Budaya dan Masyarakat Keturunan Indonesia di Negeri Belanda

Posted: 15 Mei 2021 in Sosial Budaya
Tag:, , , ,

Keberadaan orang-orang Indonesia di negeri Belanda, agaknya jarang terekspos oleh media-media internasional. Tidak seperti halnya orang Turki di Jerman, masyarakat India-Pakistan di Inggris, atau kelompok Afrika Utara di Prancis; orang-orang Indonesia di Belanda tak pernah menjadi news maker. Berbeda dengan kelompok-kelompok tersebut yang acap kali diberitakan sebagai pelaku teroris, keturunan Indonesia di Eropa tak satupun yang terlibat dalam aksi tersebut. Boleh jadi inilah sebabnya mereka tak banyak mendapat sorotan. Padahal secara persentase, jumlah mereka di negeri kincir angin cukuplah besar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. Peter Post, ada sekitar 1,5 juta-2 juta masyarakat keturunan Indonesia di Belanda. Meski banyak juga yang berpendapat kalau jumlah mereka tak lebih dari 400.000 jiwa atau sekitar 2,5% populasi Belanda.

Meski keberadaan orang-orang Indonesia dalam jumlah besar belum mencapai satu abad, namun pengaruh bangsa kita dalam kultur Belanda cukuplah besar. Sebut saja misalnya dari segi bahasa. Banyak sekali kosakata Bahasa Belanda yang diserap dari Bahasa Indonesia/Melayu. Selain itu untuk aspek makanan, tak sedikit kuliner asli Indonesia yang menjadi menu handalan disana. The rijsttafel, prasmanan yang terdiri dari satu set makanan Indonesia, masih menjadi hidangan favorit di negeri tanah rendah. Satu lagi budaya Indonesia yang masih dilestarikan hingga saat ini adalah festival pasar malam. Salah satu festival pasar malam — dan yang terbesar — di Belanda adalah Tong Tong Fair, yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1959.

Kultur Indonesia dan Pengaruhnya di Belanda

Berdasarkan catatan Enne Koops setidaknya ada sekitar 109 kosakata dalam Bahasa Belanda yang terambil dari Bahasa Indonesia/Melayu. Meski tak sebanyak kosakata Belanda yang diserap ke dalam Bahasa Indonesia, namun keberadaan kata-kata Indonesia dalam percakapan sehari-hari orang Belanda menegaskan bahwa selama masa VOC dan kolonial bukan hanya orang Belanda saja yang mempengaruhi kultur Indonesia, namun juga sebaliknya. Sebagaimana diketahui, sejak akhir abad ke-16 kaum merkantilis Belanda telah berhubungan langsung dengan orang-orang di Nusantara. Mereka yang berdagang, banyak yang kemudian mengadaptasi kosakata Indonesia ke dalam Bahasa Belanda. Beberapa kosakata Indonesia yang telah diserap ke dalam Bahasa Belanda antara lain : senang, klewang, toko, sarong, koelie, waroeng, bakkeleien (berkelahi), klamboe, klapper (kelapa), pisang, mandoer (mandor), amok (amuk), tabee (tabik), pienter (pintar), piekeren (pikir), branie (berani), pakkie-an (bagian), amper (hampir), banjeren (banjir), ajam (ayam), gladjakker (geladak), kakkies, rampokken (rampok), goeroe, prauw (prahoe), passagieren (pesisir), patjakker (badjak), strootje (serutu), tempo-doeloe, soesa, karbouw, rimboe, orang-oetan, dan masih banyak lagi terutama dalam istilah masak memasak.

Selain bahasa, cita rasa dan masakan Indonesia juga banyak memberikan pengaruh kepada Belanda. Hal ini ditandai dengan banyaknya makanan negeri itu yang lebih pedas dibandingkan dengan negara-negara lain di sekitarnya. Sama seperti halnya di Indonesia, masakan Belanda banyak menggunakan bumbu-bumbu seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis. Di beberapa rumah makan kadang tersedia pula kecap, sambal, dan kerupuk sebagai pelengkap. Beberpa kuliner Indonesia yang cukup populer antara lain nasi goreng, bakmi, rendang, pisang goreng, soto, dan sate ayam. Disana sate merupakan salah satu jenis makanan yang memiliki banyak varian. Beberapa resto bahkan menyajikan sate sebagai menu utama.

