Bagi Anda pengguna dompet digital (e-wallet), mungkin Anda sering bertanya-tanya : bagaimana caranya Go-Pay, OVO, dan Dana meraup untung? Terlebih ketika melihat mereka berlomba-lomba memberikan diskon hingga 40%. Gak cuma itu, bahkan ada pula yang berani jor-joran ngasih cash back sampai 60%. Di depan outlet mal-mal mewah hingga toko-toko di pinggir jalan, mereka memasang banner besar-besar untuk menggoda para pembeli menggunakan layanan mereka. Memang, yang paling diuntungkan dari pemberian diskon semacam ini adalah para konsumen. Namun jika dalam dua tahun belakangan mereka terus membakar uang, lalu darimana perusahaan dompet digital itu meraup untung? Nah, dalam sajian kali ini kita akan mengulik strategi bisnis dompet digital dalam menghasilkan uang.
Merchant Fee
Pernah gak Anda kepikir, kalau sebenarnya pemberian diskon besar-besaran itu seperti memasang iklan di televisi. Bedanya, iklan cuma memperkenalkan produk, sedangkan diskon langsung memberikan experience kepada pelanggan. Kopi Kenangan atau Janji Jiwa misalnya, apakah Anda pernah melihat iklan mereka di TV-TV? Gak kan. Lalu kenapa mereka cukup ngehits belakang ini? Ya, karena mereka memberikan diskon besar-besaran. Siapa yang menyediakan diskon ini, apakah pemilik perusahaan kopi? Bukan. Lalu siapa? Ya, penyedia dompet digital. Si pemilik kopi, tinggal membayar sejumlah fee yang dipotong dari nilai penjualannya untuk diserahkan ke penyedia e-wallet. Lalu kalau diskonnya 40%, apakah fee-nya juga 40%? Tentu tidak. Mungkin cuma 2%-3%. Kok bisa? Ya, penyedia e-wallet itu berharap akan mendapat keuntungan dalam jangka panjang. Semula mungkin diskon yang diberikan 40%, namun lama kelamaan – jika masyarakat sudah terbiasa, diskon turun menjadi 30%, 10%, sampai akhirnya 0%. Meski tak lagi memberikan diskon, penyedia e-wallet itu akan terus mendapatkan fee selama konsumen membeli Kopi Kenangan dengan dompet digital.
Service Fee
Seluruh pemain dompet digital, kini telah memberikan layanan untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan segala hal. Dari membayar listrik, membeli pulsa, sampai pembayaran uang sekolah. Setiap transaksi melalui e-wallet, biasanya akan dikenakan biaya sebesar Rp 1.500. Bisa dihitung berapa pendapatan yang diperoleh dari pemberian layanan semacam ini. Selain itu, penyedia e-wallet juga akan mendapatkan komisi dari penyediaan dana untuk transaksi e-commerce. Seperti misalnya OVO yang menalangi transaksi nasabah Tokopedia, atau Dana dengan Bukalapak. Bisa Anda bayangkan! Jika Tokopedia mencetak omzet Rp 1 triliun setiap bulannya, dan OVO men-charge 1% untuk setiap transaksi, maka Rp 10 miliar sudah pasti ditangan.
Biaya Administrasi
Walaupun terlihat receh, tapi komponen yang satu ini juga menjadi penyumbang penghasilan bagi penyedia e-wallet. Setiap melakukan pengisian/top-up, OVO atau Go-Pay akan mengenakan biaya administrasi Rp 1.000. Bayangkan bila ada 1.000 transaksi dalam satu menit, maka Rp 1 juta bisa mereka hasilkan dari proses top-up saja. Ke depan, operator e-wallet bisa saja mengenakan biaya bulanan kepada vendor/user yang sudah terbiasa menggunakan layanan mereka. Strateginya, mereka akan terus jor-joran memberikan potongan harga, hingga para vendor dan user nyaman menggunakannya. Setelah nyaman, mereka akan menjadi ketergantungan dan merasa kurang kalau tak menggunakan jasa e-wallet. Gambarannya, persis seperti ketergantungan kita dengan jasa perbankan saat ini. Tahukah Anda berapa biaya administrasi bulanan yang dikenakan oleh bank? BCA saja memakuk Rp 17.000 per bulan untuk setiap nasabah. Kalau e-wallet juga menerapkan strategi yang sama, bisa dibayangkan jika mereka punya satu juta pengguna.
Imbal Hasil Dana Mengendap
Satu lagi pendapatan yang bisa dihasilkan dari bisnis e-wallet adalah imbal hasil atas dana user yang mengendap. Maksudnya? Kalau Anda ngisi Go Pay, biasanya kan top-up dalam jumlah besar. Minimal Rp 100.000. Kalau Anda belanja Rp 10.000, kan masih ada sisa Rp 90.000. Nah dana Rp 90.000 yang mengendap itu akan disimpan di bank. Kalau saja ada satu juta user dengan dana mengendap Rp 90.000, maka operator e-wallet punya Rp 90 miliar dana mengendap. Dari dana tersebut, bank bisa memberikan imbal hasil 5% per tahunnya. Dan si operator akan mendapat tambahan penghasilan Rp 4,5 miliar per tahun.
Keuntungan akan berlipat-lipat jika penyedia dompet digital juga memiliki bisnis perbankan. Seperti OVO misalnya, yang dimiliki oleh Lippo Group. Mereka akan menempatkan dana mengendap di Bank Nobu, yang bisa memberikan return pinjaman sekitar 8% – 15% per tahunnya. Kalau saja OVO punya Rp 90 miliar dana mengendap, maka kalikan saja berapa yang didapat oleh Lippo Group. Itu kalau Anda top-up-nya cuma Rp 100.000, kalau ngisinya Rp 200.000 atau Rp 300.000, terus jarang dipakai pula, tentu semakin besar return yang dapat mereka hasilkan.
Penguasaan Data Konsumen
Disamping keuntungan di atas, yang menjadi tujuan besar perusahaan dompet digital melakukan promo besar-besaran adalah penguasaan data konsumen. Makanya setiap mengajukan aplikasi ke sistem e-wallet, mereka akan menanyakan data pribadi kita. Setelah aktif menggunakannya, dengan teknologi artificial intelligence mereka bisa membaca perilaku konsumsi kita. Nah, data pribadi dan perilaku konsumsi itulah yang bisa mereka jual dengan nilai sangat tinggi. Dalam jangka panjang, bisnis financial technology tentu berharap bisa masuk ke pasar modal atau diakuisi perusahaan keuangan internasional. Kalau saja mereka sudah punya basis kustomer yang cukup besar, maka valuasi-pun juga akan ikut besar.
Contoh menarik adalah OVO, yang dalam enam bulan bisa mencatatkan kenaikan valuasi tiga kali lipat. Pada Maret 2019, produk besutan Lippo Group itu hanya bernilai USD 1 miliar. Namun di bulan September lalu — setelah mendapat suntikan dana dari Grab, valuasinya membengkak menjadi USD 2,9 miliar. Kabarnya, sumber dana untuk menyuntik e-wallet tersebut datang dari perusahaan Jepang : SoftBank. Meski kepemilikan Lippo di OVO terdilusi menjadi 33%, namun secara keuangan perusahaan ini “menang banyak”. Jika dikalikan dengan USD 2,9 miliar, valuasi Lippo di produk tersebut sudah mencapai USD 967 juta. Dengan modal awal sekitar USD 100 juta, dalam jangka waktu dua tahun pencapaian sebesar itu boleh dibilang cukup mengesankan.