3 Alasan Miliuner Rusia dan China Hengkang Dari Negaranya

Posted: 28 Agustus 2022 in Sosial Budaya
Tag:,

Putin dan Abramovich

Pada bulan Juni lalu situs berita bisnis http://www.visualcapitalist.com kembali merilis grafik migrasi para miliuner dunia. Mengutip dari Henley Global Citizens Report, diperkirakan ada sekitar 15.000 miliuner Rusia dan 10.000 miliuner China yang meninggalkan negaranya di tahun 2022 ini. Yang menarik, Indonesia juga termasuk ke dalam 10 besar negara yang ditinggalkan oleh para miliunernya. Tercatat ada 600 miliuner yang meninggalkan Indonesia yang disinyalir pindah ke Singapura. Dengan perginya miliuner-miliuner ini, maka secara tak langsung negara yang ditinggalkan akan kehilangan potensi pendapatan yang bisa diperoleh. Dan yang mendapatkan untung tentu adalah negara-negara yang kedatangan para miliuner. Dari 10 besar negara tujuan miliuner, terlihat bahwa negara-negara Barat cukup mendominasi. Rinciannya : Australia akan menerima 3.500 miliuner, Amerika Serikat 1.500 miliuner, Portugal 1.300 miliuner, Yunani 1.200 miliuner, Kanada 1.000 miliuner, dan Selandia Baru 800 miliuner. Selain itu, negara-negara tax haven seperti Uni Emirat Arab dan Singapura juga kemasukan miliuner dalam jumlah besar. Masing-masing 4.000 dan 2.800 miliuner. Begitupula dengan Israel yang menerima sekitar 2.500 miliuner. Sebagai catatan, definisi miliuner disini adalah seseorang yang memiliki kekayaan bersih di atas USD 1 milyar (atau setara Rp 14,7 triliun).

Kalau kita melihat secara sekilas, negara-negara yang menjadi tujuan para miliuner adalah negara yang memberikan kemudahan berusaha. Berdasarkan data Indeks Kemudahan Berbisnis yang dirilis World Bank pada tahun 2020 lalu, terlihat bahwa tingkat kemudahan di negara-negara tersebut memang berada di level atas. Kecuali Yunani, semuanya masuk klasifikasi “sangat mudah”. Namun kalau kita sigi lebih dalam lagi, Rusia dan China sebenarnya juga masuk ke dalam kategori “sangat mudah”, bahkan peringkat mereka berada di atas Israel. Tetapi mengapa banyak miliuner yang kabur dari negara tersebut? Nah, dalam artikel kali ini kita akan membedah tiga hal yang menjadi alasan mereka lari dari negara asalnya.

Yang pertama tentu adalah ancaman dari negara Barat, terutama para anggota NATO. Terlebih sejak Perang Rusia-Ukraina pecah, banyak aset pengusaha Rusia yang dibekukan. Alasan negara-negara Barat membekukan aset mereka, karena diduga kuat ikut membiayai perang yang dilancarkan oleh Vladimir Putin. Roman Abramovich misalnya, pemilik klub Chelsea sekaligus pengusaha minyak terkemuka, diduga telah membiayai misi Putin dalam Perang Krimea dan Ukraina. Pengusaha Rusia lainnya : Oleg Deripaska, Igor Sechin, Alexey Miller, Andrey Kostin, Nikolai Tokarev, dan Dmitri Lebedev, tak luput dari sanksi Inggris. Mereka diduga juga ikut membekingi operasi militer Putin di Ukraina. Dari ketujuh pengusaha itu saja, Inggris telah membekukan aset senilai 15 miliar poundsterling. Dan kabarnya angka ini akan terus bertambah. Selain Inggris, Amerika-pun telah melakukan sanksi serupa. Bulan Juni lalu, pemerintah Biden telah membekukan aset Suleiman Abusaidovich Kerimov senilai 1 miliar dollar. Kerimov merupakan orang kepercayaan Putin sekaligus anggota parlemen Rusia. Dengan perginya 15.000 miliuner dari Rusia, artinya negeri beruang merah itu akan kehilangan 15% kekayaan bersih para konglomeratnya.

Seperti halnya para miliuner Rusia yang takut asetnya dibekukan, para konglomerat China-pun juga merasakan hal yang sama. Terlebih, sepertinya Amerika tak lagi mendukung “one China policy”. Ini terlihat dari kunjungan ketua DPR Amerika Nancy Pelosi baru-baru ini yang mendukung kedaulatan Taiwan. Kunjungan Pelosi itu juga bisa diartikan sebagai peringatan negeri Paman Sam agar China tak lagi mendukung Rusia dalam memerangi Ukraina. Seperti yang diketahui, dalam empat bulan terakhir China merupakan salah satu negara yang cukup aktif mendukung Rusia (Lihat : Siapa Menangguk Untung Dari Konflik Rusia-Ukraina?). Dengan adanya perang tersebut, orang-orang kaya di China khawatir akan ada efek domino terhadap Taiwan. Meski pemerintah Tiongkok telah siap untuk berperang, namun tidak dengan para miliunernya. Para kaum kapitalis ini lebih memilih hengkang sedari dini, tenimbang asetnya nanti dibekukan.

