“Quacquarelli Symonds (QS) World University Rankings” baru-baru ini merilis daftar peringkat universitas dan institut di seluruh dunia. Dalam daftar itu lagi-lagi posisi Indonesia belum memuaskan. Dari 1.000 universitas/institut yang diperingkat, hanya sembilan dari Indonesia yang masuk ke dalam daftar. Tak sampai 1%. Kesembilan universitas/institut tersebut adalah Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjajaran, Institut Pertanian Bogor, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Surabaya, dan Universitas Brawijaya. Jumlah tersebut masih di bawah negara-negara Asia lainnya, seperti China, Jepang, India, Korea Selatan, dan Malaysia.
Tak cuma dari segi kuantitas, dari segi kualitas-pun sekolah-sekolah tinggi kita masih di bawah negara-negara tersebut. Universitas Indonesia (UI), sekolah tinggi nomor satu di negeri ini, secara global hanya berada di urutan ke-292. Jauh di bawah National University of Singapore (Singapura/peringkat 11), Nanyang Technological University (Singapura/12), bahkan Universiti Malaya (Malaysia/87). Malaysia yang pada tahun 1970-an masih meminta bantuan dosen-dosen kita untuk mengajar disana, kini justru jauh di depan. Tak hanya tertinggal dari Universiti Malaya, UI juga masih tercecer di belakang empat universitas Malaysia lainnya, yakni Universiti Kebangsaan Malaysia (184), Universiti Putra Malaysia (202), Universiti Sains Malaysia (207), dan Universiti Teknologi Malaysia (228). Memang di level Asia Tenggara UI masih masuk sepuluh besar, tetapi ada di peringkat ke-9 setelah Chulalongkorn University (Thailand/271). Bagaimana dengan peringkat kedua Institut Teknologi Bandung (ITB), yang saat ini nongkrong di urutan ke-359. Di Asia Tenggara posisinya berada di urutan ke-11, turun satu peringkat setelah Universiti Brunei Darussalam (323). Padahal dua tahun lalu, universitas yang berdiri pada tahun 1985 itu belum masuk ke dalam 1.000 universitas terbaik dunia. Namun kini sudah menyalip ITB yang secara tradisional telah memiliki nama besar dan segudang prestasi.
Penilaian Quacquarelli Symonds
Apa yang membuat universitas/institut kita jeblok dibanding beberapa negara Asia lain? Kalau dilihat dari penilaian Quacquarelli Symonds, konsultan pendidikan asal Inggris, ada enam aspek yang diukur untuk menilai reputasi sebuah universitas. Yang pertama, penilaian dari akademisi di seluruh dunia (academic peer review). Ini bobot perhitungannya sebesar 40%. Untuk melakukan penilaian ini, tahun 2017/2018 lalu QS melibatkan 75.015 akademisi dari 140 negara, yang rata-rata memiliki pengalaman akademik selama 20 tahun. Yang kedua, rasio antara jumlah mahasiswa dengan pengajar (faculty/student ratio) dengan bobot 20%. Aspek ini untuk mengukur seberapa komit seorang dosen terhadap peserta didik. Karena biasanya semakin banyak dosen mengajar, maka komitmennya terhadap mahasiswa akan semakin rendah. Yang ketiga, jumlah kutipan dari hasil penelitian (citation per faculty) dengan bobot penilaian 20%. Dalam penilaian ini QS menggunakan data dari Scopus, sebuah database literatur ilmiah yang dimiliki penerbit terkemuka, Elsevier. Cara perhitungannya, jumlah kutipan selama lima tahun terakhir dibagi jumlah akademisi.
