Sadarkah Anda, bahwa uang yang ada di saku Anda sekarang ini, atau di rekening Anda, sebenarnya hanyalah imajinasi yang didasari dari suatu kesepakatan bersama. Maksudnya? Ya, uang yang Anda kumpulkan setiap hari itu, dari pagi hingga malam, hanya punya arti jika sekelompok masyarakat mau mengakui (nilai)-nya. Itulah mengapa, jika Anda punya segepok uang rupiah di kantong, dan Anda belanjakan di Hongkong ataupun London, tak kan punya artinya. Kenapa? Karena masyarakat di kota itu tak mengakuinya. Rupiah bukan merupakan mata uang yang disepakati bisa menjadi alat tukar atau transaksi disana. Lalu mengapa jika Anda memiliki segepok dollar Amerika dan membelanjakannya di kota-kota itu, mereka mau menerimanya? Karena mereka mengakui dollar bisa sebagai alat transaksi disana. Apa sebab dollar diakui, sedangkan rupiah tidak? Nah, dalam ulasan kali ini, kita akan membahas mengenai sejarah uang. Dari bermulanya sistem barter hingga berkembangnya cripto currency.
* * *
Sejarawan tak pernah tahu kapan mulanya uang berkembang sebagai alat tukar dalam transaksi. Yang pasti sejak manusia sudah tak bisa lagi mengandalkan sistem barter dalam bertransaksi. Seperti yang kita pelajari di sekolah dulu, masyarakat pra-modern memenuhi kebutuhannya dengan melakukan pertukaran barang. Jadi misalnya, jika seorang petani memanen padi dan peternak menghasilkan sapi, maka jika petani membutuhkan sapi, maka dia akan menukarkannya dengan padi yang dimilikinya. Begitu pula jika seorang pekebun yang memiliki anggur, jika dia membutuhkan pisau, maka dia harus menukarkan anggurnya dengan pisau kepada seorang pandai besi. Pada mulanya, sistem ini dapat diterima oleh semua orang. Namun dalam perjalanannya, timbul suatu permasalahan yang harus segera dipecahkan. Yakni ketika seorang petani menghendaki anggur, namun si empunya kebun sedang tak membutuhkan padi. Atau ketika peternak sapi ingin membutuhkan padi, namun di sisi lain si petani sedang tak membutuhkan sapi. Lalu bagaimana menyelesaikan kerumitan seperti ini. Karena tak semua orang membutuhkan suatu barang dalam waktu yang bersamaan.
Bukan itu saja. Kerumitan juga terjadi ketika mereka menentukan nilai barang yang hendak ditukarkan. Bagaimana caranya menilai jumlah anggur yang diberikan oleh pekebun ketika dia membutuhkan sebuah pisau. Atau berapa karung padi yang akan diserahkan seorang petani ketika ia membutuhkan seekor sapi. Tak sampai disitu. Kesulitan juga muncul ketika pemilik barang harus menggondol barangnya kemana-mana hanya untuk mendapatkan produk yang ia inginkan. Bayangkan, ketika seorang petani kaya yang hidup di suatu negeri tanpa uang dan dia ingin mengadakan pesta dengan menyembelih sapi. Betapa rumitnya ia harus membawa berton-ton padi ke sebuah peternakan yang berjarak 50 km dari rumahnya. Kerumitan-kerumitan inilah yang kemudian mendorong manusia untuk menyepakati sebuah barang yang digunakan dalam suatu transaksi. Dan sejak itulah sistem uang mulai diperkenalkan.
Pada mulanya barang yang digunakan sebagai alat tukar universal adalah cangkang bilalu. Cangkang telah digunakan sebagai uang selama 4.000 tahun di berbagai penjuru dunia. Bahkan hingga awal abad ke-20, pajak masih bisa dibayarkan dengan cangkang bilalu di Uganda. Seiring berjalannya waktu, cangkang tak lagi digunakan orang. Mungkin karena fisiknya yang kurang menarik, atau gampang pecah. Terobosan nyata dalam sejarah moneter adalah ketika manusia mulai mempercayai uang yang tak memiliki nilai bawaan (interinsik), namun lebih mudah disimpan dan diangkut. Uang semacam itu muncul di Mesopotamia pada pertengahan milenium ke-3 SM. Uang tersebut adalah syikal perak.
