Kantor pusat VOC di Batavia (sumber : skyscrapercity.com)

Kantor pusat VOC di Batavia (sumber : skyscrapercity.com)

Dalam berbagai seminar, pelatihan, atau temu wicara, kita masih sering mendengar pernyataan yang mengatakan bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Anehnya, pernyataan ini sering dilontarkan oleh para akademisi, yang telah malang melintang melakukan penelitian baik di dalam maupun luar negeri. Menurut saya pernyataan semacam ini terasa seperti merendahkan derajat bangsa sendiri. Bagaimana tidak, Belanda yang hanya seukuran Propinsi Sumatera Barat, dengan jumlah penduduk yang tak mencapai 1/15 penduduk Indonesia (dihitung berdasarkan perkiraan tahun 2014), namun bisa menguasai kita selama itu. Bagaimana ceritanya? Lalu ngapain saja nenek moyang kita selama 14 generasi? Benarkah mereka rela dikuasai oleh sebuah bangsa kecil, yang berasal dari negeri nun jauh disana. Selama tiga setengah abad.

Selain merendahkan derajat bangsa, pernyataan itu juga ahistoris. Tak sesuai dengan fakta sejarah, baik yang diteliti oleh sejarawan asing maupun ahli sejarah lokal. Salah satu sejarawan yang sering mengoreksi pernyataan tersebut adalah Taufik Abdullah. Yang menarik, Taufik justru terinspirasi oleh G.J Resink, salah seorang guru sejarah berkebangsaan Belanda yang memperkenalkan pendekatan hukum internasional dalam menelaah sejarah kolonialisme. Baiklah, sebelum kita menggali fakta mengenai kekuasaan Belanda di Nusantara, harus diketahui bahwa bangsa ini baru terbentuk pada tahun 1945. Sebelum itu, yang ada hanyalah kerajaan-kerajaan yang terbentang mulai dari Aceh hingga Maluku. Dan kerajaan-kerajaan itupun memiliki sejarahnya masing-masing. Mulai dari pembentukan, masa kejayaan, hingga persinggungannya dengan orang-orang Eropa. Pada akhirnya memang sebagian besar kerajaan-kerajaan itu jatuh ke dalam kekuasaan Hindia-Belanda. Namun untuk waktunya, tentu bukan 350 tahun. Kalau tak percaya, mari kita telusuri satu per satu.

 
* * *

Banten merupakan kerajaan pertama yang didatangi oleh para pelaut Belanda. Menurut catatan H. L. Wesseling, kapal-kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman tiba di Banten pada tahun 1596. Agaknya masa inilah yang dipercaya menjadi awal mula penjajahan Belanda di Indonesia. Namun apakah benar pada tahun itu Belanda sudah menjajah Banten? Kalau Anda membaca kisah perjalanan de Houtman, justru baru sebentar dia tiba di Banten, ia langsung diusir oleh sultan dan rakyat setempat. Hal ini disebabkan oleh perangainya yang buruk. Ia kemudian pergi berlayar ke pantai utara Jawa, terus ke Madura, dan Bali. Dalam perjalanan pulang ke Belanda, ia sempat singgah di Aceh. Namun disana malapetaka menimpa dirinya. Ia mati terbunuh oleh pasukan Inong Balee pimpinan Malahayati. Kalau pimpinan pelautnya saja justru tewas di tangan salah satu putri terbaik Indonesia, lalu bagaimana bisa Belanda mulai menjajah kita di tahun itu.

Selain Banten, Kepulauan Maluku juga merupakan pijakan pertama Belanda di Nusantara. Disinilah mereka bisa memperoleh cengkeh serta buah pala dengan harga yang murah. Sebelumnya mereka harus mendapatkan itu dari berbagai rantai pemasok. Entah dari pedagang Arab, Persia, atau Gujarat. Karena diperoleh dari tangan ketiga atau keempat, biasanya harga cengkeh yang didapat sangatlah mahal. Dengan membeli dari produsennya langsung, Belanda telah memotong banyak jalur distribusi. Untuk menekan harga lebih murah lagi, mereka juga memonopoli pembelian komoditi tersebut. Caranya, dengan kekuatan militer atau serangkaian diplomasi.

