Istana Siak Sri Inderapura

Istana Siak Sri Inderapura

Lebih dari satu abad raja-raja “Melayu” silih berganti menggempur Portugis di Malaka. Namun koloni negeri liliput dari Semenanjung Iberia itu tetap kokoh berdiri. Meski begitu sejarah telah mencatat tak ada kekuasaan yang abadi. Begitu pula halnya dengan kekuasaan Portugis di Malaka yang harus berakhir pada tahun 1641. Saat itu di bulan Januari, kapal-kapal VOC dari negeri tanah rendah datang mengepung Malaka. Tujuan mereka hendak mendirikan pos perdagangan yang bisa mengontrol lalu lintas Selat Malaka. Penyerangan Belanda ke Malaka bermula dari sebuah perjanjian antara Cornelis Matelieff de Jonge dengan sultan Johor. Dalam perjanjian yang bertarikh 1606 itu, Belanda dan Johor sepakat untuk tidak saling serang. Kesepakatan itu kemudian berlanjut dengan pembentukan aliansi militer, yang bertujuan menyingkirkan Portugis dari Selat Malaka.

 
Kedatangan Belanda dan Melemahnya Kekuasaan Aceh

Setelah melalui serangkaian perdebatan, di bulan Agustus 1640, Belanda mengepung benteng Portugis di Malaka. Pengepungan ini baru membuahkan hasil lima bulan kemudian, setelah bobolnya benteng Portugis : A. Fomosa. Kejatuhan Malaka merupakan pukulan telak bagi Portugis yang sudah mengalami kekalahan demi kekalahan. Sebelumnya mereka telah dipecundangi Belanda di Kepulauan Maluku, dan akhirnya menyingkir ke Timor Leste. Setelah itu, Belanda juga berhasil menghalau para misionaris Portugis yang hendak menyebarkan ajaran Katholik di Kepulauan Jepang.

Dari rangkaian peperangan tersebut bisa dilihat, bahwa kebencian Belanda terhadap Portugis bukan semata-mata karena faktor ekonomi belaka, namun juga disebabkan oleh perbedaan agama. Di kalangan masyarakat Muslim-pun, orang-orang Katholik lebih dipandang sebagai musuh. Hal ini mungkin dikarenakan pengalaman Muslim yang sudah berabad-abad berperang dengan pihak Katholik. Dari masa holy cruscade hingga reconquista di Andalusia. Oleh sebab itu bagi penguasa Belanda dan sultan-sultan “Melayu”, Portugis lebih dipandang sebagai musuh bersama.

Setelah terusirnya Portugis dari Malaka, kedudukan Johor di kawasan selat semakin menguat. Belanda satu-satunya kekuatan yang memiliki daya gedor cukup mumpuni, terus menjaga kedaulatan politik Johor. Selain terikat dengan perjanjian aliansi, secara finansial Belanda juga telah diuntungkan, yakni diperolehnya hak monopoli perdagangan di Semenanjung. Sementara itu di Aceh, pasca wafatnya Sultan Iskandar Thani tak pernah lagi lahir pemimpin yang perkasa. Periode 1641-1699, Aceh berturut-turut dipimpin oleh empat orang sultanah : Safiatuddin Tajul Alam, Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Inayat Zaqiatuddin Syah, dan Kamalat Syah. Ketika dipimpin empat orang wanita inilah, kedudukan politik Aceh mulai memudar.

