Konflik Rusia-Ukraina sudah memasuki bulan keempat. Namun hingga saat ini kita belum melihat tanda-tanda bahwa konflik ini akan berakhir. Sebagian pihak menilai, bahwa konflik ini memang ada yang mengipasi agar pihak yang menangguk untung bisa mendapat profit lebih banyak lagi. Dalam catatan sejarah, konflik antara Rusia-Ukraina bukan terjadi baru-baru ini. Tapi sudah berlangsung sejak tahun 2014 lalu. Dimana ketika itu Rusia menganeksasi Semenanjung Krimea yang merupakan bagian dari Ukraina. Latar belakang konflik tersebut dipicu oleh keinginan etnis Rusia di Krimea yang ingin bergabung dengan Rusia. Entah benar entah tidak, konon katanya keinginan tersebut hanyalah setting-an penguasa Moskow agar Rusia bisa menguasai Laut Hitam. Kalau ditarik lebih jauh lagi, sebenarnya perseteruan antara dua negara bertetangga itu telah berlangsung lama, yakni ketika Kekaisaran Rusia berkuasa. Kala itu rakyat Ukraina acap di-bully oleh para tsar Rusia. Setelah Kekaisaran Rusia runtuh di tahun 1917, Ukraina-pun tak otomatis menjadi negara berdaulat. Mereka dipaksa masuk ke dalam federasi Uni Sovyet yang dipimpin oleh Rusia.
Meski beberapa penguasa Soviet ada yang berdarah Ukraina, namun sebagian besar masyarakat Ukraina tak nyaman berada di bawah bayang-bayang Rusia. Ukraina menganggap Rusia sebagai tetangga yang resek, yang maunya menang sendiri. Akibat ketidaknyamanan itu, setelah merdeka di tahun 1991 Ukraina bertekad untuk bergabung dengan masyarakat Barat – dalam hal ini NATO dan Uni Eropa. Melihat keinginan Ukraina yang hendak bergabung dengan blok Barat, membuat Rusia ketar-ketir. Vladimir Putin — presiden Rusia — takut, jika Ukraina masuk NATO, maka Amerika akan menjadikan negeri itu sebagai basis pangkalan militernya. Ini tentu akan mengancam keamanan dan stabilitas Rusia. Mengingat Ukraina merupakan halaman depan yang berbatasan langsung dengan Rusia. Karena itulah, maka berkali-kali Putin meminta Zelensky (presiden Ukraina) untuk tidak bergabung dengan NATO. Namun karena Ukraina merasa sebagai negara berdaulat — yang sudah tak nyaman dengan perundungan yang diterimanya selama ini – keputusan bergabung dengan NATO-pun sudah menjadi tekad mereka. Buntunya perundingan antara Putin dan Zelensky, berujung pada invasi Rusia di akhir bulan Februari lalu.
Nah, dalam artikel kali ini kita tak akan membahas secara panjang-lebar mengenai sejarah dan politik perseteruan tersebut, namun hendak melihatnya dari sudut pandang ekonomi. Ini menarik! Karena dalam setiap krisis, selalu saja ada pihak-pihak yang menangguk untung. Untuk itu, kali ini kita akan mengulik pihak atau negara-negara mana saja yang beroleh untung atas peperangan tersebut. Mungkin Anda mengira bahwa Amerika-lah yang paling diuntungkan atas konflik tersebut. Mengingat selama ini, Amerika-lah yang paling gede mendapat cuan dalam setiap konflik yang terjadi di dunia. Dalam aksi kudeta di Irak serta Libya misalnya, perusahaan-perusahaan minyak Amerika seperti Chevron dan ExxonMobil, disebut-sebut banyak mendapat untung. Lebih jauh http://www.theguardian.com mengutip salah satu artikel berbahasa Rusia yang berjudul “Bombing of Libya” menyatakan, bahwa invasi Amerika ke Irak dan Libya sebenarnya karena pemimpin kedua negara tersebut menolak menerima mata uang Amerika dalam pembelian minyak. Amerika yang sejak tahun 1970-an telah mempertahankan hegemoni US Dollar, merasa terancam dengan pembangkangan Saddam Hussein dan Gaddafi. Dalam konflik kali ini, kita belum melihat seberapa besar keuntungan yang bakal dipetik perusahaan-perusahaan negeri Paman Sam. Namun saya yakin, nantinya Amerika akan mendapat untung dari perang ini. Baik secara geopolitik, maupun ekonomi.
Yang sudah terlihat di depan mata, justru adalah perusahaan-perusahaan asal India. Negeri asal Bollywood itu mengambil keuntungan lewat perusahaan minyak milik Mukesh Ambani : Reliance. Diblokadenya penjualan minyak dari Rusia ke negara-negara Eropa, ternyata menjadi berkah tersendiri bagi India. Gara-gara blokade itu, Rusia menjual minyak mentahnya ke negara-negara Asia. Berdasarkan laporan media daring http://www.apnews.com, jika pada bulan Februari India hanya mengimpor 100.000 barel minyak dari Rusia, maka di bulan April lalu India telah mengimpor sebanyak 370.000 barel per hari. Padahal sepanjang tahun 2021, India hanya mengimpor 12 juta barel. Meski harga minyak bumi di pasaran telah mencapai USD 120 per barel, namun India cuma memperolehnya dengan harga USD 30 – USD 35 per barel. Akibat selisih harga yang cukup besar, Reliance bisa membukukan laba hingga USD 2,1 miliar pada triwulan pertama tahun 2022.