Menurut Daron Acemoglu dan James Robinson dalam bukunya “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty“, Belanda berhasil melakukan serangkaian negosiasi dengan banyak sultan agar tak menjual rempah-rempahnya ke pihak lain. Mereka tak segan-segan untuk menyuap atau menjanjikan jabatan bagi para pangeran, demi memperoleh hak monopoli tersebut. Termakan bujuk rayu Belanda, banyak orang-orang oportunis di Maluku yang akhirnya mau berkolaborasi dengan mereka. Setelah berhasil menyingkirkan Portugal, pada tahun 1610 perusahaan dagang Belanda : VOC mendirikan pos perdagangannya di Ambon. Meski sejak itu Belanda berhasil “memaksa” raja-raja Maluku untuk berbisnis dengan mereka, namun secara politik raja-raja itu tetaplah independen. Kesultanan Tidore misalnya, ketika di bawah pimpinan Sultan Nuku justru memanfaatkan kehadiran orang-orang Eropa untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.

Setelah bertapak di Maluku, Belanda kemudian melakukan ekspansi bisnis ke wilayah lain di Nusantara. Karena Ambon dinilai kurang strategis, maka VOC kemudian memutuskan untuk memindahkan pusat operasionalnya ke Batavia (sekarang Jakarta). Pada tahun 1611 atas seizin sultan Banten, Belanda membangun kompleks perkantoran, gudang, serta benteng di kota ini. Dari benteng inilah, pemimpin VOC Jan Pieterszoon Coen menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya. Ia kemudian memperluas area benteng serta menjadikannya sebuah kota, lengkap dengan pemukiman, pasar, dan balai kota. Luas kota tersebut hanyalah sebesar kawasan Kota Tua sekarang ini. Ditambah beberapa pulau di lepas pantai : Onrust, Cipir, Bidadari, dan Kelor, yang dijadikan benteng untuk menangkal serangan dari laut.

Pada tahun 1621, VOC mendirikan pemerintahannya sendiri di Batavia (stad Batavia). Meski Belanda berhasil menguasai secuil daratan di ujung Ciliwung, namun bukan berarti mereka telah menguasai Indonesia. Malah hingga pertengahan abad ke-18, Batavia kerap menjadi sasaran serangan raja-raja Mataram. Raja Mataram terbesar : Sultan Agung, pernah dua kali menyerang kota ini, yakni pada tahun 1628 dan 1629. Walau keduanya mengalami kegagalan, namun wabah kolera yang disebarkan oleh pasukan Mataram telah membunuh Jan Pieterszoon Coen. Sejarah kemudian mencatat, serangan itu merupakan serangan pertama bangsa Indonesia dengan menggunakan senjata biologis.

Setelah memperkuat kedudukannya di Batavia, Belanda kemudian melayangkan pandangannya ke Malaka. Lagi-lagi lawan yang mereka hadapi adalah Portugal. Memasuki abad ke-17, Portugal tak lagi menjadi kekuatan yang ditakuti. Kota-kota yang sebelumnya menjadi kekuasaan mereka, banyak yang beralih ke pihak lain. Satu diantaranya adalah Malaka di Semenanjung Malaya (Lihat : Persaingan di Selat Malaka (1641-1824)). Meski Belanda berhasil menguasai kota itu, namun teritorinya tak lebih dari kawasan Bandar Hilir di muara Sungai Malaka. Diluar itu masyarakat tetap hidup merdeka, dan malah sering terjadi kerja sama antara VOC dengan Kesultanan Johor. Penguasaan Belanda atas kota ini sebenarnya untuk kepentingan strategis belaka. Agar tak ada dominasi bangsa lain terhadap Selat Malaka. Sebagaimana diketahui, pada abad ke-17 perairan ini merupakan jalur perdagangan tersibuk yang menghubungkan Eropa dan India dengan daratan China. Oleh karenanya penguasaan atas Malaka menjadi prioritas para pedagang Eropa. Mulai dari Portugal, Belanda, kemudian Inggris.

