
Achmad Zaky, pendiri Bukalapak (sumber : techno.id)
Tahukah Anda berapa nilai (valuasi) Kaskus saat ini? Ya Kaskus – bukan Kasus apalagi Kakus – forum dimana saya, Anda, dan kita semua bisa saling chit chat, minta “cendol” atau sekedar ngelempar “bata”. Menurut catatan The Economist, nilai Kaskus per Juli 2014 lalu telah mencapai USD 80 juta. Saat ini, mungkin valuasi perusahaan yang didirikan oleh Andrew Darwis itu sudah melebihi USD 100 juta. Meski terlihat fantastis, namun itu belum seberapa! Tahukah Anda Go-Jek, perusahaan yang menyediakan jasa transportasi dan pengiriman barang/makanan. Ya, perusahaan ini baru saja memperoleh pendanaan sebesar USD 550 juta (setara Rp 7,2 triliun) dari konsorsium global : Warburg Pincus dan Farallon Capital. Dengan tambahan tersebut, maka per Agustus 2016 kemarin, valuasi start-up besutan Nadiem Makarin itu telah mencapai USD 1,3 miliar atau sekitar Rp 16,9 triliun. Jauh di atas kapitalisasi pasar Bank CIMB Niaga atau Global Mediacom di Bursa Efek Indonesia.
Kalau melihat angka-angka di atas, mungkin Anda akan bertanya-tanya : apa yang membuat para investor mau menggelontorkan dananya sebanyak itu? Jawabannya tentu karena tingginya ekspektasi mereka terhadap perusahaan tersebut. Kalau dilihat dari laporan keuangannya, sampai saat ini Go-Jek masihlah merugi. Kaskus sendiri yang sudah eksis sejak 17 tahun lalu, hanya membukukan pendapatan tak lebih dari Rp 100 miliar. Namun jika dilihat dari jumlah yang telah men-download aplikasi Go-Jek, yakni sebanyak 20 juta kali, maka tergambar bahwa perusahaan ini memiliki prospek cukup baik. Dengan jumlah pengunduh sebesar itu, artinya Go-Jek memiliki basis pelanggan yang cukup besar. Menurut catatan KompasTekno, pada bulan Juni 2016 tercatat ada 20 juta order yang masuk ke dalam aplikasi tersebut. Andai saja Go-Jek mengenakan service charge Rp 2.000 untuk setiap jasa yang diberikan, maka potensi pendapatan per bulan bisa mencapai Rp 40 miliar atau Rp 480 miliar per tahun.
Selain Go-Jek, start-up lainnya yang juga sedang naik daun adalah Tokopedia. Perusahaan yang didirikan oleh William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison itu, digadang-gadang akan menjadi “Alibaba”-nya Indonesia. Sebagai informasi, saat ini Alibaba adalah e-commerce asal China yang menguasai sekitar 80% pangsa pasar negeri tirai bambu. Tokopedia sendiri, meski belum menjadi yang terbesar di tanah air, namun sudah memiliki valuasi cukup besar. Terakhir perusahaan yang berdiri sejak tahun 2009 itu, memperoleh dana sebesar USD 147 juta atau setara Rp 1,91 triliun. Sehingga sampai saat ini total valuasi perusahaan tersebut telah mencapai USD 247 juta atau sekitar Rp 3,21 triliun. Bagaimana dengan kinerja keuangannya? Meski sudah berdiri sejak tujuh tahun lalu dan diakses oleh lebih dari satu juta pengguna setiap harinya, hingga saat ini Tokopedia masih mencatatkan kerugian.

