KLB Partai Demokrat, Politik Dinasti, dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Posted: 27 Maret 2021 in Politik
Tag:, , , , ,

AHY dan Moeldoko (sumber : beritasatu.com)

Darmizal, salah seorang politisi Partai Demokrat, menangis tersedu-sedu saat konferensi pers pasca-Kongres Luar Biasa (KLB) partainya. Dalam pidatonya, ia menyesal telah membantu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi ketua umum Demokrat pada tahun 2015 lalu. Ia tak menyangka setelah SBY memimpin partai ini akan lahir rezim diktator, dimana SBY melanggengkan politik dinasti dengan memberikan karpet merah kepada putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), untuk melanjutkan kepemimpinan partai. Senada dengan Darmizal, Marzuki Alie, mantan ketua DPR sekaligus politisi senior Partai Demokrat mengatakan, diselenggarakannya KLB ini akibat tersumbatnya suara para kader dan adanya kesewenang-wenangan pengurus partai di bawah pimpinan AHY. Oleh karenanya KLB yang diselenggarakan di Deli Serdang tanggal 5 Maret lalu itu, dirancang untuk melengserkan AHY. Sebagaimana yang kita ketahui, kongres itu kemudian memilih secara aklamasi Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, sebagai ketua umum Demokrat yang baru.

Hingga tulisan ini diturunkan, belum ada pengesahan atau pembatalan dari pemerintah terkait hasil KLB tersebut. Namun kasak-kusuk serta behind the story dibalik penyelenggaraan KLB itu sangat menarik untuk disimak. Salah satunya adalah pernyataan Gatot Nurmantyo yang pernah ditawari oleh para inisiator KLB untuk menggantikan posisi AHY. Namun kemudian Gatot menolak dengan alasan ewuh pakewuh. Selain itu yang juga perlu dicermati adalah sebelum naiknya AHY menjadi ketua umum, ternyata elit partai inipun sudah diisi oleh keluarga-keluarga Yudhoyono. Hadi Utomo, yang merupakan ipar SBY, pernah menjadi ketua umum Demokrat periode 2005-2010. Edhi Baskoro Yudhoyono, putra kedua SBY, juga sempat menjabat sebagai sekretaris jenderal partai. Dan kini, Ibas – begitu ia akrab disapa, menduduki posisi ketua fraksi Demokrat di MPR. Tak salah jika banyak orang yang berpandangan, bahwa KLB kemarin adalah perlawanan kader Demokrat terhadap Dinasti Cikeas yang selama ini seperti menjadi pemilik partai.

Sebenarnya kudeta politik seperti ini bukanlah suatu fenomena yang baru di negeri kita. Sebelumnya, proses “pengusiran” yang mirip juga terjadi pada Dinasti Amien Rais di Partai Amanat Nasional. Pada masa kepresidenan SBY, Dinasti Abdurahman Wahid-pun sempat terdepak dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kala itu pemerintahan SBY mengesahkan Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum PKB, sekaligus mendepak Gus Dur sebagai ketua dewan syuro. Kini keadaan seperti itu terulang kembali pada putra SBY. Kondisi politik seperti ini menurut saya akan terus berlangsung selama mekanisme kelembagaan partai belum berjalan secara demokratis. Corak kekuasaan feodal yang masih hadir dalam beberapa kepengurusan partai, akan menjadi bom waktu yang bisa menghancurkan partai itu kapanpun juga. Dalam pandangan saya, saat ini baru Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera yang memiliki mekanisme kaderisasi yang baik, sehingga tak satupun dari ketiga partai tersebut yang mengandalkan figur tertentu. Hal ini berbeda dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang masih bergantung pada sosok Megawati, serta kharisma Bung Karno. Begitupula dengan Partai Gerindra yang mengandalkan figur Prabowo, atau Partai Nasdem pada ketokohan Surya Paloh.

Dalam kepengurusan partai yang beraroma feodal, kita tak bisa berharap banyak bagi kemajuan demokrasi Indonesia. Bagaimana bisa tradisi demokrasi yang “membersit dari bawah”, dihadapkan dengan budaya “patron dan klien”. Pada budaya feodal, boleh jadi ketika sang figur menjadi presiden, kemungkinan besar ia akan memboyong anak-keponakannya untuk menduduki posisi-posisi penting di republik ini. Dengan itu mereka akan memanfaatkan kedudukannya — sembari mengumpulkan pundi-pundi, untuk terus melanggengkan kekuasaan di negeri ini. Sejarah telah membuktikan, bagaimana sosok Soeharto yang begitu dielu-elukan, malah menjadi seorang otoriter yang korup. Pada saat Yudhoyono memimpin-pun, tak sedikit terjadi mega korupsi yang melibatkan kader partainya. Kita tak bisa membayangkan bagaimana seandainya jika Yudhoyono memimipin negeri ini lebih lama lagi. Bisa jadi dia akan seperti Soeharto. Oleh karenanya saya tak setuju dengan usulan sebagian politisi yang hendak memperpanjang masa kepemimpinan Joko Widodo.