Kelemahan Aceh mulai terlihat di tahun 1650, ketika Belanda memaksa Safiatuddin untuk memberikan hak monopoli perdagangan timah di Perak. Setelah itu ia juga memperbolehkan para pedagang VOC untuk membuka loji di Padang dan di kota-kota pesisir barat lainnya. H.J. De Graaf dalam bukunya “Geschiedenis Van Indonesie” mengungkapkan bahwa pada tahun 1641, Belanda telah memperoleh izin untuk berdagang di Padang, Pariaman, Tiku, dan Indrapura. Sesuatu yang tak pernah mereka peroleh pada masa sebelumnya. Meski tak memiliki tentara yang hebat, namun Safiatuddin telah menggiatkan pembangunan dayah (mushola) di seluruh Aceh. Dia juga membiayai para ulama untuk menulis kitab, terutama kitab-kitab agama. Beberapa penulis terkemuka yang rajin mengarang buku antara lain Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Syiah Kuala, dan Daud Rumy. Ketertarikannya pada bidang keilmuan, telah menyebabkan sultanah abai terhadap peningkatan kualitas militer.

Pada tahun 1699, sultanah yang terakhir Kamalat Syah menyerahkan tahta kesultanan kepada suaminya Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin. Dia merupakan keturunan Arab yang berasal dari golongan syarif. Setelah itu dua orang putranya yang naik tahta : Perkasa Alam Syarif Lamtui dan Jamalul Alam Badrul Munir, juga tak bisa berbuat apa-apa. Dua orang raja setelah itu hanya berkuasa tak lebih dari dua tahun. Sehabis itu terjadi huru-hara di Kutaraja yang menyebabkan runtuhnya dominasi para syarif. Kekuasaan mereka kemudian diambil alih oleh Maharaja Lela : Alauddin Ahmad Syah di tahun 1727. Alauddin merupakan putra Daeng Abdurrahim dan Nurul Alam Naqiatuddin Syah (sultanah Aceh ke-15). Neneknya dari garis ayah : Laksamana Malahayati, adalah seorang panglima yang gagah berani. Meski Alauddin keturunan tokoh kesohor, namun ia bukanlah pemimpin yang kuat. Keturunannya yang kemudian menciptakan dinasti Aceh-Bugis, tak pernah efektif hingga Perang Aceh meletus di tahun 1873.

 
Titik Balik Kesultanan Johor

Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III, Johor berkonfrontasi dengan Jambi. Persengketaan itu bermula dari klaim Johor atas Tungkal yang berada di wilayah Jambi. Di tahun 1667, untuk menegakkan kedaulatan Johor, sultan membawa 7 buah kapal menyerang perkampungan nelayan di Jambi. Pada saat itu beberapa perkampungan mengalami kehancuran. Tak terima dengan penghinaan itu, enam tahun kemudian Jambi membalas penyerangan Johor dengan merusak ibu kotanya di Batu Sawar. Atas serangan tersebut, raja muda Johor bersama seluruh pengikutnya lari bersembunyi ke dalam hutan. Bendahara Johor kemudian ditawan dan dibawa pulang ke istana Jambi. Dengan kemenangan itu Jambi memperoleh harta rampasan perang yang berlimpah ruah. Barang-barang berharga milik Johor — termasuk 4 ton emas dan senjata api, habis tandas diambil Jambi.

Meski mengalami kekalahan cukup telak, namun Johor berhasil bangkit kembali. Menurut Leonard Andaya, pada masa pemerintahan Bendahara Tun Habib Abdul Majid, Johor menjadi salah satu negeri termakmur di Semenanjung Melayu, dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup fantastis. Pada tahun 1697, Bendahara Tun Habib meninggal dunia. Pemerintahan Johor kemudian sepenuhnya dikendalikan oleh Sultan Mahmud, seorang gila yang tak cakap dalam memimpin. Pernah suatu ketika ia mendapatkan hadiah pistol dari pedagang Skotlandia : Alexander Hamilton. Untuk mencoba seberapa ampuh peluru yang ada pada senjata itu, ia dengan sengaja membunuh salah seorang rakyatnya. Kepemimpinannya yang zalim telah mengakibatkan hengkangnya sebagian besar pedagang muslim dari pelabuhan Johor. Andaya menyebutkan dalam dua tahun pemerintahannya, Johor telah berubah dari pusat perdagangan yang ramai menjadi kampung kecil yang tak lagi berarti.

