Perang Barbary dan Perdagangan Budak Eropa

Posted: 19 April 2022 in Sejarah
Tag:, , ,

Jika selama ini Anda mengira bahwa perbudakan hanya dilakukan oleh bangsa Eropa terhadap orang-orang Afrika atau Asia, namun tidak sebaliknya, maka anggapan Anda tersebut keliru. Dalam catatan sejarah, sebenarnya banyak pula orang-orang Eropa yang menjadi korban perbudakan. Baik yang dilakukan oleh sesama orang Eropa, maupun dari bangsa Asia atau Afrika. Nah dalam artikel kali ini, saya akan mengajak Anda untuk melihat kisah mengenai perbudakan dan perdagangan budak di benua biru. Seperti halnya perbudakan yang terjadi di benua lain, perbudakan terhadap bangsa Eropa juga tak mengenal kasih. Mereka banyak yang dieksploitasi untuk pembukaan lahan, menjadi serdadu, atau sekedar sebagai wanita penghibur. Bagi budak-budak yang beruntung, banyak diantara mereka yang kemudian menjadi panglima atau selir sultan. Tak ada catatan pasti sejak kapan perbudakan dan perdagangan budak berlangsung di Eropa. Namun yang jelas praktik ini telah terjadi sejak zaman Romawi dan makin meluas setelah invasi kaum barbar yang meruntuhkan Imperium Romawi Barat.

Pasca runtuhnya Romawi Barat, Eropa Timur menjadi ajang perebutan bangsa-bangsa lain. Dari empat penjuru mata angin, mereka masuk ke Eropa Timur dan menaklukkan orang-orang Slavia. Diantara bangsa-bangsa yang melakukan invasi tersebut adalah Bangsa Rus yang berasal dari Eropa Utara. Mereka menginvasi kawasan sekitar Sungai Volkhov, Prut, dan Dnieper yang sekarang menjadi bagian dari Rusia dan Ukraina. Lalu ada Bangsa Frank yang datang dari arah barat (Jerman). Bangsa ini kemudian menguasai kawasan yang sekarang menjadi bagian dari Austria dan Slovenia. Bangsa Bulgar yang datang dari seputaran Sungai Volga, menduduki Eropa Timur dan membentuk negara Bulgaria. Serta Bangsa Avar yang termasuk ke dalam rumpun Mongol, menyerang kawasan Hungaria dan Romania saat ini. Nah, orang-orang Slavia yang tertaklukkan itu, banyak yang kemudian menjadi budak. Mereka ditawan lalu dijual kepada orang-orang muslim di Iberia, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Hal ini terus berlangsung hingga awal abad modern, dimana data kepabeanan Istanbul mencatat bahwa antara tahun 1450 hingga 1700 terdapat sekitar 2,5 juta budak yang diimpor dari Rusia, Ukraina, serta Polandia. Saking banyaknya budak yang berasal dari Slavia, nama bangsa tersebut kemudian digunakan sebagai kosa kata generik untuk merujuk kata budak (slave).

Meski budak-budak Eropa sebagian besar datang dari Eropa Timur, namun tak sedikit pula yang berasal dari Mediterania serta negara-negara Eropa Barat. Setidaknya ini tercatat dalam buku “Christian Slaves, Muslim Masters: White Slavery in the Mediterranean, the Barbary Coast and Italy, 1500–1800” karya Robert Davis. Davis adalah seorang profesor sejarah dari Universitas Ohio, Amerika Serikat, yang rajin mengulik tentang perbudakan bangsa Eropa. Dalam buku tersebut, ia mengisahkan tentang para pedagang budak dari Pantai Barbary (Tunis, Aljir, dan Tripoli) yang telah menangkap sekitar 1 juta hingga 1,25 juta orang Eropa. Tak hanya menangkap orang-orang di tepi laut Italia, Prancis, Spanyol, dan Portugal, para pedagang budak ini juga menyerang kota-kota di Belanda, Inggris, Irlandia, hingga ke Islandia. Hal ini berlangsung selama 250 tahun, sejak tahun 1530 hingga tahun 1780. Perlu diketahui bahwa pada saat itu, Pantai Barbary berada di bawah otoritas Kesultanan Utsmani. Sehingga banyak orang Eropa yang diperbudak, kemudian dikirim ke wilayah-wilayah Utsmani lainnya.