* * *  

Jika kita melihat proses pembentukan partai-partai baru pasca-reformasi, maka hampir kesemuanya mengandalkan para figur. Berbeda dengan partai yang didirikan di masa Demokrasi Liberal, kini sedikit sekali parpol yang bisa disebut sebagai partai kader. Absennya kaderisasi di tubuh partai politik, pada gilirannya akan menghambat lahirnya pemimpin-pemimpin yang demokratis. Dalam sejarah Indonesia, Partai Sosialis Indonesia (PSI) boleh dibilang merupakan partai kader yang paling berhasil. Ketika itu, Sutan Syahrir mendidik para anggota partai untuk menjadi pemimpin di masyarakat dengan bekal intelektualitas yang kuat. Meski tak memiliki jumlah massa yang besar, namun PSI melahirkan kader-kader yang mumpuni. Dalam kancah pertarungan ideologi nasional, kader-kader PSI mewarnai arah kebijakan bangsa. Selain Sutan Syahrir yang menjadi Perdana Menteri, kader PSI lainnya yang cukup menonjol adalah Sudarsono, Soepeno, Soemitro Djojohadikusumo, dan Sutan Mohammad Rasjid. Pada masa awal pemerintahan, mereka pernah menjabat sebagai menteri. Tak hanya di bidang politik, kader-kader PSI ternyata juga kuat di ranah kepenulisan. Tokoh-tokoh seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat K. Miharja, Rosihan Anwar, serta Mochtar Lubis, banyak mempengaruhi opini masyarakat.

Sutan Syahrir

Partai Komunis Indonesia (PKI) juga bisa dibilang sebagai partai kader yang berhasil. Meski tak semencolok kader-kader PSI, namun anggota PKI banyak pula yang duduk sebagai menteri. Disamping itu yang perlu menjadi catatan, kombinasi antara intelektulaitas dan militansi kader, telah mengantarkan partai ini menjadi pemenang keempat pada Pemilu 1955. Padahal tujuh tahun sebelumnya, partai ini dibungkam setelah melakukan pemberontakan di Madiun. Beberapa kader PKI yang cukup menonjol dan mampu mempengaruhi Bung Karno, antara lain Lukman, Njoto, dan tentu saja D.N. Aidit. Sama seperti PSI, orang-orang PKI juga memiliki penulis-penulis yang handal. Sebut saja misalnya Rivai Apin dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya merupakan sastrawan terkenal di zamannya. Mereka berkumpul di bawah naungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan menerbitkan koran Harian Rakyat serta majalah Bintang Merah.

Meski Syahrir merupakan motor utama PSI, namun tak ada kultus individu dari para anggota dan simpatisannya. Itulah mengapa, kalangan intelek-rasional menyukai partai ini. Kuatnya dukungan kaum intelek terhadap PSI, dibuktikan dengan menangnya mereka pada Pemilu 1955 di kawasan elit Menteng, Jakarta. Pada tahun itu, boleh dikatakan Menteng merupakan tempat bermukimnya para intelektual Indonesia yang terkemuka. Meski partai ini sudah dibubarkan pada tahun 1960, namun hingga saat ini para keturunan anggota partai masih sering berkumpul. Banyak pula politisi-politisi kekinian yang menyerap ide sosialis Sutan Syahrir. Salah satunya adalah Fadjroel Rachman, yang kini menjabat sebagai juru bicara kepresidenan. Ketertarikan Fadjroel dengan sosialis, bermula ketika ia membaca buku Sosialisme Pembangunan karya Sutan Syahrir. Lalu pada tahun 1990, ia bergabung dengan Forum Demokrasi yang kemudian memperkenalkannya dengan Marsilam Simanjuntak, Rahman Tolleng, serta Todung Mulya Lubis. Sejak saat itu, Fadjroel masuk ke dalam habitat PSI. Dan pola pikir sosialisme, telah mempengaruhi ideologi serta jalan politiknya hingga hari ini.

* * *

Melihat gonjang ganjing Partai Demokrat akhir-akhir ini, saya jadi bertanya-tanya : apa sih sebenarnya yang dicari oleh para politisi itu? Bukankah dibangunnya partai politik bertujuan untuk mengkader calon-calon pemimpin negara. Kalau hanya sekedar mencari kuasa atau hendak melanggengkan politik dinasti, jangan bermimpi Partai Demokrat akan dikenang masyarakat. Yang ada malah menjadi cemoohan banyak orang. Dalam konteks ini, mungkin kita perlu belajar dari sejarah PSI. Meski telah dikubur 61 tahun lalu, namun semangat dan ideologinya masih hidup hingga saat ini.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s