Mungkin Anda tak pernah tahu, kalau Bandung pernah dipersiapkan untuk menjadi ibu kota Hindia-Belanda. Jika Anda berjalan-jalan di Jalan Asia-Afrika, Jalan Diponegoro, hingga Jalan Pasteur, maka Anda akan menjumpai bangunan-bangunan besar berarsitekturkan kolonial. Ya, gedung-gedung itu dulunya adalah kantor pemerintahan Hindia-Belanda. Di awal abad ke-20, pemerintah kolonial melihat bahwa Batavia tak lagi cocok untuk menjadi pusat pemerintahan. Selain karena sudah padat, kota itu juga dinilai terlampau panas untuk ukuran orang-orang Eropa. Pada tahun 1916, seorang ahli kesehatan lingkungan Hendrik Freerk Tillema, menulis laporan tentang buruknya kondisi kesehatan kota-kota di pesisir utara Pulau Jawa — termasuk Batavia. Dia kemudian mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Johan van Limburg Stirum (1916-1921) untuk memindahkan ibu kota ke daerah yang lebih baik.
Berbeda dengan pemilihan calon ibu kota sekarang yang disinyalir sarat kepentingan, diputuskannya Parijs van Java sebagai ibu kota baru telah melalui pertimbangan yang masak. Sebagaimana diketahui, kota ini memiliki hawa yang sejuk. Letaknya di ketinggian 730 meter di atas permukaan laut, tentu memberikan suasana yang nyaman dan sehat bagi penduduknya. Dari segi topografi, Bandung juga dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan, serta jauh dari lautan. Sehingga secara militer hal ini sangatlah menguntungkan. Pengalaman Belanda di awal abad ke-19 ketika diserang Inggris, tentu juga menjadi pertimbangan mereka untuk memindahkan pusat pemerintahan dan militer ke pedalaman.
Untuk menyikapi hal tersebut, maka sejak tahun 1916 pemerintah kolonial-pun mulai membangun gedung-gedung pemerintahan di kota ini. Markas Kodam Siliwangi di Jalan Aceh, merupakan salah satu bangunan yang pertama kali dibangun. Kompleks ini dulunya menjadi kantor Departemen Peperangan (Departement van Oorlog). Gedung Sate, yang rencananya akan menjadi istana gubernur jenderal, sempat menjadi kantor Departemen Transportasi, Pekerjaan Umum, dan Manajemen Air. Gedung yang dirancang oleh Ir. J. Gerber, Eh. De Roo, dan G. Hendriks itu, dibangun pada tahun 1920 dan selesai empat tahun kemudian. Tak cuma membangun gedung, di bagian depannya mereka juga merancang lapangan seluas 6.000 m². Lapangan yang dulu bernama Wilhelmina Plein itu, kini dikenal dengan nama Lapangan Gasibu (Gabungan Sepak Bola Indonesia Bandung Utara).
Di tepi Sungai Cikapundung, berdiri kantor Jawatan Kereta Api dan Trem Negara. Menempati lahan bekas Villa Maria, kantor ini menjadi salah satu bangunan kolonial yang anggun. Pada tahun 1926, pemerintah kolonial juga membangun gedung baru untuk Institut Pasteur di Pasteurweg (kini Jalan Pasteur). Tak semua departemen atau jawatan yang pindah menempati gedung baru. Adapula lembaga yang bergabung dengan instansi lainnya. Seperti Lembaga Penelitian Cacar yang digabung dengan Institut Pasteur. Selain institusi tersebut, beberapa instansi yang juga ikut pindah ke Bandung antara lain Kantor Keuangan, Jawatan Meteorologi, serta Jawatan Geologi. Sedangkan Departemen Perdagangan yang berkantor di Bogor, baru sebagian yang pindah kesini.