Peta Migrasi Miliuner Dunia

Faktor kedua yang mendorong berpindahnya para miliuner Rusia dan China ke luar negeri adalah tak adanya jaminan kebebasan berusaha. Pada November tahun lalu misalnya, otoritas bursa China menjatuhkan sanksi denda kepada tiga perusahaan financial technology (fintech) : Alibaba, Baidu, dan JD.com. Menurut Xi Jinping, sanksi itu merupakan bentuk tindakan pemerintah agar ketiga perusahaan tersebut tak memonopoli industri. Meski terdengar bijak, namun banyak pihak yang meragukan pernyataannya. Steve Tsang, Direktur SOAS China Institute di University of London menduga, sanksi itu keluar lebih dikarenakan paranoidnya Partai Komunis China (PKC). Para pemimpin PKC takut kalau kejadian Arab Spring yang dimobilisasi melalui medsos, bakal terulang kembali di Tiongkok. Oleh karenanya di pertengahan bulan ini, pemerintah China meminta data algoritma yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan fintech. Seperti halnya di Tiongkok, penyebab banyaknya pengusaha Rusia hengkang dikarenakan adanya hambatan dari orang dalam pemerintahan. Bisnis mereka akan dipersulit apabila tak mau mendukung misi sang presiden.

Faktor ketiga adalah karena ingin mengekspresikan diri. Kalau Anda ingat piramida Maslow, maka kebutuhan tertinggi manusia adalah keinginan untuk mengaktualisasi diri. Nah, orang-orang kaya ini merasa selama ini agak kesulitan untuk berpendapat. Sebagaimana yang kita ketahui, pemerintah Tiongkok tak mentolelir segala perbedaan pendapat. Akibatnya banyak orang-orang kaya disana yang merasa terkekang. Dalam hal mengekang kebebasan warganya, China memang juara. Mereka memblokir banyak platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, karena khawatir akan menjadi alat Amerika untuk mengendus preferensi warga Tiongkok. Padahal justru pemerintah China-lah yang selama ini memata-matai gerak-gerik warganya dengan memasang CCTV dimana-mana. Belakangan pemerintah Rusia juga ikut menerapkan aturan yang sama, yakni dengan memblokir platform yang berasal dari Barat. Dengan diblokirnya platform-platform tersebut, banyak masyarakat yang khawatir kalau mereka akan terisoloasi dari pergaulan internasional. “No one wants to end up in a country with no access to the outside world” ungkap Eugene Konash salah seorang investor gim yang telah meninggalkan Rusia.

Bagi para pengembang start-up teknologi, alasan mereka meninggalkan Rusia dan China tentu masuk akal. Dengan adanya pemblokiran tersebut, mereka khawatir negara lain juga akan melakukan hal yang sama terhadap platform yang mereka kembangkan. Tentu ini akan menjadi preseden buruk. Karena sedikit sekali orang yang mau mengembangkan perusahaan teknologi, jika targetnya hanya pasar domestik. Terlebih jika investasi yang digelontorkan cukup besar. Salah satu perusahaan teknologi asal Rusia yang sudah meninggalkan negeri ini adalah Telegram. Perusahaan yang didirikan oleh kakak beradik Nikolai dan Pavel Durov itu minggat dari negeri beruang merah sejak tahun 2014 lalu. Mereka lebih memilih beroperasi di Dubai, tenimbang di Moskow.

Berkah Dubai

Agak mencengangkan memang kalau kita melihat daftar tujuan para miliuner dunia yang menempatkan Uni Emirat Arab sebagai negara tujuan utama. Selain citra Timur Tengah yang konservatif, disana juga bercokol dua kekuatan regional : Iran dan Arab Saudi — yang saling mengancam. Meski secara geopolitik UEA dikelilingi oleh negara yang sedang berkonflik, namun adanya kebebasan serta rasa aman menjadikannya sebagai tempat yang nyaman untuk ditinggali. Sejak konflik Rusia-Ukraina pecah, UEA memposisikan dirinya sebagai pihak yang netral. Berbeda dengan negara-negara Barat, UEA tak memblokir aset-aset pengusaha Rusia yang berada disana. Akibatnya Dubai kemasukan jutaan dollar uang panas serta ribuan pengusaha Rusia. Salah seorang pemimpin bisnis disana menyebutkan, sebelumnya Dubai gak pernah kebanjiran orang-orang kaya sebanyak ini.

Vila mewah di Palm Jumeirah

Masuknya warga negara Rusia ke Dubai, telah mendorong permintaan properti di seluruh kota. Hal ini pada gilirannya akan mendongkrak harga vila dan apartemen mewah disana. Salah satu agen real estat lokal Betterhomes mencatat, pembelian properti oleh orang Rusia melonjak hampir 67% dalam tiga bulan pertama 2022. Saking banyaknya orang Rusia yang hendak membeli properti di Dubai, agen real estat Modern Living mempekerjakan banyak agen yang bisa berbahasa Rusia. Mungkin Anda akan bertanya-tanya, mengapa para miliuner ini sangat meminati Dubai? Bukankah kota-kota lain seperti Singapura misalnya, bisa menawarkan hal yang sama. Selain posisinya yang berada di tengah dunia, para miliuner ini senang dengan vila-vila mewah di tepi pantai. Dan Dubai dengan Palm Jumeirah-nya, menawarkan itu semua.

Tak cuma orang-orang kaya saja yang memindahkan asetnya ke Dubai, perusahaan rintisan dan beberapa perusahaan multinasional-pun banyak pula yang merelokasi aktivitasnya ke kota ini. Faud Fatullev, salah seorang pendiri perusahaan blockchain WeWay mengatakan, bahwa dia dan mitranya telah memindahkan ratusan karyawannya ke Dubai. Demikian pula perusahaan-perusahaan multinasional seperti Goldman Sachs, Google, dan JP Morgan, telah menutup operasi mereka di Rusia dan memindahkan beberapa karyawannya ke Dubai. Adanya kemudahan untuk memperoleh izin tinggal serta mendirikan perusahaan, menjadi faktor penting mengapa banyak perusahaan rintisan yang akhirnya pindah ke Dubai.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s