Akankah China Menjadi Negara Adikuasa?

Posted: 29 Maret 2019 in Politik
Tag:, , , ,

Pertumbuhan ekonomi China yang mengesankan dalam dua dekade terakhir, telah mengundang decak kagum berbagai kalangan. Dari pimpinan negara, para pelaku usaha, hingga akademisi, banyak yang melontarkan kalau negara tirai bambu itu akan menjadi adikuasa yang bisa mengimbangi hegemoni Amerika. Namun tak sedikit pula yang pesimis dengan perkiraan tersebut, diantaranya Marc Champion dan Adrian Leung. Dalam artikelnya yang berjudul “Does China Have What It Takes to Be a Superpower?” mereka menyatakan bahwa dari berbagai pertimbangan, nampak kalau China masih tertinggal dari Amerika. Malah pada beberapa aspek, China berada jauh dibelakang beberapa negara maju. Untuk melihat sejauh mana potensi China dan posisinya saat ini, kita akan membedah satu per satu faktor-faktor yang menjadi acuan suatu negara bisa dikatakan sebagai “adikuasa”.

Alice Lyman Miller, mantan analis CIA sekaligus sarjana China di Hoover Institution Universitas Stanford mendefinisikan apa yang disebut dengan negara adikuasa. Menurutnya, negara adikuasa adalah negara yang memiliki kapasitas untuk memproyeksikan kekuatan dan pengaruhnya di berbagai belahan dunia dalam waktu yang bersamaan. Dalam beberapa contoh, negara adikuasa pernah diperankan oleh Turki Utsmani (abad ke-16 dan 17), Spanyol (abad ke-17), Inggris (abad ke-19), Uni Sovyet (abad ke-20), serta Amerika Serikat (sejak akhir Perang Dunia Kedua).

Kemunculan Amerika sebagai adikuasa, sebenarnya sudah terlihat sejak akhir abad ke-19. Pada tahun 1894, Amerika sudah menempati peringkat pertama dalam hal hasil industri. Namun baru setelah Perang Dunia Kedua, Produk Domestik Bruto (PDB)-nya melampaui gabungan negara-negara Eropa. Pada tahun 1945, sekitar 60% PDB global disumbangkan oleh negeri Paman Sam. Kapasitas produksi industrinya, setengah dari kapasitas dunia. Produksi minyak dan bajanya masing-masing menyumbang 70% dan 64% dari total dunia, dan Amerika juga memegang 73,4% cadangan emas seluruh dunia kapitalis pada saat itu. Dalam hal teknologi, humaniora, dan ilmu sosial, Amerika juga mengalami perkembangan pesat. Sejak masuknya para intelektual Eropa di pertengahan dekade 1940-an, Amerika berhasil menggantikan kedudukan Eropa sebagai pusat penelitian ilmiah dan pendidikan tinggi.

Disamping menjadi pusat pendidikan tinggi dan memiliki perekonomian terbesar, Amerika juga punya kekuatan militer yang mumpuni. Pada akhir Perang Dunia Kedua, kekuatannya telah melampaui kekuatan negara-negara pemenang perang lainnya. Berkat keunggulan ini, Amerika menjadi pemain yang dominan. Untuk menancapkan pengaruhnya ke seluruh dunia, Amerika kemudian membangun sistem aliansi serta jaringan pangkalan militer global. Berbeda dengan Inggris, Prancis, dan negara-negara lain yang memberikan pengaruh melalui koloni, Amerika lebih suka memerintah dunia dengan membangun serangkaian sistem internasional: Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan afiliasinya untuk arena politik, serta Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk keamanan. Di bidang ekonomi, Amerika membuat sistem Bretton Woods untuk mendongkrak mata uangnya. Dan membentuk Kesepakatan Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) — yang kemudian berkembang menjadi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) — untuk mengendalikan perdagangan. Sistem-sistem ini tentunya harus berada di bawah kendali mereka, yang memungkinkannya untuk memberikan reward dan punishment kepada negara-negara lain.

Kebijakan imigrasi Amerika Serikat yang relatif longgar, juga membantunya untuk mengumpulkan talenta-talenta terbaik dari seluruh dunia. Akibatnya, Amerika memiliki kemampuan inovasi yang tak tertandingi, dan menjadi rumah buat umat manusia yang mampu berkarya bagi peradaban. Hasilnya, pasca-Perang Dunia Kedua, lebih dari separuh pemenang hadiah Nobel berasal dari negara ini. Masuknya orang-orang terbaik, juga telah mendorong peran kepemimpinan global Amerika, baik pada aspek kekuatan keras (hard power) maupun kekuatan lunak (soft power). Karena ingin mempertahankan kepemimpinan global, nampaknya Amerika akan terus mempertahankan keunggulannya dalam menarik imigran berkualitas di masa-masa mendatang.