Waroeng Padang Lapek, salah satu restoran Indonesia di Belanda

Berdasarkan catatan Ellen Derksen, restoran Indonesia sudah ada di Belanda sejak tahun 1922. Namanya Tampat Senang yang berlokasi di Den Haag. Kemunculan rumah makan yang menyajikan masakan khas Indonesia, mulai booming di tahun 1949. Ketika itu, untuk menangkap peluang pasar orang-orang Indo yang bermigrasi ke Belanda, banyak restoran China yang kemudian juga menjual menu khas Nusantara. Mereka-pun menambahkan kata “Indisch” dalam label resto mereka menjadi Chinees-Indisch Restaurant. Berdasarkan laporan Rabobank, pada tahun 2013 ada sekitar 2.000 Chinees-Indisch Restaurant di seluruh Belanda. Jumlah mereka berada di urutan kedua setelah Dutch-French Restaurant. Selain Chinees-Indisch Restaurant, kehadiran restoran padang sejak awal milenium ini juga menambah deretan restoran Indonesia yang ada di negeri Belanda.

Sedangkan untuk bumbu masak khas Indonesia, baru tersedia di supermarket-supermarket Belanda sejak dekade 1970-an. Semula bumbu-bumbu itu diulek secara manual, lalu dimasukan ke dalam toples kaca. Namun karena cepat membusuk, bumbu-bumbu tersebut kemudian diproses secara kimiawi. Kini produk-produk seperti sambal terasi, saus sate, dan saus sambal/tomat, telah menjadi jualan umum di berbagai supermarket di Belanda. Untuk melestarikan resep dan racikan bumbu Indonesia, saat ini banyak sekali dijual buku resep masakan Indonesia. Dan yang mencengangkan, peminatnya-pun juga cukup besar. Marjolein Kelderman, salah seorang penulis buku resep masakan Indo mengatakan, buku resep Indonesia menjadi peminatan kedua terbanyak setelah resep masakan Italia.

Festival pasar malam juga merupakan bentuk pengaruh kultur Indonesia disana. Ada banyak festival pasar malam yang digelar di seantero Belanda. Namun dari sekian banyak pasar malam disana, Tong Tong Fair adalah yang terbesar. Festival yang diadakan saban tahun di dekat stasiun sentral Den Haag itu, mampu menarik lebih dari 100.000 pengunjung. Selain menghadirkan kuliner khas Indonesia, Tong Tong Fair juga menampilkan lagu-lagu Indonesia. Musik keroncong dan Indorock, kerap menghiasi festival ini. Disamping sebagai acara nostalgia, tujuan dari diselenggarakannya festival ini juga sebagai sarana promosi produk-produk Indonesia. Beberapa hasil kerajinan para pengrajin Indonesia, seperti perak, ukir-ukiran, dan batik, banyak dijual di festival tersebut.

Kaum Indo dan Orang Jawa-Suriname

Dari sekian banyak masyarakat keturunan Indonesia yang bermukim di Belanda, mayoritas mereka adalah kaum Indo. Kelompok ini merupakan blasteran Indonesia-Belanda yang sudah ada sejak abad ke-19 di Nusantara. Seperti halnya di Indonesia, kaum Indo memiliki penampilan yang menarik. Kulit mereka yang terang, dengan wajah oval dan dagu yang lancip, menjadikan mereka berbeda dengan kebanyakan orang Belanda lainnya. Selain enak dipandang, orang-orang Indo juga dikenal pintar memasak. Merekalah sebenarnya yang banyak memperkenalkan masakan khas Indonesia dan mencitrakannya sebagai makanan yang enak. Beberapa tokoh Indo yang cukup populer antara lain anggota parlemen dari Partai Kebebasan, Geert Wilders, musisi Van Halen bersaudara, serta penyanyi Dries Holten dan Sandra Reemer.

Kedatangan orang-orang Indo ke Belanda bermula pada masa penjajahan Jepang di tahun 1942-1945. Ketika itu, untuk menghindari tuduhan sebagai mata-mata, banyak diantara mereka yang kemudian pergi ke Belanda. Gelombang kedua terjadi pada masa revolusi fisik. Pada masa itu setidaknya ada sekitar 100.000 kaum Indo yang meninggalkan Indonesia. Gelombang berikutnya di periode 1950-1967, setelah pembubaran negara federal Indonesia serikat dan perebutan Irian Barat. Waktu itu lebih dari 300.000 kaum Indo yang direpatriasi ke negeri Belanda. Mereka yang sejak lahir tak pernah menginjakkan kakinya di negara tersebut, dipaksa oleh keadaan untuk meninggalkan tanah air. Tak sedikit dari mereka yang setibanya di Belanda, terus melanjutkan perjalanan ke Amerika Serikat dan menjadi warga negara disana.