Yang keempat, reputasi para lulusan (employer reputation) yang memiliki bobot 10%. Aspek ini cukup dilematis, karena yang dinilai reputasi para alumninya. Dengan melahirkan alumni-alumni hebat, maka universitas tersebut memiliki kualitas pengajaran yang baik. Begitu kira-kira penilaiannya. Seperti aspek yang pertama, penilaian pada aspek ini juga melibatkan ribuan responden. Tahun 2016 lalu, ada 40.455 responden dari 130 negara yang terlibat. Yang kelima dan keenam mengenai aspek internasionalisme. Maksudnya? Aspek ini menilai seberapa banyak mahasiswa dan pengajar yang berasal dari luar negeri. Aspek kelima dihitung dari jumlah mahasiswa internasionalnya (international student ratio), sedangkan aspek keenam dari jumlah dosen asing yang mengajar (international staff ratio). Masing-masing memiliki bobot 5%. Kalau kita tengok akhir-akhir ini, banyak universitas/institut di Indonesia yang membuka kelas internasional. Selain untuk mendapat penghasilan tambahan, tujuannya juga untuk mengejar aspek penilaian ini. Kalau kita lihat keenam faktor di atas, bolehlah! Cukup fair. Meski aspek pertama dan keempat agak subyektif.
Lalu bagaimana dengan penilaian universitas/institut di Indonesia? Mari kita ambil sampel dua universitas/institut terbaik di negeri ini. Yang pertama adalah Universitas Indonesia. Dari aspek reputasi akademik, universitas tertua di Indonesia itu beroleh skor 36,1 (skor tertinggi 100), kemudian aspek reputasi alumni mendapat skor 51,3. Untuk aspek rasio jumlah pengajar, UI memperoleh skor 49,1; lalu aspek penelitian yang dikutip 1,8. Sementara internasionalisme, masing-masing beroleh skor 93,9 untuk pengajar dan 5,5 untuk mahasiswa. Setelah dibobot, secara keseluruhan UI memperoleh nilai 34,8. Bagaimana dengan ITB? Reputasi akademiknya mendapat skor 36,2; reputasi alumni 41,7; rasio pengajar 43,9; hasil penelitian yang dikutip 3,2; mahasiswa internasional 2,6 dan pengajar internasional 42,1. Total keseluruhannya adalah 30,4. Kalau kita membandingkan kedua sekolah tinggi terbaik di Indonesia itu, terlihat UI menang pada aspek reputasi alumni, rasio pengajar, dan internasionalisme. Sedangkan ITB unggul pada aspek reputasi akademik dan hasil penelitian.
Untuk melihat mengapa universitas kita kalah dibanding universitas-universitas terkemuka Asia lainnya, mari kita sigi hasil perhitungan empat universitas negeri jiran : National University of Singapore (NUS), Universiti Malaya (UM), Universiti Putra Malaysia (UPM), dan Universiti Teknologi Malaysia (UTM). Pertama, kita akan melihat hasil penilaian NUS. Universitas yang berdiri sejak tahun 1905 itu mendapatkan skor total 92, dengan rincian sebagai berikut : reputasi akademik (99,8), reputasi alumni (99,1), rasio pengajar (91,8), hasil penelitian yang dikutip (72,8), mahasiswa internasional (80,7), dan pengajar internasional (100). Untuk penilaian UM, universitas tertua di Malaysia itu beroleh total skor 62,6. Rinciannya : reputasi akademik (63,9), reputasi alumni (57,7), rasio pengajar (93,5), hasil penelitian yang dikutip (32,6), mahasiswa internasional (61,2), dan pengajar internasional (55,9). Sedangkan UPM dan UTM, meski enam tahun lalu masih di bawah UI, kini keduanya sudah menyalip posisi kampus kuning. Secara keseluruhan UPM mendapatkan nilai 43,8 dan UTM beroleh skor 40,5. Kalau kita lihat rinciannya, maka dibanding UI keduanya unggul dalam aspek rasio pengajar (masing-masing 67,3 dan 85,3), hasil penelitian (19,7 dan 17,1), serta mahasiswa internasional (74,4 dan 58,8).