 

Lalu Bagaimana dengan China?

Kalau kita melihat serangkaian aksi yang dilakukan China dalam lima tahun terakhir, nampak sekali kalau mereka ngebet untuk menjadi negara adikuasa. Dari peningkatan anggaran militer, membantu pembangunan negara-negara berkembang, serta inisiatif membangun “Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road)”. Meski begitu, para pemimpin Tiongkok — dari Deng Xiaoping, Jiang Zemin, Hu Jintao, hingga Xi Jinping — semuanya dengan jelas menyatakan bahwa China tak akan pernah mencari hegemoni. Lebih lanjut Xi mengatakan, bahwa Tiongkok tak mau menjadi apa yang disebut sebagai “polisi dunia”, atau untuk menggantikan siapa pun. Singkatnya, China tak memiliki keinginan untuk menggeser peran global yang saat ini dimainkan oleh Amerika Serikat.

Sebagaimana diketahui, menjadi negara adikuasa butuh kocek yang tak sedikit. Dari pembiayaan militer, misi diplomatik, hingga memberikan bantuan kepada para sekutu. Semakin China memperluas pengaruhnya ke banyak negara, maka semakin berat bebannya. Walau kini China memiliki dana yang cukup besar, namun tantangan ekonomi dan kondisi keuangan dalam negeri bisa memperburuk keadaan. Koefisien GINI-nya yang mencapai 46,2 (tergolong tinggi), bisa menjadi acuan bahwa secara internal ekonomi China masih bermasalah. Belum lagi pertumbuhannya yang cenderung menurun, yang makin diperparah dengan adanya perang dagang yang dilancarakan Amerika Serikat dan para sekutunya (Lihat : Dibalik Perang Dagang Amerika Serikat vs China).

Dengan pernyataan seperti itu, lalu pertanyaan selanjutnya adalah : kekuatan besar macam apa yang ingin mereka capai? Apakah hanya puas mendominasi regional, atau ingin menjadi pemain utama di level global. Pada tingkat Asia, tentu kita melihat bahwa dibandingkan Jepang, dalam beberapa aspek China telah melampauinya. Besaran PDB, nilai ekspor, cadangan devisa, dan pengeluaran pertahanan menunjukkan hal itu. Apalagi India, salah satu negara yang berpotensi menjadi pesaingnya di masa depan, agaknya masih tertinggal jauh di belakang China.

Kalau kita berasumsi negara tirai bambu itu memiliki ambisi untuk menguasai dunia, maka kita harus menengok kapabilitas yang dimilikinya. Untuk kekuatan keras (ekonomi dan militer), saat ini China sudah menjadi adikuasa ekonomi. Berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity), negeri Paman Mao itu memiliki ekonomi terbesar di dunia. Namun melihat skala ekonomi hanya dengan ukuran paritas daya beli mungkin akan menyesatkan. Negara super power pastinya akan membeli pangkalan militer, pengaruh, dan barang di luar negeri. Dan itu semua harus mereka bayar dengan harga internasional. Untuk itu salah satu cara mengukur ekonomi Tiongkok dalam harga internasional adalah melihat PDB-nya dengan menggunakan nilai dollar saat ini. Maklum, dollar masih diakui sebagai mata uang pembayaran yang berlaku di seluruh dunia. Jika kita melihat dengan ukuran tersebut, maka akan didapat gambaran yang berbeda, dimana China belum mencapai dua per tiga ekonomi Amerika.

Untuk kekuatan militer, meski sebagian besar masih belum teruji, namun militer China telah menunjukkan perubahan sejak berakhirnya Perang Vietnam. Angkatan bersenjatanya telah dimodernisasi, dan kini secara sembunyi-sembunyi mengembangkan teknologi mutakhir yang dibutuhkan oleh negara adikuasa di abad ke-21. Sekarang, China menghabiskan lebih dari tiga kali biaya pertahanan Rusia, dan secara cepat mempersempit gap dengan Amerika. Jika dihitung menggunakan kurs dollar 2016, maka biaya pertahanan China telah meningkat drastis dari USD 19 miliar (1989) menjadi USD 228 miliar (2018). Sebenarnya secara historis, biaya pertahanan China tak pernah lebih dari 2%. Naiknya jumlah tersebut, dikarenakan bertumbuhnya pendapatan mereka yang cukup pesat dalam tiga dekade terakhir. Jadi apa yang dituduhkan oleh Barat selama ini, bahwa Tiongkok agresif dalam meningkatkan biaya pertahanan, tak sepenuhnya tepat.