Syikal perak bukanlah uang logam, melainkan suatu satuan yang setara dengan 8,33 gram perak. Digunakannya syikal perak sebagai satuan alat tukar, ketika Undang-undang Hammurabi memaklumatkan bahwa seorang laki-laki kelas atas yang membunuh seorang budak perempuan harus membayar sang pemilik 20 syikal perak. Itu artinya ia membayar 166 gram perak, bukan 20 koin logam. Begitu pula ketika saudara-saudara Nabi Yusuf menjualnya kepada orang-orang Mesir. Ia hanya dihargai 20 syikal perak. Kalau kita baca kitab Perjanjian Lama, banyak istilah moneter jaman dahulu yang menggunakan takaran perak — bukan uang logam. Artinya, sekitar 2.600 tahun lalu, manusia belum mengenal dan memegang uang logam.
Setelah ditetapkannya berat perak dan emas sebagai satuan alat tukar, baru manusia diperkenalkan dengan uang logam. Uang logam pertama dalam sejarah, ditempa pada sekitar tahun 640 SM oleh Raja Alyattes di Lidia, Anatolia. Koin-koin ini mengandung emas atau perak dengan berat standar, dan dicetak dengan tanda pengenal. Tanda pengenal menyatakan dua hal. Pertama, tanda itu menunjukkan seberapa banyak logam berharga yang terkandung pada koin. Kedua, tanda tersebut menunjukkan pihak berwenang yang menerbitkan koin tersebut dan yang menjamin kandungannya. Karena ada pihak yang menjamin inilah, maka koin yang tak memiliki nilai interinsik itu bisa dipercaya sebagai alat tukar.
Dalam perjalanan sejarah uang, pihak yang menjamin koin itu biasanya adalah seorang raja atau kepala negara. Sehingga jika ada seseorang yang mencoba untuk memalsukan uang, maka ia akan berurusan dengan raja. Oleh karenanya, pada uang koin kuno sering tertera kalimat yang menyeramkan sekaligus meyakinkan : “Aku, Raja Kekaisaran X, menjanjikan secara pribadi bahwa cakram logam ini mengandung 5 gram emas. Bila ada yang berani memalsukan koin ini, itu berarti dia memalsukan tanda tangan ku sendiri, yang berarti mencemari reputasi ku. Aku akan jatuhi hukuman paling berat untuk kejahatan semacam itu.” Itulah mengapa hingga saat ini memalsukan uang dianggap sebagai kejahatan berat, jauh lebih serius dari kejahatan penipuan lainnya. Sebab ia telah memanipulasi masyarakat, melanggar kedaulatan dan hak istimewa sang raja. Istilah hukumnya adalah lase-majeste (melanggar kemuliaan), dan biasanya dihukum dengan siksaan atau kematian.
Tak hanya sebagai alat tukar, uang juga bisa mempertahankan kekuasaan sang raja. Di kekaisaran Romawi, orang dengan senang hati bisa berjual-beli dengan menggunakan koin denarius yang dijamin oleh kaisar Marcus Aurelius. Dengan banyaknya orang yang berjual-beli disana, maka kekaisaran bisa menarik pajak yang kemudian digunakan untuk membayar gaji para legiun yang mempertahankan imperium. Anda bisa bayangkan, bagaimana sulitnya mempertahankan kekaisaran jika tak ada uang logam. Mustahil petugas pajak Romawi akan mengangkut berkarung-karung gandum dari kawasan Bulan Sabit Subur sebagai pembayar pajak dari masyarakat disana. Kemudian mengangkatnya lagi ke Britania untuk menggaji tentara yang sedang berjaga disana. Akan sama sulitnya mempertahankan kekaisaran seandainya hanya penduduk Roma yang mempercayai koin denarius, sementara orang-orang Parthia, Yunani, Mesir, dan Suriah – yang merupakan negeri-negeri taklukan — menolak kepercayaan itu.
Kepercayaan akan koin-koin Romawi sangat kuat hingga di luar batas-batas kekaisaran. Orang-orang di luar imperium Romawi, senang-senang saja menerima pembayaran dengan koin denarius. Pada abad pertama masehi, koin denarius diterima sebagai alat tukar di pasar-pasar India. Orang-orang India sedemikian mempercayai denarius dan citra sang kaisar. Sehingga ketika para penguasa disana mencetak koin mereka sendiri, mereka meniru denarius mentah-mentah. Nama “denarius” kemudian menjadi nama generik untuk koin. Para khalifah muslim lalu mengarabisasi nama denarius menjadi dinar, dan hingga saat ini menjadi nama mata uang di negara Serbia, Irak, Yordania, Libya, Aljazair, dan beberapa negara lainnya.