Belajar dari Singapura dan Malaysia
Jika kita melihat skor dari keempat universitas tersebut, maka nampak sekali kalau kita jauh tertinggal dari Singapura dan Malaysia. UPM dan UTM memang tak berbeda jauh dari UI dan ITB, namun untuk aspek rasio pengajar dan hasil penelitian, kita sudah jauh tertinggal. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu per satu. Yang pertama, reputasi akademik. Kita masih jauh dari NUS dan UM yang memiliki skor masing-masing 99,8 dan 63,9. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, reputasi akademik merupakan penilaian subyektif dari para akademisi di seluruh dunia. Sehingga apabila universitas tersebut tak dikenal, maka tidak akan mendapatkan skor yang tinggi dalam aspek ini. Terlebih reputasi akademik memiliki bobot yang paling tinggi, sehingga sangat berpengaruh terhadap nilai keseluruhan. Ada beberapa sebab yang menjadikan universitas kita kurang dikenal di mata internasional. Diantaranya adalah sedikitnya kerjasama antara sivitas akademisi kita dengan akademisi luar terkait proyek-proyek penelitian. Kemungkinan lain adalah jarangnya kegiatan promosi terkait karya-karya yang sudah dihasilkan, sehingga dunia luar tak mengetahuinya. Coba bandingkan dengan NUS, mereka banyak bekerjasama dengan universitas-universitas Ivy League dari Amerika, salah satunya Yale University. Bahkan sejak tahun 2011, keduanya mendirikan Yale-NUS College, sebuah kolese liberal arts yang diisi oleh dosen-dosen berkompeten dari seluruh dunia. Begitu juga dengan UM yang memiliki partner dengan universitas-universitas top, seperti Australian National University dan University of Liverpool.

Source : QS World University Ranking
Yang kedua adalah reputasi alumni. Ini juga cenderung subyektif. Untuk kategori ini, NUS memperoleh nilai 99,1 dan UM 57,7. Sedangkan UI dan ITB masing-masing 51,3 dan 41,7. Kalau dibandingkan dengan NUS okelah, UI dan ITB kalah telak, karena universitas tersebut merupakan almamater empat perdana menteri/presiden Singapura dan dua perdana menteri Malaysia. Tetapi kalau di-compare dengan UM, saya rasa prestasi lulusan UI dan ITB tak kalah hebat. Hal ini terlihat dari besarnya kontribusi alumni UI dan ITB terhadap pembangunan tanah air. Siapa yang tak kenal Soekarno, Habibie, Megawati, Chairul Tanjung, Sri Mulyani, Aburizal Bakrie, Emil Salim, serta sederet menteri-menteri dari zaman Orde Lama hingga Era Reformasi. Mereka adalah para lulusan UI dan ITB yang terkenal di pentas global. Yang baru lulus-pun tak kalah keren, seperti beberapa pendiri start-up : Achmad Zaky (Bukalapak/ITB), Iman Usman (Ruangguru/UI), dan Alfatih Timur (Kitabisa/UI). Karena tokoh-tokoh tersebut kurang di-endorse, maka selama ini reputasi alumni UI dan ITB kurang dikenal. Jadilah untuk penilaian ini kita masih di bawah NUS dan UM. Kalau sudah begini, terasa sekali Indonesia kekurangan ahli pemasaran global. Yang bisa memoles imej baik Indonesia di mata internasional.
Ketiga adalah rasio pengajar. Ini merupakan urusan klasik yang dari dulu masih belum terselesaikan. Padahal kalau kita lihat setiap tahun, jumlah pelamar untuk menjadi dosen di universitas-universitas negeri cukup membludak. Namun karena keterbatasan anggaran, jadilah yang diterima terbatas. Jika kita membandingkan dengan universitas di Malaysia yang dalam tiga tahun terakhir mengalami kenaikan cukup pesat (lihat tabel di atas), maka kunci peningkatan skor mereka adalah perbaikan rasio pengajar. Mereka tak segan-segan menggelontorkan dana ratusan ribu ringgit untuk menggaji dosen agar rasio antara pengajar dan mahasiswa tercukupi. Hasilnya tak ada satupun universitas top five di Malaysia yang skor rasio pengajarnya di bawah 60. Coba bandingkan dengan UI, ITB, dan UGM, yang masih berkutat direntang angka 35 – 50. Kalau saja pemerintah mau serius meningkatkan rasio pengajar, saya yakin dalam lima tahun mendatang ketiga universitas kita akan masuk 200 besar dunia.