Ranomi Kromowidjojo

Satu lagi keturunan Indonesia yang banyak bermukim di Belanda adalah orang Jawa-Suriname. Kepindahan mereka ke negeri tulip terjadi pada pertengahan dasawarsa 1970-an. Ketika itu Suriname yang baru saja merdeka, dilanda konflik antar etnis. Orang-orang India dan kreol Afrika yang menjadi pihak mayoritas, berebut kepemimpinan politik. Akibatnya banyak orang Jawa-Suriname yang diliputi ketidakpastian dan akhirnya memilih kewarganegaraan Belanda. Meski jumlah mereka tak sebanyak kaum Indo, namun orang Jawa-Suriname masih mempertahankan adat istiadatnya. Tak sedikit dari mereka yang masih berbicara dalam dialek Jawa, menganut Islam, serta memainkan tarian dan musik-musik gamelan. Tak heran kalau banyak pemain gamelan disana, justru datang dari kalangan Jawa-Suriname. Yang juga patut dicatat, komunitas ini dikenal sebagai silent-minority. Mereka jarang tercatat dalam laporan-laporan kejahatan atau berbuat onar. Berbeda dengan kaum Indo yang terlihat modis, pada umumnya orang-orang Jawa-Suriname berpenampilan sederhana. Salah satu orang Jawa-Suriname yang cukup berprestasi adalah Ranomi Kromowidjojo. Dia adalah perenang Belanda yang menjuarai tiga Olimpiade dan beberapa kejuaraan dunia.

Komunitas Maluku

Berbeda dari kelompok lainnya yang sudah terintegrasi dengan baik ke dalam masyarakat Belanda, masyarakat Maluku masih mempertahankan identitasnya sendiri. Hingga saat ini, banyak diantara mereka – terutama para senior — yang masih belum lancar berbahasa Belanda. Oleh sebab itu, mereka masih memiliki status khusus yang terpisah dari keturunan Indonesia lainnya. Keberadaan orang-orang Maluku di Belanda, bermula dari keterlibatan mereka dalam tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Pada masa kolonial, tak sedikit dari orang Maluku yang masuk ke dalam elit tentara Hindia Belanda. Hingga masa kemerdekaan, banyak dari mereka yang masih setia dengan Kerajaan Belanda. Sehingga pada masa revolusi fisik, sebagian dari mereka menjadi penyokong utama Belanda dan memerangi kaum republiken. Setelah penyerahan kedaulatan Indonesia di tahun 1949, para serdadu KNIL itu kemudian dipensiunkan. Untuk menghindari amuk massa, karena pernah dicap sebagai pengkhianat bangsa, mayoritas mereka kemudian dibawa ke negeri Belanda.

Semula mereka hanya ditempatkan beberapa bulan saja di negeri itu, sebelum akhirnya dikembalikan ke Maluku. Namun karena pembentukan Republik Maluku Selatan gagal, mereka jadi takut pulang ke Indonesia. Akhirnya pada tahun 1960, pemerintah Belanda membangun sekitar 71 area pemukiman khusus yang letaknya berada dipinggiran kota. Pada tahun 1970-an, banyak dari anggota komunitas Maluku yang berbuat ulah. Mereka yang mencari perhatian pemerintah, membajak dua kereta komuter dan mengambil alih kediaman Duta Besar Indonesia di Den Haag. Mereka juga mencoba untuk menaklukkan istana kerajaan dan hendak menculik Ratu Juliana. Beruntung pihak keamanan Belanda bertindak sigap, sehingga aksi-aksi tersebut dengan mudah dapat dipatahkan.

Lantaran itu banyak masyarakat Belanda yang tak lagi simpati dengan orang-orang Maluku. Akibatnya banyak dari mereka yang sulit mendapatkan pekerjaan. Kebencian terhadap pemerintah Belanda dan merasa sebagai warga negara kelas dua, menyebabkan banyak diantara orang Maluku yang kemudian membentuk geng dan kelompok solidaritas. Salah satu kelompok yang cukup besar adalah klub motor “Satu Darah Maluku”. Sayangnya keberadaan klub ini malah dicap sebagai kelompok kriminal.

Meski orang-orang Maluku masih memiliki keistimewaan untuk menempati area pemukiman khusus, namun sebagian besar generasi penerus tak lagi tinggal disana. Mereka lebih memilih untuk melebur dengan masyarakat Belanda dan beradaptasi dengan kultur lokal. Berbeda dengan generasi pertama dan kedua yang masih berpikir untuk kembali ke Maluku, generasi ketiga dan keempat sudah tak lagi berharap untuk kembali ke Indonesia. Anak-cucu mereka menganggap bahwa Belanda sudah menjadi tanah air baru mereka. Kini banyak dari keturunan Maluku yang telah mengharumkan nama negeri Belanda, terutama di kancah sepak bola. Nama-nama seperti Giovanni van Bronckhorst dan Denny Landzaat merupakan pesepakbola terbaik yang pernah dimiliki oleh negeri itu.