Nadiem Makarim bersama para pengendara Go-Jek (sumber : okezone.com)
Satu lagi marketplace yang cukup moncer adalah Bukalapak. Malah berdasarkan catatan yang dihimpun oleh lembing.com, dalam beberapa segmen, perusahaan yang digagas oleh Achmad Zaky itu berada di atas Tokopedia (Toped). Untuk ranking secara global misalnya, Bukalapak (BL) berada di posisi 551, jauh meninggalkan Toped yang nangkring di urutan ke-677. Di lini media sosial, keduanya masih cukup berimbang. Jika di Facebook jumlah pengguna yang me-like BL (935.442) jauh di atas Toped (514.918), maka di Twitter jumlah pengikut BL (48.482) sedikit di bawah Toped (48.650). Untuk ukuran jumlah pengunjung maupun pageview, lagi-lagi posisi BL jauh di atas Toped. Pada akhir tahun 2015, jumlah visitor yang menyambangi situs BL telah mencapai 1.151.000 pengunjung per hari. Angka ini jauh di atas Toped yang hanya didatangi sekitar 950.000 pengunjung.
Meski dari data tersebut BL jauh lebih unggul dibandingkan Toped, namun dari segi pendanaan agaknya BL lebih konservatif. Emtek (Elang Mahkota Teknologi) sebagai pemegang saham utama Bukalapak melaporkan, hingga bulan Januari 2016, total investasi mereka di perusahaan tersebut hanya sebesar Rp 432,69 miliar. Dengan begitu, maka total valuasi BL hingga saat ini telah mencapai Rp 2,8 triliun, naik 19 kali lipat berbanding valuasi dua tahun sebelumnya yang cuma Rp 150 miliar. Berbeda dengan Tokopedia yang rada sulit diketahui laporan keuangannya, Bukalapak cenderung lebih terbuka. Hingga akhir tahun 2015 kemarin, Bukalapak berhasil membukukan pendapatan sebesar Rp 6,4 miliar, walau masih mengalami kerugian Rp 229 miliar.
Berbicara tentang marketplace, tentu kita masih ingat awal kemunculan Tokobagus. Perusahaan ini boleh dibilang menjadi pionir marketplace di Indonesia. Didirikan di Bali pada tahun 2008, kehadiran Tokobagus seolah menjadi katalisator bagi banyak orang untuk berbisnis melalui online. Kaskus yang sebelumnya menjadi handalan para pedagang, dibuat kebat-kebit dengan cara yang ditawarkan Arnold Sebastian Egg. Tampilannya yang menarik serta user friendly, menempatkannya sebagai game changer dalam jagat e-commerce tanah air.

Andrew Darwis, pendiri Kaskus
Sejak awal berdiri hingga tahun 2014, kisah sukses Tokobagus selalu mengundang minat para pecinta dunia digital. Tak salah jika kemudian platform daring ini meraih berbagai penghargaan, seperti : “Gold Brand Champion 2013 of Most Widely Used Brand” dari majalah MarkPlus Insight dan Marketeers serta “Situs e-commerce terbaik kategori online shopping Top Brand Award 2012” dari Frontier Consulting Group dan majalah Marketing. Entah apa yang melatarbelakanginya, di tahun 2014 — bersama Berniaga — perusahaan ini diakuisisi dan berganti nama menjadi OLX. OLX adalah marketplace global yang dikendalikan oleh grup Naspers asal Afrika Selatan. Meski telah melakukan re-branding dan beriklan dimana-mana, agaknya pamor OLX tak semengkilap pendahulunya. Selain namanya yang susah disebut, layout OLX juga lebih sulit dipahami.
Dewasa ini tak hanya marketplace saja yang kecipratan rejeki nomplok. Para start-up ritel yang memiliki persediaan barang dagang-pun, juga memperoleh windfall profit cukup besar. Sebut saja misalnya HijUp, toko online busana muslim yang didirikan oleh Diajeng Lestari. Toko tersebut boleh dibilang menjadi salah satu penjual busana muslim yang cukup komplet. Tak hanya Diajeng yang mengklaim tokonya sebagai penjual produk muslim terlengkap, Muslimarket yang baru berdiri setahun lepas, juga memposisikan dirinya sebagai pasar halal terlengkap. Untuk kategori produk muslim, tak hanya HijUp dan Muslimarket yang ikut ambil bagian. Hijabenka, Saqina, dan Zoya-pun, juga turut merambah pangsa pasar kelas menengah yang setiap tahunnya terus bertumbuh. Sebagian toko daring memang masih ada yang berjualan secara offline. Seperti Zoya misalnya, yang masih mengelola outlet di beberapa kota besar. Meski sebagain besar produk Zoya masih dijual offline, namun akhir-akhir ini penjualan online mereka mengalami kenaikan cukup pesat.