Tak hanya pusat pemerintahan, kantor swasta-pun juga banyak yang direlokasi ke kota ini. Sebagian berlokasi di Bragaweg (kini Jalan Braga) dan Groote Postweg (kini Jalan Asia Afrika). Oliefabrieken Insulinde tercatat sebagai perusahaan swasta pertama yang memindahkan kantor pusatnya ke Bandung. Lalu kemudian ada perusahaan pembuat lokomotif asal Amerika, Baldwin Locomotive Works, serta perusahaan Jerman : Siemens Schuckert Werke, Siemens en Halske, dan Rhein Elbe Union. Selain sebagai sentra bisnis, Braga juga menjadi tempat nongkrong para muda-mudi. Kafe-kafe serta rumah makan yang menyajikan fine dining, banyak yang berlokasi disini. Salah satu resto yang cukup terkenal adalah Maison Bogerijen. Kafe yang kini bernama Braga Permai itu, sudah ada sejak tahun 1923. Tak jauh dari situ, berdiri pula beberapa hotel besar kenamaan. Diantaranya Hotel Homann milik keluarga Jerman, Hotel Van Hengel milik warga Italia, dan Hotel Pension Van Rhijn milik orang Belanda. Hotel Preanger yang terletak di Groote Postweg juga merupakan salah satu hotel tertua yang sudah ada sejak tahun 1897. Karena Bandung semakin ramai, hotel inipun direnovasi besar-besaran tahun 1929. Konon Ir. Soekarno ikut merancang bangunan baru hotel tersebut bersama gurunya C.P.W. Schoemaker.
Untuk mendukung aktivitas ibu kota baru, maka di tahun 1920 pemerintah kolonial membangun Rumah Sakit Umum Bandung (sempat berganti nama menjadi Het Gemeente Ziekenhuijs Juliana). Rumah sakit yang kini dikenal dengan nama Rumah Sakit Hasan Sadikin itu, semula hanya terdiri dari 300 tempat tidur. Baru di tahun 1956, kapasitasnya ditingkatkan menjadi 600 tempat tidur. Pada tahun 1926, di atas reruntuhan Pasar Ciguriang, dibangun pula apa yang kini dikenal dengan Pasar Baru. Sebelumnya, aktivitas perdagangan dilakukan di beberapa zona perdagangan. Yang paling besar memang disekitar Pasar Baru sekarang. Tempat dimana para saudagar seperti Dulatip, Ence Aziz, Durman, dan Tamim berjualan. Kala itu mereka hanya berdagang di kios-kios semi permanen. Kemudian pemerintah merenovasi pasar ini besar-besaran dan menggantinya dengan pertokoan permanen yang teratur. Tahun 1935 Pasar Baru sempat dinobatkan sebagai pasar terbersih dan paling rapi se-Hindia Belanda.
Pada dekade 1930-an, Eropa mengalami depresi hebat. Proyek pemindahan ibu kota baru-pun terpaksa dihentikan. Saat itu, masih banyak departemen dan institusi yang belum dipindah kesini. Diantaranya Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan dan Pengajaran, Bank Sentral, serta Dewan Rakyat (Volksraad). Setelah depresi mereda, proyek ini sempat hendak diteruskan. Namun karena Perang Dunia Kedua berkecamuk, rencana itupun hanya tinggal rencana. Di tahun 1940, Jerman berhasil menguasai sebagian besar daratan Eropa. Termasuk diantaranya negeri Belanda. Gubernur Jenderal kala itu, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, sempat berkeinginan untuk mengungsikan Ratu Wilhelmina ke Bandung. Namun karena tak mau jauh dari motherland, ratu-pun memilih tetap berada di Inggris. Pada bulan Maret 1942, Bandung jatuh ke tangan Jepang. Akibatnya banyak orang-orang Belanda yang mengungsi ke luar kota. Tak sedikit diantara mereka yang kemudian ditangkap, dan menjadi interniran Dai Nippon.
* * *
Meski pemindahan ibu kota urung dilanjutkan, namun Bandung sudah terlanjur ramai. Puluhuan ribu perantau dari berbagai daerah datang mengadu nasib ke kota ini. Selain orang Sunda yang merupakan masyarakat asli Jawa Barat, disini banyak pula bermukim orang Jawa. Berdasarkan hasil volkstelling 1930, ada sekitar 16,45% suku Jawa yang bermukim di kota ini. Disusul oleh orang Eropa (11,78%), Tionghoa (9,98%), Betawi (1,33%), Maluku (0,7%), Minahasa (0,67%), Melayu (0,41%), Minangkabau (0,38%), dan Palembang (0,22%). Dari sensus tersebut terlihat bahwa banyak sekali orang Eropa yang tinggal disini. Bahkan secara persentase, jumlah orang Eropa di Bandung lebih besar dibanding dengan di Batavia dan Surabaya. Berbeda dengan kelompok etnis lainnya, orang-orang Eropa tinggal di kawasan yang nyaman. Mereka banyak membangun rumah-rumah mewah di sepanjang Dagoweg (kini Jalan Ir. H. Juanda), Riauweg (kini Jalan R.E. Martadinata), Nylandweg (kini Jalan Cipaganti), dan Lembangweg (kini Jalan Setiabudi dan Jalan Cihampelas). Salah satu rumah peninggalan elit Belanda yang tersisa adalah Villa Isola. Bangunan yang terletak di Lembangweg itu, kini menjadi gedung rektorat Universitas Pendidikan Indonesia. Selain itu, ada pula beberapa hotel dan perusahaan yang masih merawat rumah-rumah bergaya Indis tersebut. Diantaranya Hotel Geulis dan Kantor BCA di Jalan Ir. H. Juanda, serta Hotel Grand Tebu dan outlet Heritage di Jalan R.E. Martadinata.