Dalam konflik ini, India memang sedikit cerdik. Mereka berani melawan hegemoni Barat dengan memilih abstain saat voting sidang umum PBB. Keputusan itu tentu membuat dunia Barat terperangah, karena selama ini India dikenal dekat dengan blok Barat. Ternyata keputusan India untuk tak berpihak dalam konflik ini merupakan strategi Narendra Modi. Modi telah membaca bahwa negara-negara Barat akan mengenakan sanksi kepada Rusia, yang berujung pada sulitnya negara beruang putih itu memasarkan produk-produk migasnya. Melihat tingkah India yang justru menangguk untung, Washington-pun kebakaran jenggot. Dalam pertemuan menteri luar negeri dan pertahanan di bulan April lalu, Menteri Luar Negeri Amerika : Antony Blinken sempat mewanti-wanti India. Ia meminta agar India tak berlebihan dalam membeli minyak Rusia.
Mendengar kritikan itu, nampaknya India tak ambil pusing. Mereka tetap anteng-anteng saja membeli minyak mentah dari Rusia. Bulan Mei lalu, India bahkan mengimpor 870.000 barel minyak mentah setiap harinya. Ini artinya, naik hampir 2,5 kali lipat dari bulan sebelumnya. Minyak-minyak tersebut kemudian dikirim ke kilang Sika dan Jamnagar untuk diolah menjadi produk jadi. Meningkatnya impor minyak mentah ke India, tentu tak seluruhnya mampu diserap oleh pasar dalam negeri mereka. Akibatnya, sebagian dari minyak tersebut kemudian di ekspor ke negara lain. Tahukah Anda kemana minyak-minyak itu dijual? Ternyata, 20%-nya justru dijual ke pasar Eropa dan Amerika. Jadi meskipun Amerika dan Eropa memboikot pembelian minyak dari Rusia, namun secara tak langsung mereka membeli minyak Rusia melalui India.
Selain India, ternyata China juga membeli minyak Rusia dalam jumlah besar. Dari laporan http://www.bbc.com disebutkan, 55% impor minyak China pada bulan Mei lalu datang dari Rusia. Ini menggantikan posisi Saudi Arabia yang sebelumnya menjadi pemasok terbesar China. Langkah negeri tirai bambu itu membeli minyak Rusia dalam jumlah besar, agaknya didorong oleh rasa solidaritas kedua negara. Mengingat hubungan bilateral Rusia-Tiongkok yang sudah cukup erat sejak negeri itu menjadi negara komunis. Ini terlihat dari permintaan dalam negeri Tiongkok yang sebenarnya slow, namun pemerintah Xi Jinping tetap membeli minyak dalam jumlah besar. Berbeda dengan India yang memberikan konsensi impornya kepada perusahaan swasta, di Tiongkok duo perusahaan negara Sinopec dan Zhenhua-lah yang ditugasi untuk menampung minyak Rusia. Hingga tulisan ini diturunkan, kami belum memperoleh data seberapa besar keuntungan yang didapat oleh dua perusahaan tersebut. Namun setidaknya, China telah membeli minyak mentah Rusia dengan harga diskon.
Lalu Indonesia Dapat Apa?

Harga sawit dalam satu tahun terakhir. Setelah perang Rusia-Ukraina pecah sempat naik 55%, dan kini kembali drop.
Kalau negara-negara lain seperti India serta China sudah menangguk untung dari konflik ini, lalu bagaimana dengan Indonesia. Apa yang bisa kita peroleh dari krisis ini? Memang kita mendapat windfall profit dari kenaikan harga komoditi seperti sawit dan batubara. Tapi itu kan fluktuatif. Harga sawit saja dalam seminggu terakhir ini justru anjlok. Gak tau bagaimana dengan batubara ke depannya. Lalu selain itu apa lagi? Kalau kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia pada tanggal 26-28 Juni ini hanya sebagai juru damai, rasanya kok sayang banget ya. Sudah seharusnya presiden juga menggandeng para pelaku bisnis untuk melihat peluang yang bisa kita peroleh setelah konflik ini berakhir. BUMN-BUMN kita yang biasa mengerjakan konstruksi, harus berpikir pula bagaimana caranya agar bisa mengerjakan proyek infrastruktur di Ukraina. Jangan Amerika, India, dan China saja, kita juga harus bersikap pragmatis dan ekspansif. Saya berharap presiden Jokowi yang memiliki mindset bisnis, bisa menangkap peluang ini.