Karena perangainya yang tak elok, pada tahun 1699 Sultan Mahmud dibunuh oleh salah seorang pembesar kerajaan. Setelah kematiannya, Bendahara Tun Abdul Jalil (putra Tun Habib Abdul Majid) diangkat sebagai sultan Johor dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Naiknya Bendahara Tun Abdul Jalil ternyata tak disukai oleh sebagian rakyat Johor, terutama masyarakat Suku Laut. Alasannya karena ia bukan dari wangsa Malaka-Johor yang memiliki garis keturunan Raja Iskandar Zulkarnain. Dalam kosmologi rakyat “Melayu”, terdapat keyakinan bahwa raja-raja mereka berasal dari zuriat yang sama, yakni Raja Iskandar Zulkarnain. Keturunannya : Sang Sapurba (Sang Nila Utama ?) keluar dari tanah Minang, kemudian beranak pinak dan menjadi raja di berbagai kerajaan Nusantara. Kepercayaan inilah kemudian yang dilegitimasi oleh beberapa orang penguasa sebagai rujukan untuk mencari penerus raja-raja “Melayu”. Oleh karena itu ketika Raja Kecil — yang mengaku sebagai putra Sultan Mahmud — hendak merebut tahta dari Abdul Jalil, masyarakat Suku Laut dengan senang hati mendukungnya.

 

Pulau Penyengat (sumber : perantaubatam.blogspot.com)

Pulau Penyengat (sumber : perantaubatam.blogspot.com)


 
Pengaruh Pagaruyung dan Kejayaan Siak Sri Inderapura

Dalam sejarah Melayu, asal usul Raja Kecil masihlah misterius. Raja Pagaruyung Sultan Indermasyah, dalam korespondensinya dengan VOC mengaku bahwa Raja Kecil adalah saudaranya. Leonard Andaya menyebutnya sebagai ketua masyarakat Minangkabau di Siak. Sedangkan Rosihan Anwar dalam novelnya, menjuluki Raja Kecil sebagai raja bajak laut di Selat Malaka. Pendapat lainnya datang dari Kamardi Rais Datuk Simulie, yang mengatakan bahwa ia merupakan keturunan Sultan Mahmud yang beribukan putri dari Pagaruyung. Dari beberapa pendapat di atas penulis mengikut kepada Andaya yang juga diyakini oleh sebagian besar sejarawan, bahwa Raja Kecil adalah pengelana Minangkabau yang berkuasa di kawasan Siak. Meski datang dari kalangan rakyat biasa, namun Raja Kecil memiliki ambisi yang besar. Ambisinya itu seiring dengan keinginan raja-raja Pagaruyung yang hendak menguasai Semenanjung Malaya.

Untuk memuluskan ambisi tersebut, dengan cerdik raja Minangkabau memanfaatkan ketidaksenangan rakyat Johor terhadap penguasa mereka. Maka dibuatlah suatu siasat yang melegitimasi Raja Kecil sebagai pewaris sah Kesultanan Johor. Sebelumnya pada tahun 1716, Raja Kecil yang mewakili Sultan Indermasyah, telah melakukan kesepakatan dagang dengan VOC. Kesepakatan ini mungkin untuk mengamankan langkah Pagaruyung mengambil alih tahta Johor dari tangan Abdul Jalil. Atas dukungan Orang Laut, pada tahun 1718 Raja Kecil berhasil menyingkirkan Bendahara Abdul Jalil dari tampuk kekuasaan. Sejak saat itu hingga lima tahun ke depan, Kesultanan Johor berada di bawah kekuasaan Pagaruyung. Penguasaan ini melengkapi dominasi Pagaruyung di Selat Malaka, dimana sebelumnya (tahun 1660) mereka juga berhasil menguasai tambang-tambang emas di Jambi. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, keinginan Pagaruyung untuk terus berkuasa di Semenanjung tak sepenuhnya berjalan mulus. Para petualang Bugis yang juga berhasrat untuk menguasai Johor, menunutut hak sebagai raja muda di kesultanan.