Bajak Laut Barbary

Disamping menyerang kota-kota di daratan Eropa, para bajak laut ini juga merebut pulau-pulau lepas pantai. Pada tahun 1544, Hayreddin Barbarossa seorang laksamana angkatan laut Utsmani, menyerang Pulau Ischia. Dia mengambil 4.000 tahanan dan memperbudak sekitar 2.000–7.000 penduduk Lipari. Pada tahun 1551, bajak laut Utsmani : Dragut, juga memperbudak seluruh penduduk Pulau Gozo di Malta dan mengirim mereka ke Tripolitania. Dia mengepung Vieste dengan memenggal 5.000 penduduknya serta menculik 6.000 yang lain di tahun 1554. Sedangkan Kepulauan Balearic, baru diserbu pada tahun 1558, dimana 4.000 rakyatnya kemudian dijadikan budak. Pada tahun 1618, giliran bajak laut Aljazair menyerang Kepulauan Canary. Mereka mengambil sekitar 1.000 tawanan yang kemudian dijadikan budak. Atas penyerangan bajak laut Barbary tersebut, antara tahun 1609 hingga 1616, Inggris kehilangan 466 kapal dagangnya. Meski banyak pedagang budak dan bajak laut datang dari etnis Arab, Berber, serta Turki, namun ada pula diantara mereka yang berkebangsaan Belanda. Salah satunya adalah Jan Janszoon van Haarlem, seorang mualaf yang bergabung dengan tim bajak laut Utsmani : Sale Rovers. Dia memimpin serangan terhadap Islandia di tahun 1627 dan menjarah Baltimore pada tahun 1631. Dalam serangan ke Baltimore, ia menangkap 108 orang tawanan yang kemudian dijualnya di pasar budak Afrika Utara.

Pada pertengahan abad ke-18, wilayah Afrika Utara tak lagi tunduk kepada sultan-sultan Utsmani. Akibatnya banyak dari pemimpin suku disana yang kemudian membentuk negara-negara kecil. Meski tak lagi tunduk pada otoritas Utsmani, namun mereka masih melanjutkan tradisi lama, yakni dengan melegalkan aksi bajak laut dan perdagangan budak. Pada tahun 1785, dua founding fathers Amerika : Thomas Jefferson dan John Adams, bertemu dengan utusan Tripoli : Sidi Haji Abdrahman di London. Mereka meminta agar Tripoli menghentikan praktik bajak laut dan perdagangan budak yang mengambil orang-orang Eropa serta Amerika. Karena Amerika tak memiliki angkatan laut yang kuat, permintaan dua orang itupun hanya dianggap angin lalu. Untuk memberikan keamanan kepada kapal-kapal yang berlayar di Mediterania, Amerika-pun terpaksa membayar upeti kepada para penguasa Barbary. Pada tahun 1797, negara baru itu harus merogoh seperlima dari anggarannya — atau setara USD 1,25 juta — untuk membayar biaya perlindungan kepada para pemimpin Berber itu.

Perang Barbary

Karena merasa dirugikan, negara-negara Eropa dan Amerika-pun bekerjasama untuk melancarkan serangan. Pada bulan Maret 1801, Presiden Amerika : Thomas Jefferson mengirim sejumlah armada perang menuju Pantai Barbary. Dalam serangan tersebut, mereka membombardir banyak kota berbenteng di Libya, Tunisia, dan Aljazair. Meski belum sepenuhnya berhasil, namun serangan itu cukup mengurangi gangguan bajak laut Barbary terhadap kapal-kapal Amerika. Pada tahun 1812 terjadi pertikaian sengit antara Inggris dan Amerika. Untuk mengganggu pelayaran negeri Paman Sam, Inggris mendorong bajak laut Barbary untuk melanjutkan serangannya terhadap kapal-kapal Amerika. Namun setelah berakhirnya perang tersebut — dimana tercapai perdamaian antara Amerika dan Inggris — James Madison, penerus Jefferson, mengerahkan pasukan militer untuk melawan negara-negara Barbary. Dalam Perang Barbary Kedua di tahun 1815, negara-negara Afrika Utara mengalami kekalahan. Atas kekalahan itu, pemimpin Tunis, Tripoli, dan Aljir menyetujui untuk membebaskan budak Eropa dan menghentikan praktik perbudakan terhadap orang-orang Eropa. Sedangkan bagi Amerika, dengan kemenangan ini mereka tak perlu lagi membayar upeti kepada para penguasa Barbary dan memperoleh hak penuh untuk berlayar di Laut Tengah.

Perdagangan Budak di Afrika Utara

Setelah berakhirnya Perang Barbary, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat terus memperkuat angkatan lautnya. Mereka membangun kapal-kapal yang canggih, yang tak dapat ditandingi oleh para bajak laut Barbary. Kapal-kapal itu tak hanya unggul dari sisi teknologi, namun juga dari segi jumlah. Dengan memiliki angkatan laut yang kuat, telah memberikan jalan kepada negara-negara Eropa untuk menguasai bangsa-bangsa lain di dunia. Beberapa dekade pasca kekalahan itu, Afrika Utara-pun berada di bawah kekuasaan Eropa. Prancis berhasil menguasai Aljazair di tahun 1830 dan Tunisia di tahun 1881. Libya kembali ke dalam kendali langsung Utsmani pada tahun 1835, sebelum akhirnya jatuh ke tangan Italia setelah Perang Italia-Turki 1911. Meski Perang Barbary telah usai, namun praktik perbudakan masih tetap berlangsung. Afrika Utara masih menjadi pasar budak-budak Eropa meski jumlahnya sudah sangat sedikit. Perbudakan benar-benar menghilang setelah pendudukan langsung negara-negara Eropa di Afrika Utara, serta dikeluarkannya undang-undang yang memberikan emansipasi kepada budak di awal abad ke-20.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s