Van Heutsz memimpin penaklukan Aceh (sumber : Collectie Tropenmuseum)

Van Heutsz memimpin penaklukan Aceh (sumber : Collectie Tropenmuseum)

Makassar juga merupakan kota di Nusantara yang berhasil masuk kekuasaan Belanda di abad ke-17. Sebelumnya kota ini sudah berkembang sebagai sentra perdagangan di kawasan Indonesia Timur. Menurut Anthony Reid dalam bukunya “Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680”, setidaknya sejak akhir abad ke-15 telah banyak berkumpul para pedagang “Melayu” dari Minangkabau, Pahang, Johor, Champa, dan Pattani di kota ini. Mereka tak hanya menjadi peniaga, namun juga sebagai administrator, ilmuwan, sastrawan, serta penyokong politik Kerajaan Gowa-Tallo. Oleh karenanya ketika kerajaan ini diserang Belanda, mereka juga ikut berperang mempertahankan Makassar. Setelah kota ini jatuh, mereka kembali ke tanah Melayu bersama sejumlah orang Bugis-Makassar. Sebagian adapula yang berpindah ke Brunei, Maluku, dan Filipina Selatan.

Mengenai penaklukan Makassar oleh Belanda, hal ini bermula dari perseteruan komunal masyarakat Sulawesi Selatan. Dimana Arung Palakka pangeran Kesultanan Bone, menghendaki agar negerinya lepas dari kekuasaan Gowa-Tallo. Melihat adanya peluang tersebut, VOC yang juga berhasrat untuk menguasai Makassar, menjalin kerja sama dengan Arung Palakka dan Arung Belo Tosa’deng. Aliansi itu kemudian menyerang Makassar pada tahun 1666 dengan kekuatan cukup besar. Menurut Leonard Andaya, Belanda mengerahkan 20 buah kapal yang mengangkut 1.860 orang tentara. Bersama mereka ikut pula 395 prajurit asal Ambon dan Bugis. Setelah berperang selama tiga tahun, VOC akhirnya berhasil menaklukkan Gowa-Tallo. Peperangan ini diakhiri dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan rakyat Makassar. Untuk memperkuat kedudukan Kompeni di kota ini, VOC kemudian membangun Benteng Rotterdam. Meski berhasil menguasai Makassar, namun hingga dekade pertama abad ke-20 kekuasaan Belanda tak lebih dari kawasan perkotaan. Mereka baru bisa menaklukan pedalaman Sulawesi Selatan, setelah Gubernur Jenderal Van Heutsz melakukan perang perluasan kekuasaan.

 
* * *

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Belanda tak pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun. Kalaupun mereka menguasai Ambon, Batavia, Makassar, atau Malaka, itupun bukan dari tahun 1596 – yang dipercaya sebagai awal penjajahan Belanda di Indonesia. Kalau begitu, mulai kapan Belanda menguasai Indonesia? Jawabannya bisa bermacam-macam, tergantung kerajaan/wilayahnya. Namun hampir sebagian besar wilayah Nusantara, masuk ke dalam kolonialisme Hindia-Belanda pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Itupun banyak dari kekuasaan Belanda yang tak berjalan efektif. Hal ini ditandai dengan terjadinya berbagai pemberontakan serta tak bekerjanya sistem politik ekonomi yang mereka lancarkan di beberapa wilayah taklukan.

Di Sumatera Barat misalnya. Walau telah menaklukan Kaum Paderi pada tahun 1838, Belanda tak mampu sepenuhnya mengontrol perdagangan di kawasan ini. Setelah pesisir barat dikuasai Belanda, orang-orang Minang kemudian berdagang melalui pantai timur yang masih merdeka. Terlebih kawasan ini merupakan koloni dagang mereka dan wilayah tradisional raja-raja Pagaruyung. Dari sini mereka kemudian berhubungan dengan para pedagang dari negeri-negeri lain, khususnya Inggris. Selain perdagangan, pemberlakuan pajak dan tanam paksa juga tak berjalan mulus. Setelah penerapan belasting, banyak masyarakat Minang yang kemudian memberontak. Diantara pemberontakan yang cukup mengguncang adalah Pemberontakan Kamang dan Manggopoh pada tahun 1908 serta Pemberontakan Silungkang 1927.

Satu lagi wilayah Hindia-Belanda yang banyak menimbulkan huru-hara adalah Banten. Setelah melakukan pemberontakan di tahun 1810, Banten kembali melakukan pemberontakan pada tahun 1926. Sebagaimana Pemberontakan Silungkang 1927, Pemberontakan Banten 1926 juga dimotori oleh kaum komunis. Menurut Chalid Salim yang dicatat oleh Yunus Yahya dalam bukunya “Peranakan Idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya”, kedua pemberontakan itu telah menimbulkan kepanikan yang luar biasa di kalangan orang-orang kulit putih. Di Batavia, banyak orang Belanda diliputi rasa cemas. Mereka takut keluar rumah dan lebih memilih untuk mengunci diri. Sejak dua pemberontakan itu, Belanda telah menangkap sekitar 20.000 orang rakyat Indonesia. Dari jumlah itu, 1.308 orang diasingkan (823 orang ke kamp Digul), dan 16 orang di hukum gantung (Lihat : Kisah Para Tahanan Digul).