Karena mendapat penolakan dari Pagaruyung, maka petualang Bugis di bawah pimpinan Daeng Merawah – bersama dua orang kerabatnya dari Luwu — berkomplot dengan Bendahara Abdul Jalil menyerang istana Johor. Pada tahun 1723 setelah keadaan mereda, orang-orang Bugis mendudukkan Sultan Sulaiman (putra Abdul Jalil) sebagai sultan Johor, dan Daeng Merawah naik sebagai raja muda. Pengangkatan ini tentu tak disukai oleh masyarakat Suku Laut yang merupakan loyalis Raja Kecil. Karena takut mendapat serangan Pagaruyung, sultan-sultan Johor terpaksa bergantung kepada pasukan Bugis. Malangnya, pasukan ini tak menaruh setia kepada raja-raja Melayu. Sehingga ketika Johor mendapat ancaman dari Siak, dan kekuatan Bugis tak dapat dihandalkan lagi, maka Johor berputar haluan dengan meminta bantuan kepada Belanda di Malaka.

Setelah tak dapat mempertahankan kekuasaannya di Johor, Raja Kecil akhirnya mundur ke daratan Riau. Disini ia bersama para pengikutnya mendirikan daulah baru yang kemudian dikenal dengan Kesultanan Siak Sri Inderapura. Seperti yang tercatat pada laporan Tome Pires (tahun 1513), negeri Siak telah lama menjadi pelabuhan dagang raja Minangkabau. Dari laporan itu kita bisa mengetahui bahwa sejak dahulu kala Siak merupakan kawasan yang bertaut dengan raja-raja Pagaruyung. Mungkin karena itulah legitimasi politik Raja Kecil yang mendirikan kesultanan di kawasan ini dapat dibenarkan. Karena kuatnya dukungan Pagaruyung dan loyalitas Orang Laut, pada tahun 1724 Raja Kecil — kemudian bergelar Sultan Abdul Jalil, melakukan invasi ke daerah Rokan dan Bintan. Di Bintan ia membangun pertahanan armada laut sebagai pangkalan untuk menyerang kawasan seberang lautan. Namun di tahun 1728, atas perintah Sultan Sulaiman penguasa Johor, pasukan Bugis mengusir Siak dari kawasan itu. Kemudian mengikuti strategi Siak, ibu kota Johor-pun berpindah dari Semenanjung ke Bintan, tepatnya di Pulau Penyengat.

Meski kehilangan Bintan, namun sultan Siak terus memperluas kekuasaannya. Pada tahun 1740, Raja Kecil menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya. Enam tahun kemudian, penggantinya : Sultan Abdul Jalil Syah II memperkuat kedudukan di Kedah dan pesisir timur Semenanjung. Pada tahun 1761, terdapat dualisme kepemimpinan di Kesultanan Siak. Raja Muhammad Ali yang didukung Belanda, naik menjadi sultan Siak. Sementara sepupunya Raja Ismail yang tak disukai Belanda, tersingkir dan muncul sebagai penguasa lautan.

Meski tak didukung oleh Belanda, namun Raja Ismail memiliki kemampuan yang setara dengan para pendahulunya. Dia memiliki kecakapan berperang dan lihai dalam memelihara kesetiaan masyarakat Suku Laut. Setelah mengumpulkan para pengikutnya, ia kemudian membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Raja Ismail terus menunjukan pengaruhnya dengan membantu Kesultanan Terengganu dalam menaklukan Kelantan. Untuk memperkokoh kedudukannya di Semenanjung, ia menikahi putri Sultan Mansur I penguasa Terengganu. Dominasi Raja Ismail di kawasan timur Sumatera, mulai bertaji setelah ia mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka dan menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sementara itu pesaingnya : Raja Muhammad Ali yang didukung oleh Belanda, berhasil menjadikan Johor sebagai wilayah jajahannya. Dengan penaklukan itu maka untuk kali pertama Johor bertekuk lutut di bawah kaki penguasa Siak, dan Muhammad Ali berhasil mengulang kejayaan imperium Johor-Riau seperti masa kepemimpinan Sultan Abdul Jalil Syah III. Pada tahun 1779, Raja Ismail kembali menaiki tahta Siak. Dimasa inilah ia menyerang Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat. Namun penyerangan itu dapat dipatahkan oleh rakyat Sambas di bawah pimpinan Pangeran Anom.