Lihat pula :
1. Cara Go-Pay, OVO, dan Dana Meraup Untung
2. 9 Produk Fintech yang Layak Anda Coba
Jika sebagian besar toko online mengkhususkan dirinya pada jenis produk tertentu, Blibli justru hendak membangun imej sebagai mal elektronik. Niatan tersebut tentu bukanlah hal yang mudah, jika tak didukung oleh pendanaan yang solid. Beruntung! Martin Hartono sang founder, adalah putra Budi Hartono pemilik Grup Djarum, yang boleh dibilang memiliki kapital cukup besar. Benar saja, sejak berdiri pada tahun 2011 lalu, start-up ini telah disuapi dana sebesar USD 100 juta. Setelah empat tahun berdiri, Blibli sudah memiliki 550 karyawan yang mana sepertiganya berada di Divisi TI. Meski menawarkan lebih dari 375.000 produk dari 6.000 merek, serta bermitra dengan lebih dari 2.500 merchant partner dan 15 bank, saat ini Blibli baru didatangi 380 ribu pengunjung setiap harinya. Angka ini memang jauh jika dibandingkan dengan mal elektronik asal Singapura : Lazada (1,358 juta), namun masih di atas pemain anyar : MatahariMall. Selain menawarkan program pemasaran afiliasi, Blibli juga rajin menjadi sponsor aneka even olah raga. Yang paling mencolok dan diingat masyarakat ialah ketika mereka mensponsori atlet bulu tangkis Indonesia yang berlaga di Olimpiade Rio de Jenairo.

Hadi Wenas (kiri) dan Emirsyah Satar, orang di balik keberhasilan MatahariMall (sumber : digitalnewsasia.com)
Meski MatahariMall terhitung new kid on the block, namun kehadirannya di jagat online tanah air cukup menggemparkan. Bagaimana tidak, perusahaan yang dimodali oleh Grup Lippo tersebut, hampir setiap hari memberikan diskon gila-gilaan. Bukan hanya model bisnisnya saja yang unik, personalianya-pun boleh dibilang paling kompeten di antara pemain e-commerce lainnya. Siapa yang tak kenal Emirsyah Satar, tokoh dibalik kesuksesan Garuda Indonesia menjadi maskapai bintang lima, sejak September 2015 kemarin ia didapuk menjadi chairman MatahariMall. Untuk posisi vice-chairman ada Rudy Ramawy yang sebelumnya menjadi country direktur Google. Serta Hadi Wenas, mantan konsultan McKinsey yang diangkat sebagai CEO. Dengan profil manajemen seperti itu, tak salah jika Mitsui, perusahaan elektronik asal Jepang, mau membenamkan dananya sebanyak USD 100 juta. Kerjasama ini diharapkan akan meningkatkan valuasi MatahariMall menjadi perusahaan e-commerce terbesar kedua di ASEAN setelah Lazada.
Meski berbagai maskapai penerbangan telah memiliki layanan online, namun tak menyurutkan langkah Traveloka untuk mengembangkan aplikasi penjualan tiket daring. Tak hanya tiket penerbangan saja yang menjadi bisnis mereka, tiket hotel-pun kini juga mereka rambah. Agaknya perusahaan yang didirikan oleh Ferry Unardi itu, ingin mengikuti kesuksesan Skyscanner yang sekarang menguasai pangsa pasar tiket daring global. Berdasarkan data yang dihimpun oleh lembing.com, hingga akhir tahun lalu sebanyak 93.988 orang mengunjungi situs ini setiap harinya. Angka tersebut jauh di atas pesaingnya : Tiket.com yang hanya dikunjungi oleh 51.270 orang. Berdasarkan catatan Tempo.co, Traveloka terhitung sebagai perusahaan Indonesia terbesar yang melakukan belanja iklan lewat Google. Pada kuartal pertama tahun 2016, Traveloka telah menggelontorkan dana untuk iklan sebesar Rp 103 miliar.