Begitu juga pada aspek penelitian, lagi-lagi kita masih kedodoran. Kalau ditanyakan kepada para peneliti/dosen mengapa mereka jarang mempublikasikan jurnal internasional, jawabannya pasti karena keterbatasan anggaran. Berbeda dengan pemerintah Singapura yang begitu all out mendukung NUS dan NTU melakukan riset berstandar internasional, semua dana riset kita yang berjumlah Rp 26 triliun itu harus dialokasikan ke puluhan instansi dan sekolah tinggi. Sehingga setelah dibagi-bagi, dana yang mengucur ke universitas/institut kita sangatlah kecil. Selain anggaran yang minim, kurangnya waktu para dosen untuk meneliti juga menjadi penyebab rendahnya skor kita untuk aspek ini. Satu lagi yang terabaikan namun juga penting ialah kemampuan Bahasa Inggris para sivitas akademisi kita. Sehingga mereka sering terkendala ketika harus menulis jurnal internasional. Saya teringat bagaimana dosen saya mendorong para mahasiswanya untuk menyusun tesis dalam Bahasa Inggris. Hal ini agar bisa dipublikasikan secara internasional, mengingat rendahnya minat akademisi kita untuk melakukannya.
Faktor kelima dan keenam adalah internasionalisme. Untuk aspek ini, baru UI yang secara serius menggarapnya. Sejak satu dasawarsa lalu, universitas tersebut telah membuka kelas internasional yang bekerjasama dengan beberapa universitas terkemuka, diantaranya NUS dan University of Melbourne. Walau pengajarnya sudah banyak yang datang dari luar, namun mahasiswanya masih kebanyakan putra-putri Indonesia. Sehingga untuk aspek mahasiswa internasional, skor yang diperoleh masih satu digit. Kalau kita berkaca dari NUS dan NTU, nampak sekali mereka serius menarik talenta terbaik untuk bersekolah disana. Ini terlihat dari banyaknya beasiswa yang mereka tawarkan kepada ribuan murid dari seluruh Asia. Begitupula seharusnya UI dan ITB, mereka harus berani mengundang bakat-bakat hebat dari seluruh dunia. Karena bakat-bakat ini nanti bisa dimanfaatkan oleh negara untuk pembangunan bangsa. Bukan malah membatasi kuota orang non-Jawa Barat untuk belajar di UI dan ITB, seperti yang pernah diwacanakan Gubernur Ahmad Heryawan beberapa waktu lalu.
* * *
Mengutip dari Tirto.id, saat ditanya mengenai peringkat universitas di Indonesia yang tak kunjung membaik, Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti malah menjawab bahwa dalam tiga tahun terakhir telah terjadi peningkatan pada peringkat UGM, dari 501 menjadi 492 dan terakhir 391. Lalu bagaimana dengan UI yang justru mengalami penurunan? Ke depannya, kata Ali, pemerintah memiliki langkah-langkah khusus untuk memfasilitasi sejumlah universitas dalam negeri agar dapat lebih unggul dibandingkan negara lain di ASEAN, bahkan dunia. Pihaknya akan memfasilitasi perguruan tinggi terpilih agar masuk 500 besar dunia. Sayangnya, ia tidak menjelaskan secara detail langkah-langkah yang dimaksud.
Ketidaktahuan para pejabat kita untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, menurut saya menjadi pangkal bala mengapa peringkat universitas di Indonesia tak kunjung membaik. Ibarat seperti pelatih sepak bola, mereka tak tahu bagaimana caranya bermain bola yang baik. Padahal kalau kita melihat rekam jejak pemerintah Singapura dan Malaysia, mereka hanya fokus mengejar enam faktor penilaian tersebut. Sehingga tak salah jika universitas-universitas mereka bisa dengan cepat melampaui peringkat negara-negara tradisional berpendidikan kuat seperti Australia dan Jepang. Memang pemeringkatan yang dilakukan oleh QS bukanlah segala-galanya. Namun jika pejabat kita telah mengacu kepada penilaian tersebut, maka setidaknya mereka telah memiliki panduan atau ukuran dalam bekerja.