Dua tahun kemudian Raja Ismail digantikan oleh Sultan Yahya. Pada tahun 1782, ia membuat perjanjian dengan Belanda untuk berperang melawan Inggris. Setelah Yahya wafat, pada tahun 1791 Kesultanan Siak dipimpin oleh raja-raja berketurunan Arab. Diawali oleh Sultan Abdul Jalil Saifudin, putra sayid Osman Ali Ba’alawi, yang menikahi cucu Raja Kecil. Kemudian Sultan Abdul Jalil Khaliluddin dan Sultan Abdul Jalil Jalaluddin. Seperti halnya di Kesultanan Aceh Darussalam, di Siak-pun ketika keturunan Arab yang memimpin, kesultanan memasuki fase kemunduran. Banyak perjanjian-perjanjian yang ditandatangani malah merugikan kedaulatan negara. Seperti perjanjian dengan Inggris (1818) dan Belanda (1822) yang melepas beberapa wilayah Siak untuk dijadikan sebagai koloni dagang mereka.

Sultan Lingga, Soelaiman Badroe Alamsjah (1867), raja boneka rekaan Belanda

Sultan Lingga, Soelaiman Badroe Alamsjah (1867), raja boneka rekaan Belanda

Reputasi Kesultanan Siak yang pada masa jayanya pernah menguasai wilayah Semenanjung Malaya hingga Kalimantan Barat, harus berakhir dengan cara yang tak mengenakkan. Berdasarkan Traktat London — perjanjian yang ditandatangani antara Belanda dan Inggris pada tahun 1824, banyak wilayah Siak yang jatuh ke tangan kolonialis Eropa. Ex. Kesultanan Johor diambil alih oleh Inggris dan kedudukan rajanya kembali dipulihkan. Sedangkan Belanda mendirikan Kesultanan Lingga, dan mendudukkan raja muda di Pulau Penyengat sebagai raja boneka. Di saat yang sama, Belanda juga membentuk residensi Riau di sebelah barat Siak, dan memasukkan wilayah itu ke dalam imperium Hindia-Belanda. Dalam traktat itu juga disepakati bahwa wilayah Belanda di Malaka akan diserahkan kepada Inggris, dan wilayah Inggris di Bengkulu akan menjadi milik Belanda. Dengan terbitnya keputusan London, maka kedudukan Siak semakin tenggelam. Pada tahun 1824, wilayah kekuasaannya hanya terbatas di kawasan Deli, Serdang, Langkat, Asahan, dan Indragiri. 39 tahun kemudian, semua wilayah itu lenyap dan menjadi bagian kolonial Hindia-Belanda. Sejak saat itu berakhirlah kekuasaan orang-orang “Melayu” di Selat Malaka. Perairan yang mengontrol sepertiga perdagangan dunia itu, harus jatuh ke dalam pangkuan orang-orang Eropa. Dan sampai saat inipun, kita orang-orang “Melayu” belum sepenuhnya memperoleh kedaulatan atas perairan yang pernah membawa bangsa kita ke puncak kejayaan.

 
sumber gambar : http://www.skyscrapercity.com
 
Lihat pula :
 
Ternate dan Tidore, Dua Liliput Berebut Kuasa

Iklan
Komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s