Dari sekian banyak bisnis daring di Indonesia, portal berita online terhitung yang paling sengit persaingannya. Setiap tahun ada saja portal berita yang muncul dan bertumbangan. Diantara mereka, Detik masihlah yang terbesar. Pada akhir tahun 2015, situs yang dikelola oleh CT Corp tersebut telah dikunjungi oleh 1.686.751 visitor setiap harinya. Situs berita yang didirikan oleh Budiono Darsono itu jauh meninggalkan para rivalnya, seperti : Tribunnews, Liputan 6, ataupun Kompas. Selain menyediakan situs berita online, Detik juga memiliki forum diskusi yang boleh dibilang cukup ramai. Berdasarkan jumlah thread dan anggota, sekarang mereka berada di posisi kedua setelah Kaskus. Sama seperti situs berita lainnya, hingga saat ini Detik masih mengandalkan iklan sebagai sumber pemasukan. Pada tahun 2015, keuntungan mereka dari kegiatan advertising telah mencapai USD 12.229 per harinya atau setara Rp 159 juta. Jika disetahunkan, maka laba yang diperoleh Detik bisa melebihi Rp 57 miliar.
Satu lagi perusahaan start-up yang boleh dibilang cukup berhasil adalah RuangGuru. RuangGuru adalah perusahaan rintisan berbasis pendidikan yang mempertemukan para pengajar dengan pelajar di seluruh Indonesia. Tak hanya itu, platform ruangguru.com juga menyediakan video tutorial yang diisi oleh alumni-alumni kampus top dunia. Didirikan pada tahun 2014 oleh Iman Usman dan Adamas Belva Syah Devara, perusahaan ini telah berhasil menghimpun sekitar 25.000 pengajar serta 150.000 pengguna. Selain menerima permodalan dari East Ventures dan Venture Capital, saat ini RuangGuru juga mengenakan komisi sebesar 20% untuk biaya operasional mereka. Ke depan, RuangGuru menargetkan akan membantu membenahi sistem pendidikan di Indonesia, dan berekspansi ke negara-negara lain di Asia Tenggara.

M. Al Fatih Timur, pendiri KitaBisa (sumber : viva.co.id)
Jika perusahaan-perusahaan di atas hendak mencari untung sebesar-besarnya, lain halnya dengan situs KitaBisa yang menjadi aplikasi social entrepreneur. KitaBisa adalah situs donasi yang menggalang dana untuk program-program sosial yang diinisiasi oleh masyarakat. Di Amerika, crowdfunding platform seperti ini telah ada sejak 25 tahun lalu. Sedangkan di Indonesia, baru KitaBisa yang mengambil peran cukup besar. Didirikan pada tahun 2013 oleh Muhammad Al Fatih Timur, dalam waktu kurang dari tiga tahun, situs ini telah membiayai lebih dari 5.000 program sosial. Sepanjang periode Januari-September 2016, dana yang berhasil mereka kumpulkan-pun terhitung cukup besar, yakni mencapai Rp 45 miliar. Salah satu kampanye mereka yang cukup sukses adalah pembelian Mesjid Chiba di Jepang yang hampir terkumpul Rp 2 miliar.
Jika melihat perkembangan start-up di tanah air, maka dapat disimpulkan bahwa ke depan ekonomi berbasis internet akan memegang peranan penting. Tak salah jika kemudian Presiden Joko Widodo mengajak anak-anak muda Indonesia ke Silicon Valey, untuk melihat-lihat perkembangan bisnis digital disana. Tentu kita berharap, dari kunjungan itu para start-up Indonesia bisa memperoleh suntikan modal, yang pada gilirannya akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.