* * *

Yang juga menjadi perhatian penulis adalah ditasbihkannya nama-nama tokoh Indonesia menjadi nama ruas jalan di Belanda. Di Haarlem, kita bisa menjumpai Mohammed Hatta Straat (Jalan Mohammed Hatta). Di Amsterdam ada Pattimura Straat, Tan Malaka Straat, Suwardi Straat, Trimurti Straat, Diponegoro Straat, Maria Ulfah Straat, Soekaesih Straat, Roestam Effendi Straat, Palar Straat, dan Irawan Soejono Straat. Di pemukiman komunitas Maluku di kota Wierden, nama Pattimura juga diabadikan bersama tokoh Maluku lainnya : Martha C. Tiahahu dan Chris Soumokil. Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama, diabadikan di tiga kota, yakni Leiden, Haarlem, dan Gouda. Sedangkan pejuang emansipasi wanita : R.A. Kartini, menjadi nama ruas jalan di Amsterdam, Haarlem, Utrecht, dan Venlo. Yang cukup mencengangkan adalah diabadikannya nama Munir Said Thalib, salah seorang aktivis hak asasi manusia (HAM), sebagai nama jalan setapak di Den Haag. Namanya diabadikan bersama tokoh-tokoh pejuang HAM dunia lainnya.

Kalau kita tengok, ada beberapa nama tokoh yang di Indonesia justru tak diabadikan. Seperti Roestam Effendi dan Nico Palar misalnya, yang pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di parlemen Belanda. Karena namanya terabaikan, kini sedikit sekali publik yang mengenalnya. Lalu Pattimura, Diponegoro, Tan Malaka, Sjahrir, dan Hatta, kalau dilihat dari kaca mata publik Belanda, sebenarnya mereka kan musuh orang Belanda. Namun kenapa pemerintah Belanda mau mengabadikan nama-nama mereka? Menurut penulis karena Belanda melihat jasa tokoh-tokoh tersebut terhadap kemanusiaan. Berbeda dengan di Indonesia, dulu banyak sekali nama ruas jalan yang mengambil nama tokoh-tokoh Eropa. Namun karena kebencian orang Indonesia terhadap Belanda, nama-nama tersebut kini telah diganti. Tak hanya itu. Hingga saat ini masyarakat kita masih belum mau mengakui/mengabadikan nama tokoh-tokoh yang dianggap kaum kiri atau pemberontak. Padahal sebenarnya jasa mereka terhadap republik ini tak bisa dibilang sedikit. Karena berseberangan dalam pandangan politik, nama-nama mereka kemudian sengaja untuk dilupakan.

Iklan
Komentar
  1. Kosmopolium berkata:

    Mereka yg punya keturunan dari Indonesia di Belanda pd dasarnya memang sudah kaum peranakan Eropa-Indonesia sejak zaman kolonial, jadi secara identitas memang gak seperti keturunan India/Pakistan di UK, Algeria di Prancis, atau Turki di Jerman, yg masih beridentitas “pribumi” dan karena itu tetap mengidentifikasi diri dengan nasionalitas asalnya secara komunitas. Tapi mirisnya, banyak di antara orang keturunan Indo di Belanda ini, khususnya generasi-generasi tua, yg mengalami trauma dan rasa kesal dengan Indonesia akibat tragedi-tragedi memilukan di masa-masa revolusi kemerdekaan dan juga kasus pemulangan di pertengahan 50an, maka mereka merasa seperti anak yang diasingkan oleh tanah airnya sendiri dan oleh “saudara” orang Indonesianya. Saya harap kedua pihak, baik orang Indonesia maupun Indo-Belanda ini dapat move on dari masa lalu, dan sama-sama tetap melanjutkan warisan historis dalam kebudayaan dan persaudaraan demi membangun hubungan yang lebih baik ke depannya.

    FYI: Di keluarga saya, ada beberapa yang keturunan Indo-Belanda juga, tante in-law saya seorang Indo-Belanda kelahiran Amsterdan, dan beberapa saudara saya tinggal kota Zevenaar Belanda, keturunan Maluku. Jadi saya juga tak bisa menafikan ikatan kekeluargaan yang ada di dua negara ini pada diri saya,

    Disukai oleh 2 orang

    • Afandri Adya berkata:

      Terima kasih Sdr. Kosmopolium atas komentarnya. Iya benar, sebagian orang Indonesia yang bermigrasi ke Belanda adalah komunitas Indo yang merupakan kaum peranakan Eropa-Indonesia. Salah satu diantara mereka adalah keluarga dari PM Belanda saat ini, Mark Rutte. Kabarnya istri pertama ayahnya — yang juga merupakan kakak ibunya — meninggal di kamp tawanan Jepang di Cideng, Jakarta.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s