang pendiri Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa partai ini menganut paham nasionalis-relijius. Apabila kita melihat komposisi kepengurusan Demokrat, maka warna “pertengahan” itu akan terlihat. Dimana selain kaum nasionalis, partai ini juga dimotori oleh kader-kader yang terafiliasi dengan kelompok islamis modernis. Lalu mengapa pula FPI dan HTI ikut barisan Prabowo. Bukankah dua organisasi massa itu banyak berseberangan dengan kaum islamis modernis. Dengan Muhammadiyah yang mengembangkan paham pembaharuan misalnya, mereka bagaikan minyak dan air. Menurut hemat saya, bergabungnya mereka ke dalam barisan ini hanyalah politik praktis belaka. Sebagaimana diketahui, rezim Jokowi telah membekukan kegiatan HTI dan mengganggu aktivitas FPI. Maka satu-satunya cara bagi mereka untuk memperpanjang asa adalah mendukung siapapun lawan petahana.
Jika kita mengamati peta persebaran pemilih Jokowi-Prabowo dan membandingkannya dengan hasil Pemilu 1955 lalu, maka terlihat kalau Masyumi yang menjadi partai kaum islamis modernis menang di daerah Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Secara bersamaan di tahun ini, daerah-daerah tersebut juga menjadi lumbung suara bagi pasangan Prabowo-Sandi. Berdasarkan hasil hitung cepat SMRC, Prabowo meraih suara sekitar 85,05% di Sumatera Barat; 83,88% di Aceh; 67,08% di Nusa Tenggara Barat; 62,03% di Banten; dan 60,03% di Jawa Barat. Sedangkan Tapanuli, Jawa Tengah, Bali, dan Minahasa yang menjadi basis PNI, serta Jawa Timur yang menjadi rumah kaum Nahdliyin, merupakan kantong suara Jokowi. Masih dari hasil quick count SMRC, Jokowi meraih suara sebanyak 92,53% di Bali; 81,75% di Nusa Tenggara Timur; 77,43% di Jawa Tengah; 76,14% di Sulawesi Utara; dan 66,14% di Jawa Timur. Lalu bagaimana dengan Tapanuli? Daerah ini boleh dibilang cukup unik karena masyarakatnya yang terbelah. Orang-orang Tapanuli Utara yang dulu menjadi pendukung PNI, kini juga menjadi pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Di daerah ini Jokowi menang telak dengan raihan suara rata-rata 95%. Sedangkan masyarakat Tapanuli Selatan yang dulu memilih Masyumi, kini menyalurkan suaranya buat Prabowo.
Yang menjadi anomali adalah Propinsi Kalimantan Selatan. Pada tahun 1955, propinsi ini merupakan salah satu basis suara kaum islamis tradisional, namun pada Pilpres kali ini justru sebagian besar warganya memilih pasangan Prabowo-Sandi. Meski banyak baliho di Banjarmasin yang menyerukan agar “Warga NU Pilih Kyai NU”, namun suara untuk Ma’ruf Amin di propinsi itu tak mencapai 40%. Suara NU lainnya yang lepas ke Prabowo-Sandi adalah Pulau Madura. Di pulau penghasil garam itu, pasangan ini diperkirakan meraih suara sekitar 75%. Padahal hampir seluruh masyarakat disini merupakan kaum sarungan. Migrasi suara juga terjadi di DKI Jakarta. Dimana koalisi Gerindra-PKS yang memenangkan Pemilihan Gubernur (Pilgub) dua tahun lalu, kini harus mengalami kekalahan. Suara Anies-Sandi yang ketika itu hampir 58%, kali ini banyak yang beralih ke Jokowi. Anomali ini sekaligus mematahkan pendapat yang berkembang selama ini, bahwa Anies menang karena demo 212. Ternyata meski Alumni 212 terus melakukan show of force di Monas dan berusaha mem-framing kekuatan kaum islamis, namun hal ini tak mempengaruhi pilihan mayoritas masyarakat disana. Jokowi-Ma’ruf Amin diperkirakan akan menang di Jakarta dengan gap suara yang tak terlampau jauh. Kalau kita menengok sejarah Pemilihan Legislatif di DKI Jakarta, maka kota ini pernah dikuasai oleh Masyumi-PNI (1955), PDIP-PAN (1999), PKS-Demokrat (2004), Demokrat-PKS (2009), PDIP-Gerindra (2014), dan PDIP-PKS (2019). Dari catatan ini kita bisa berkesimpulan bahwa Jakarta merupakan basis suara kaum nasionalis, sekaligus islamis modernis.
Apabila kita membedah pilihan masyarakat berdasarkan etnis dan agama, maka akan terlihat bahwa mayoritas etnis Jawa, Batak, Bali, Minahasa, Dayak, Papua, dan Tionghoa, mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Sedangkan orang Sunda, Minangkabau, Melayu, Madura, Banjar, Aceh, Betawi, Palembang, Bugis-Makassar, Banten, dan Sasak menjadi pendukung Prabowo-Sandi. Pemisahan etnis yang cukup tajam seperti ini, sebelumnya tak pernah terjadi pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu, hampir seluruh etnis di Indonesia mayoritas menjadi pemilih beliau. Hanya etnis Bali, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian kelompok Maluku yang tetap loyal kepada Megawati Soekarnoputri. Jika dilihat berdasarkan agama, maka dari hasil exit poll yang dirilis lembaga Indikator Politik, sekitar 51% pemilih muslim memilih pasangan Prabowo-Sandi. Sementara kubu Jokowi solid didukung oleh pemilih non-muslim dengan perolehan mencapai 97%. Lebih lanjut Indikator menjelaskan, dalam Pilpres kali ini warga yang terafiliasi dengan NU cenderung memilih pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Sedangkan simpatisan Muhammadiyah, Persis, dan Perti menyuarakan dukungannya kepada Prabowo-Sandi.