Di Aceh, kekuasaan Belanda justru baru dimulai pada tahun 1904. Jika dihitung hingga tahun 1945, praktis Aceh hanya dikuasai Belanda selama 41 tahun. Dan ironisnya, biaya mahal yang dikeluarkan untuk menaklukan Aceh selama 31 tahun, tak terbayar dengan masa kekuasaan mereka yang singkat. Dalam rentang waktu tersebut, tak banyak kekayaan alam Aceh yang bisa dieksploitasi. Setelah “Serambi Mekkah” berhasil dikuasai, satu per satu kawasan lain di Nusantara mulai masuk ke dalam Hindia-Belanda. Daerah pedalaman dan pulau-pulau terpencil yang selama ini tak pernah menjadi perhatian Belanda, dengan segera ditaklukan. Raja-raja mereka yang kalah perang, dipaksa untuk menandatangani korte verklaring, sebuah perjanjian pendek yang berisi tentang penyerahan kedaulatan terhadap Hindia-Belanda. Hampir semua raja-raja di Kepulauan Maluku, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara menandatangani perjanjian itu.

Wilayah-wilayah yang berdaulat di tahun 1930

Wilayah-wilayah yang berdaulat di tahun 1930 (biru tua)

Jika di banyak wilayah, Belanda berhasil memaksakan kekuasaannya, di Sumatera Timur, Riau, dan Kalimantan Barat mereka tak pernah secara langsung menancapkan kuku politiknya. Bahkan hingga tahun 1945, kekuasaan raja-raja di kawasan itu masihlah berlangsung. Meski mereka tak lagi memiliki kekuatan militer yang berarti, namun secara politik raja-raja ini tetaplah berdaulat (zelfbesturen). Di Sumatera Timur, untuk membuka lahan-lahan perkebunan, pihak Belanda mesti meminta izin kepada raja Deli, Serdang, Langkat, atau Asahan. Bahkan tak cuma itu, dari hasil keuntungan perkebunan yang dikelola pihak asing, sultan juga memperoleh profit sharing yang tak sedikit. Jadi bagaimana caranya kita bisa menakar penjajahan Belanda di kawasan itu, kalau raja-rajanya saja masih memiliki kedaulatan dan mengatur perekonomian.

Berbeda dengan raja Siak di Riau yang langsung menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia, raja-raja di Sumatera Timur tetap ingin mempertahankan statusnya pasca kemerdekaan 1945. Walau posisi mereka hanya sebagai stempel kekuasaan Belanda, namun raja-raja itu tetap menghendaki agar posisinya bisa terus dipertahankan. Kekuasaan mereka dipaksa untuk berakhir, setelah terjadinya revolusi sosial 1946. Dalam peristiwa itu banyak anggota keluarga kerajaan Melayu yang terbunuh. Kesultanan lainnya yang juga menginginkan agar kedudukannya terus langgeng ialah Kesultanan Pontianak di Kalimantan Barat. Setelah Konferensi Meja Bundar, sultannya yang terakhir : Sultan Abdul Hamid II, menjadi salah satu penyokong terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun dengan adanya Mosi Integral Mohammad Natsir, republik yang hanya bertahan selama delapan bulan itu akhirnya dibubarkan. Dan negara-negara yang berada di bawah RIS – termasuk Kalimantan Barat — melebur menjadi negara kesatuan Republik Indonesia.

Iklan
Komentar
  1. zaaaatttopo berkata:

    awal penjajahan ?
    pertama kali dateng mereka itu hanya berdagang, kemudian merekalah yang membentuk konstitusi kedaulatan wilayah yang begitu luas kemudian mempersatukan dgn pola kenegaraan Hindia Belanda
    kalo pun ada perselisihan, menurut gw itu bukan penjajahan, karena penyebaran bahasa dulu bukan bahasa belanda, tetapi variatif tergantung kepada kesukuan, dan yang menjadi bahan penyebab perselisihan, dari konflik sosial sampai ke konflik dagang

    >> tolong tulisanmu diatas diperbaiki

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s