Ditetapkannya Bandung Utara sebagai tempat pemukiman orang Eropa — dan juga bangsawan pribumi, merupakan buah karya dari Thomas Karsten. Dia adalah arsitek kesohor kala itu yang banyak merancang kota-kota di Nusantara. Kalau kita berjalan dari Alun-Alun, nampak sekali perbedaan antara kawasan Bandung Selatan dan Bandung Utara. Setelah melewati rel kereta terus ke arah utara, terlihat Bandung yang begitu tertata. Di sekitar Jalan Merdeka, Jalan Aceh, Jalan Sumatera, dan Jalan R.E. Martadinata, banyak sekali pohon rindang dengan trotoar besar. Tak sedikit taman-taman luas di tepi jalannya. Di Jalan Dr. Abdul Rivai, Jalan Dr. Rajiman, dan Jalan Dr. Otten, kita juga bisa menjumpai taman-taman sudut yang cantik. Begitupula di Jalan Cilaki, Jalan Citarum, dan Jalan Ciliwung, sebelah selatan Gedung Sate. Senang rasanya berjalan kaki di sekitar sini, sambil membayangkan bagaimana asrinya dulu kawasan yang disebut sebagai Europeesche zakenwijk itu.
* * *
Dilekatkannya julukan “kota kembang” ke kota ini, tentu merujuk kepada kawasan Bandung Utara yang hijau. Namun jika kita melihat keadaan sekarang, maka seluruh jalan utama yang dulunya tempat rumah-rumah indah itu berada, telah bersalin rupa menjadi sentra komersial. Factory outlet, kafe, apartemen, dan hotel, sudah memenuhi kiri-kanan jalan dari arah Lembang/Dago Atas ke pusat kota. Peralihan fungsi semacam ini berlangsung cukup massif sejak awal dekade 2000-an. Tak adanya regulasi yang jelas tentang pendirian tempat usaha, mengakibatkan terjadinya kemacetan di beberapa ruas jalan. Bayangkan saja, rumah-rumah yang lahannya hanya berkisar antara 1.000 m² – 2.000 m², banyak yang disulap menjadi hotel atau restoran. Dengan lahan sebesar itu, tentu sulit untuk membangun tempat parkir yang representatif. Akibatnya banyak pengunjung yang parkir di badan jalan.
Bukan cuma keterbatasan parkir yang menyebabkan Bandung semakin macet. Tak adanya jaringan transportasi massal, juga menjadi pangkal balanya. Untuk kawasan urban dengan penduduk 3 juta jiwa, aneh rasanya jika hingga hari ini belum memiliki transportasi massal yang terintegrasi. Saya justru melihatnya Bandung kini mengalami kemunduran. 20 tahun lalu kita masih melihat bus-bus Damri yang wara-wiri di kota ini. Mengangkut ribuan penumpang dari delapan penjuru kota. Sekarang memang sudah tersedia Trans Metro Bandung, tapi apakah armadanya cukup? Berbeda dengan jaringan TransJakarta yang kompleks, layanan Trans Metro Bandung boleh dibilang jauh dari layak. Bukan karena busnya yang butut, tetapi lebih kepada jumlah armada serta linnya yang sedikit. Sehingga masyarakat enggan untuk menggunakannya. Kalau saja dalam lima tahun ke depan Pemkot Bandung tak serius menyediakan sarana transportasi massal, maka jangan harap Bandung akan nyaman untuk ditinggali. Dan julukan kota kembang-pun, bisa berganti menjadi kota macet.