Dengan berfokus pada bidang tertentu, seperti serangan kapal selam dan teknologi rudal, kini China telah mampu mengimbangi Amerika. Untuk pencegah nuklir, boleh dibilang China selangkah lebih baik dibandingkan Amerika dan Rusia. Negara ini juga menunjukkan minat yang besar dalam pengembangan teknologi baru, seperti rudal hipersonik serta kecerdasan buatan di dunia maya. Akan tetapi, ketika membandingkan jumlah pangkalan militer, China tentu belum ada apa-apanya. Jika Amerika telah mengoperasikan 516 instalasi militer di 41 negara — termasuk 42 pangkalan yang tergolong besar dan sedang – maka Tiongkok baru mendirikan pangkalan resmi luar negeri di Djibouti dua tahun lalu. Meski sudah mengalokasikan dana begitu besar, namun China masih kekurangan armada pengangkut (kapal induk) serta peralatan berat lainnya untuk memproyeksikan kekuatannya ke seluruh dunia.

 

Military Strength Indicator

Untuk melihat sejauh mana kekuatan militer China secara global, mungkin data yang dirilis oleh Credit Suisse tahun 2015 lalu bisa menggambarkannya (Lihat tabel “Military Strength Indicator”). Dari data tersebut terlihat bahwa China berada di urutan ketiga setelah Amerika Serikat dan Rusia. Jika Amerika dan Rusia masing-masing beroleh nilai total 0,94 dan 0,80, maka China ada di angka 0,79. Dari data tersebut juga dapat dilihat bahwa Tiongkok merupakan negara dengan personel militer aktif terbesar serta jumlah armada tank terbanyak kedua setelah Rusia. Meski kuat di darat, namun untuk Angkatan Laut dan Udara, China masih di bawah Amerika. Jepang yang pasca-Perang Dunia Kedua tak lagi menjadi kekuatan yang ditakutkan, kini menempel di belakang China. Negara matahari terbit itu beroleh skor 0,72, dan memiliki kapal induk yang lebih banyak dari China. India yang juga berambisi menjadi adikuasa dunia, berada di posisi kelima dengan nilai 0,69. Negara asal Amitabh Bachchan itu ternyata juga unggul dibanding China dalam hal kepemilikan kapal induk.

 

Soft Power

Disamping hard power, aspek lainnya yang juga harus dimiliki Tiongkok agar bisa menjadi adikuasa paripurna adalah soft power. Untuk urusan ini, nampak sekali kalau China masih keteteran. Lihat saja bagaimana para diplomat mereka memainkan perannya pada isu-isu global. Sangat minim. Malah dalam beberapa forum, terkesan China menjadi pihak yang tersudutkan dan di-bully oleh negara-negara lain. Isu-isu dalam negeri mereka seperti persoalan Tibet, muslim Uyghur, dan Taiwan, sering menjadi bancakan negara besar untuk melemahkan posisi China. Minimnya negara-negara besar yang beraliansi dengan Tiongkok, boleh jadi merupakan persoalan serius yang harus dihadapi para diplomat China ke depan. Berbeda dengan Amerika, China tak memiliki aliansi yang solid seperti Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) atau Pakta Anzus. Bahkan dengan negara-negara Asia saja, China boleh dibilang sering bersitegang. Berdasarkan survei Pew Research Center tahun 2014, nampak kalau mayoritas masyarakat Asia berpandangan bahwa China bukanlah sekutu mereka. Cuma Pakistan dan Malaysia yang beranggapan kalau Tiongkok adalah aliansi mereka (Lihat tabel “Which Country is Greatest Ally/Threat?”).