Sewaktu koin model Lidia menyebar dari Laut Tengah ke Samudera Hindia, China mengembangkan sistem moneter yang agak berbeda. Mereka mengembangkan sistem koin tembaga serta batang perak dan emas tak bertanda. Namun kedua sistem itu memiliki kesamaan, karena berpatokan kepada nilai emas dan perak. Oleh karena itu, meski memiliki sistem moneter yang berbeda, hubungan perniagaan antara kawasan Laut Tengah dengan Tiongkok bisa terjalin dengan akrab. Seiring dengan penaklukan kaum muslim dan invasi Eropa ke seluruh dunia, sistem moneter Lidia dan kaidah emas-pun akhirnya digunakan oleh hampir semua masyarakat global. Pada era modern, seluruh dunia akhirnya menggunakan satu zona moneter tunggal. Yang semula bersandar pada nilai emas-perak, lalu sejak abad ke-19 berlandaskan kepada beberapa mata uang terpercaya, seperti poundsterling dan dollar Amerika.
Meski orang-orang terus berbicara dalam bahasa yang berbeda, menyembah tuhan yang berlainan, serta patuh pada rajanya masing-masing, namun semuanya kompak mempercayai koin emas dan perak sebagai alat tukar. Tanpa kepercayaan bersama itu, mustahil jejaring perdagangan global bisa terjalin dengan baik. Emas dan perak yang ditemukan oleh para conquistador Spanyol-Portugal di Amerika, telah memungkinkan mereka untuk membeli sutra India atau porselen China atau rempah-rempah dari Kepulauan Indonesia. Sehingga hal ini menggerakkan ekonomi di Eropa sekaligus juga di Asia. Bayangkan jika orang-orang di China tak menganggap emas sebagai barang berharga. Ataupun masyarakat Indonesia enggan menerima koin perak sebagai alat pembayaran. Gak bakal ada yang namanya perdagangan global.
Begitu pula fakta bahwa kini masyarakat global mempercayai dollar sebagai alat tukar internasional. Dikarenakan mata uang itu diakui oleh banyak negara dan dipegang oleh bank-bank sentral di seluruh dunia. Kini ketika sebagian orang hendak menggugat dominasi dollar Amerika. Misalnya ingin kembali ke dinar-dirham. Atau pemerintah China yang sedang giat-giatnya menggalakkan penggunaan renminbi. Hal ini tentu sah-sah saja. Karena sekali lagi, mata uang itu hanyalah imajinasi dan merupakan kesepakatan bersama. Sepanjang ia masih disepakati, maka ia akan terus dipakai dan digunakan oleh banyak orang. Tapi gak ujug-ujug juga misalnya dollar Amerika bisa tergantikan begitu saja. Karena yang menjadikan dollar masih dipakai hingga saat ini, karena sebagian besar masyarakat global masih mempercayai pemerintahan demokrasi Amerika yang bisa menjamin keberlangsungan nilainya. Coba kalau Amerika rusuh, dan masyarakat disana sudah tak berdagang lagi. Maka dollar-pun tak akan dipakai oleh banyak orang. Jadi kepercayaan orang dengan dollar sekarang ini, mirip seperti kepercayaan orang jaman dulu terhadap koin denarius.
Bisakah Renminbi Menggantikan Dollar Amerika?
Jika kita melihat peta perdagangan global di tahun 2018 lalu, maka akan terlihat bahwa mayoritas negara di dunia menjadikan China sebagai partner utama mereka. Tak hanya itu, China juga memiliki surplus perdagangan dengan banyak negara, termasuk dengan Amerika. Itulah mengapa Donald Trump ngotot untuk memblokade barang-barang dari China yang hendak masuk ke pasar Amerika. Sebab nilai impor dari China sudah kelewat tinggi (Lihat pula : Dibalik Perang Dagang Amerika Serikat vs China). Jika kita melihat peta di bawah ini, maka akan nampak begitu digdayanya China dalam perdagangan global. Tapi mengapa renminbi belum bisa menjadi mata uang global, seperti halnya poundsterling di abad ke-19 ataupun dollar Amerika pada hari ini. Jawabannya, karena kepercayaan masyarakat global terhadap pemerintah China. Di sebagian besar masyarakat dunia – terutama di Barat, China masih dipersepsikan sebagai negara otoriter. Mereka juga dianggap belum memiliki tata kelola pemerintahan yang baik, yang bisa menjamin kestabilan mata uang renminbi. Itulah mengapa ketika China ngotot untuk memaksakan renminbi sebagai pembayaran dalam bertransaksi, banyak negara yang tegas menolaknya. Mereka lebih memilih batal bertransaksi, tenimbang harus memegang mata uang yang nilainya selalu dimanipulasi.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Bank For International Settlements, diperoleh bahwa selama bulan April 2019, renminbi hanya digunakan dalam 4,3% dari 200% pembayaran transaksi global. Bandingkan dengan dollar Amerika yang mencapai 88,3% atau euro yang sebesar 32,3%. Bahkan dengan dollar Kanada atau franc Swiss-pun, renminbi masih berada di bawah. Rendahnya minat masyarakat dunia yang mau memegang renminbi sebagai cadangan devisa, disebabkan oleh struktur keuangan China yang tertutup dan korup. Indeks Persepsi Korupsi China di tahun 2020, masih berada di peringkat ke-78 dunia. Jauh di bawah Inggris (11), Jepang (19), serta Amerika Serikat (25).