Jika sentimen etnis biasanya digunakan oleh para kontestan untuk mempengaruhi suara pemilih, maka dalam Pilpres kali ini nampaknya kurang berhasil. Prabowo yang berayahkan Jawa-Banyumas dan beribukan Minahasa, justru mengalami kekalahan di kedua propinsi yang menjadi rumah bagi kedua etnis tersebut. Begitupula dengan Ma’ruf Amin yang berasal dari Banten, tak berhasil menggaet mayoritas suara disana. Sedangkan Sandiaga Uno yang berasal dari Gorontalo (ayah) dan Indramayu (ibu), hanya meraih kemenangan di kampung halaman sang ayah. Di Indramayu, Sandiaga masih harus mengakui keperkasaan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Satu-satunya calon yang meraih kemenangan absolut di daerah asalnya adalah Joko Widodo. Bahkan di beberapa TPS di Boyolali, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin tak memberikan sebiji-pun suara untuk penantangnya.
* * *
Menguatnya politik identitas dan pertarungan ideologi, sebenarnya telah terjadi sejak Pilpres 2014 lalu. Ketika itu isu agama dan ideologi merupakan bagian dari perang urat saraf yang terus dihembuskan masing-masing pendukung. Jokowi merupakan calon yang paling banyak terkena tuduhan. Dari isu PKI, keturunan China, sampai antek asing, sering ditimpakan kepadanya. Kemudian politik identitas semakin mengkristal di tahun 2016. Hal ini dipicu oleh pidato Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyentil para ulama yang kerap mengutip Surat Al-Maidah untuk kepentingan politik praktis. Tak syak lagi, momen “lompat pagar” ini langsung digunakan oleh kaum islamis untuk mendiskreditkan Ahok serta partai-partai nasionalis. Diinisiasi oleh FPI yang kemudian mendapatkan persetujuan dari MUI serta beberapa ulama NU dan Muhammadiyah, kalangan islamis mengadakan unjuk rasa. Dari serangkaian aksi itu, yang cukup besar terjadi pada tanggal 4 November dan 2 Desember 2016. Tak kurang 500 ribu massa berkumpul di sekitar Monas, menuntut agar Ahok dihukum.
Meski perangkat hukum telah mengadilinya, namun isu agama terus dimainkan. Politik identitas yang dihembuskan Gerindra dan PKS, ternyata efektif pada Pilgub Jakarta 2017. Hasilnya sama-sama kita tahu, Anies Baswedan keluar sebagai pemenang. Setelah Pilgub Jakarta usai, pertarungan ideologi tak semakin surut. Kedua pihak saling melempar tuduhan, dan tak jarang menyerang personifikasi. Di Pilgub serentak 2018 lalu, isu ini tak terlampau mengemuka. Memang ada beberapa insiden seperti penolakan Ustad Abdul Somad dan Bachtiar Nasir di Sumatera Utara, namun di daerah lain taklah begitu berarti. Setelah memantapkan diri menjadi calon presiden, Prabowo kemudian menggunakan ijtima ulama untuk memperkuat kedudukannya. Meski hasil ijtima merekomendasikan Abdul Somad dan Salim Segaf Al Jufri sebagai pendamping Prabowo, namun Gerindra menampiknya. Mereka lebih memilih Sandiaga Uno kadernya sendiri, yang dinilai lebih berisi. Trauma dengan kekalahan Ahok di Pilkada Jakarta, kubu nasionalis akhirnya memilih Ma’ruf sebagai pendamping Jokowi. Ma’ruf merupakan pilihan yang realistis mengingat kedudukannya sebagai Ketua MUI sekaligus mantan Rais Aam PB NU. Memasuki tahun 2019, isu agama dan ideologi terasa semakin menajam. Tak hanya di mesjid, ajakan untuk memilih pasangan tertentu juga dilakukan di gereja, pura, serta wihara. Untuk meredam terjadinya gesekan di tengah masyarakat, pemerintah menghimbau agar tak berkampanye di rumah ibadah. Meski beberapa ada yang mematuhinya, namun banyak pula rumah ibadah yang mengabaikan himbauan tersebut. Sampai masa tenang tanggal 14 April kemarin, saya masih mendengar para pemuka agama yang mengajak untuk memilih pasangan tertentu.
* * *
Dari narasi di atas, jelas terlihat bahwa politik identitas kembali mengalami fase penguatan. Hal ini menurut saya cukup mengkhawatirkan. Kalau saja presiden terpilih nanti tak bisa merangkul semua kalangan, maka dalam waktu lima tahun ke depan masyarakat berderai akan terus berpecah. Indonesia berpotensi menjadi negara tribalisme yang terkotak-kotak berdasarkan pandangan agama yang sempit serta kelompok-kelompok etnis. Tentunya kita berharap ini semua tak kan terjadi, terlebih demokrasi kita tak pernah mengenal the winners take it all. Cukup sudah periode kelam pertentangan etnis dan agama pasca-reformasi – seperti yang pernah terjadi di Sampit, Poso, maupun Ambon — menjadi pelajaran buat kita semua. Semoga kekisruhan yang terjadi selama ini, bisa segera berakhir. Ke depan harapannya, sebagai anak bangsa kita harus bersatu padu membangun Indonesia lebih baik lagi. Ya, siapapun itu! Baik yang mengaku “cebong”, “kampret” ataupun tidak keduanya.
sumber gambar : http://www.detik.com