Selain itu yang juga penting namun luput dari perhatian China selama ini adalah budaya. Ya, budaya merupakan salah satu alat yang bisa mengubah imej suatu negara. Mungkin banyak yang tak menyadari, kalau Korea Selatan pada dasawarsa 1960-an masih dipersepsikan sebagai negara miskin. Namun seiring dengan meningkatnya budaya K-Pop dan K-Drama, sejak awal milenium lalu Korea Selatan sudah dipersepsikan positif. Selain ekonominya yang memang tumbuh pesat, dari K-Pop dan K-Drama masyarakat bisa melihat bagaimana keadaan Korea Selatan dewasa ini. Begitupula halnya dengan India, yang meski cenderung agresif dan berpendapatan rendah, namun tetap dipersepsikan positif. Banyaknya warga dunia yang menggandrungi budaya India lewat film-film Bollywood, sedikit banyaknya mempengaruhi persepsi tersebut.

Sedangkan China, mungkin saat ini sebagian besar masyarakat menganggap kalau negara itu merupakan negara otoriter, dimana pemerintahnya mengekang kebebasan dan hak-hak warga negara. Padahal kalau kita melihat keadaan yang sebenarnya, kehidupan masyarakat disana tak buruk-buruk amat. Namun karena masyarakat non-China – terutama orang-orang Barat – sering dicekoki oleh berita-berita miring, jadilah imej China di mata dunia tak terlalu bagus. Oleh karenanya, saat ini China mulai membenahi kekayaan budaya mereka dan memperkenalkannya kepada dunia. Untuk mempromosikan kultur Tiongkok, China telah meluncurkan pusat Konfusius di beberapa negara. Ini seperti Jepang beberapa dekade lalu, yang mendirikan Pusat Budaya Jepang di seluruh dunia.

Soft power lainnya yang juga penting untuk dilihat adalah penguasaan teknologi. Untuk yang satu ini, China boleh dibilang telah mengalami peningkatan cukup pesat. Dalam beberapa hal, seperti teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence), China telah berada di depan. Saat ini, Tiongkok merupakan investor terbesar kedua di dunia setelah Amerika pada perusahaan berbasis kecerdasan buatan. Menurut Simon Bussy dari Altus Consulting, China memiliki ambisi untuk menjadi pemimpin global di sektor tersebut pada tahun 2030 nanti. Perusahaan-perusahaan mereka seperti Tencent dan Alibaba, sudah mengembangkan kecerdasan buatan yang memungkinkan para pengguna melakukan berbagai aktivitas dalam satu aplikasi. Tak salah jika kini nilai pasar Tencent sudah melampaui Facebook. Begitupula dengan Huawei yang telah menjelma sebagai perusahaan telekomunikasi dengan teknologi terdepan. Dengan teknologi 5G-nya, perusahaan ini dianggap sebagai ancaman kemapanan perusahaan-perusahaan Amerika dan Eropa. Mungkin Anda masih ingat kasus penangkapan petinggi Huawei beberapa minggu lalu. Kasus itu disinyalir sebagai bentuk propaganda Amerika untuk memblokir produk Huawei. Meski di dunia Barat barang produksi China masih dianggap murahan dan berkualitas rendah, namun di Afrika dan Amerika Latin teknologi China sudah mulai diakui (Lihat tabel “Soft Power”).

 

* * *

China tentu akan menjadi salah satu kekuatan besar yang memiliki pengaruh dalam membentuk abad ke-21. Tetapi apakah pengaruhnya akan menyalip Amerika, masih menjadi kajian yang menarik hingga saat ini. Kalau dilihat dari uraian di atas, nampaknya Tiongkok masih membutuhkan waktu yang lama untuk sampai kesana. Terlebih pertumbuhannya yang tak lagi double digit serta populasinya yang semakin menua, semacam batu sandungan buat mereka untuk meraih ambisi tersebut. Berbeda dengan Amerika di tahun 1880-1950 — dimana mereka muncul sebagai adikuasa baru yang hendak menyalip Inggris — pada saat itu populasi mereka justru meningkat tiga kali lipat. Sedangkan Tiongkok dengan jumlah penduduk 1,4 miliar, dalam 10 tahun ke depan justru banyak yang akan pensiun. Hal ini tentu akan menjadi beban negara, dan dikhawatirkan malah akan memasuki fase “loss decade” seperti yang dialami Jepang pada dasawarsa 1990-an (Lihat : Mengapa Perekonomian Jepang Stagnan dan Banyak Perusahaannya Bertumbangan?). Kalau ini benar terjadi, maka hingga penghujung abad ke-21 bisa dipastikan Amerika tetap menjadi adikuasa dunia.

 

Lihat pula :
Menghitung Pengaruh dan Kekuasaan Amerika Dewasa Ini

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s