Jika renminbi benar-benar ingin menjadi mata uang global, maka ia harus dipersepsikan sebagai mata uang yang aman (safe haven currency) oleh para investor. Mata uang save haven biasanya digunakan oleh para pemilik modal untuk melindungi aset mereka ketika terjadi gejolak atau krisis. Misalnya pada krisis moneter 1998 lalu, banyak investor yang melepas rupiah, ringgit, serta baht dan menukarnya ke dollar Amerika. Mereka menukarnya ke mata uang Amerika karena ketiga mata uang tersebut tak lagi dianggap aman. Dan dollar Amerika yang dipilih, karena mata uang tersebut dipersepsikan sebagai mata uang safe haven. Ketika terjadi krisis, investor lebih memilih untuk menahan atau menarik investasinya dan mengkonversinya ke dalam mata uang safe haven. Meski The Fed hanya memberi bunga yang sangat kecil, namun harga dollar yang stabil lebih menenangkan para investor.
Sejarah telah menunjukkan bahwa mata uang yang berhasil mencapai status ini adalah mata uang negara yang memiliki kerangka kelembagaan yang sehat. Dimana negara tersebut memiliki peradilan yang independen, pemerintahan yang transparan dengan sistem check and balance yang terlembaga, serta bank sentral yang kredibel. Elemen-elemen ini secara tradisional dipandang penting untuk mendapatkan kepercayaan investor serta dari bank sentral dan pengelola kekayaan negara. Sementara itu pemerintahan China saat ini, malah menolak melakukan reformasi politik, hukum, dan kelembagaan.
Renminbi memiliki potensi untuk menjadi mata uang cadangan yang signifikan dikarenakan meningkatnya volume perdagangan China. Namun ia tak mungkin mencapai status safe haven currency tanpa adanya reformasi jangka panjang terhadap struktur kelembagaan dan politik di China. Di bawah rezim sekarang, nampaknya prospek perubahan tersebut malah semakin redup. Kalau IMF memperkirakan bahwa di tahun 2050 nanti China akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar, saya masih belum yakin kalau di tahun tersebut renminbi bisa menggantikan dollar Amerika sebagai mata uang utama dunia.

Masa Depan Bitkoin
Kalau renminbi masih beroleh jaminan dari sebuah pemerintahan, maka tidak dengan bitkoin. Mata uang kripto (cripto currency) yang satu ini dibuat oleh sekelompok anak muda yang menolak untuk tunduk pada sistem moneter negara manapun. Nampaknya mereka bagian dari kelompok anti-kemapanan yang hendak menggeser hegemoni dollar atau euro, yang saat ini menjadi alat tukar utama dunia. Meski oleh mereka yang optimis bitkoin digadang-gadang akan menjadi mata uang masa depan, namun sampai saat ini otoritas bank sentral dan lembaga pengawas keuangan di beberapa negara masih mewaspadainya. Mereka curiga bitkoin akan dipergunakan untuk tindak kriminal seperti pencucian uang atau pemerasan. Ini seperti yang terjadi di beberapa kasus peretasan sistem, dimana para hacker meminta tebusan kepada para korbannya dalam bentuk bitkoin. Tak adanya obyek yang menjadi dasar transaksi (underlying) serta lembaga yang menjaminnya, menyebabkan belum tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang kripto.
Lahirnya bitkoin lagi-lagi membuktikan bahwa dengan imajinasi bersama, manusia bisa menciptakan sebuah alat tukar. Ini lebih gila lagi dibandingkan cangkang bilalu atau emas di abad-abad sebelumnya. Jika emas bisa dibuat sebagai perhiasan, dan orang yang mengenakannya akan beroleh status yang tinggi. Maka apa relevansinya dengan bitkoin. Komoditi yang satu ini tak memiliki bentuk alias virtual. Apakah jika seseorang memiliki bitkoin yang banyak, maka statusnya akan naik? Ya, ini kembali lagi kepada hakikat mata uang itu sendiri, yang mana hanya berupa kesepakatan bersama. Sejarahlah yang akan membuktikan, apakah mata uang kripto akan dipandang sebagai aset yang berharga. Sehingga pada gilirannya — seperti cangkang dan emas – bisa menjadi alat tukar global.