Sabtu, 31 Juli 2021, Google doodle kembali menampilkan tokoh Indonesia. Tokoh yang diangkat kali ini adalah Sariamin Ismail, seorang novelis angkatan Pujangga Baru. Sariamin atau yang lebih dikenal dengan nama penanya : Selasih, merupakan novelis perempuan pertama yang tercatat dalam sejarah Indonesia modern. Karyanya yang cukup populer : “Kalau Tak Untung”, dicetak oleh penerbit Balai Pustaka pada tahun 1933. Novelnya yang kedua “Pengaruh Keadaan”, terbit empat tahun kemudian. Berbeda dengan sastrawan sezamannya yang banyak menyoroti pernikahan yang terikat adat, cerita pada novel Selasih justru mengangkat kisah percintaan yang gagal. Novel terakhirnya “Kembali ke Pangkuan Ayah”, dirilis pada tahun 1986. Sebelum wafat, Sariamin sempat menerbitkan sebuah antologi puisi : “Ungu”.
Hingga akhir hayatnya, Selasih telah menerbitkan 6 buah novel dan 3 antologi puisi. Selain mengarang novel, ia juga aktif menulis di sejumlah surat kabar dan majalah. Diantaranya untuk Pujangga Baru, Panji Pustaka, Suara Kaum Ibu Sumatra, Sunting Melayu, Harian Persamaan, serta Bintang Hindia. Sariamin Ismail lahir di Talu, Sumatera Barat pada tanggal 31 Juli 1909. Jadi kemarin itu, Google memperingati hari ulang tahun beliau yang ke-112. Kalau Google saja mau mengenang jasa seorang perintis sastra Indonesia, mengapa kita tidak? Oleh karenanya dalam tulisan kali ini, kami akan mengangkat tema mengenai para pelopor sastra Indonesia modern. Mereka adalah orang-orang yang meneroka sekaligus mendirikan pondasi bagi pengembangan kesusastraan Indonesia modern. Tak hanya itu, mereka juga mengembangkan Bahasa Indonesia yang elok, yang berbeda dengan Bahasa Melayu pasar yang telah menjadi lingua franca di Nusantara. Siapa saja mereka? Yuk, ikuti cerita menarik selanjutnya.
Angkatan Pionir : Balai Pustaka
Dalam catatan sejarah, perkembangan sastra Indonesia modern ditandai dengan lahirnya angkatan Balai Pustaka. Tak ada catatan memuaskan yang bisa menerangkan mengapa dasawarsa 1920-an merupakan titik awal kesusastraan Indonesia modern. Padahal di masa sebelumnya, sudah banyak sastrawan Nusantara yang menulis cerita, syair, serta hikayat. Beberapa karya sastra yang terkenal antara lain Hikayat Aceh, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Nakhoda Muda, dan Tuhfat al-Nafis. Pada abad ke-19, kesusastraan Melayu (waktu itu belum dikenal istilah Indonesia) boleh dibilang sudah cukup berkembang. Di masa itu, penulisan menggunakan aksara jawi masih umum dipakai orang. Setelah tahun 1870, banyak cerita yang ditulis oleh kaum Indo dan peranakan Tionghoa di Batavia. Yang cukup terkenal adalah “Cerita Nyai Dasima”, karya G. Francis yang terbit tahun 1896. Saking populernya, cerita ini kemudian diangkat ke layar lebar oleh Lie Tek Swie (tahun 1929) dan Bachtiar Effendi (1932).
Memasuki dasawarsa 1920-an, karya sastra Indonesia terasa lebih berkelas. Pada masa ini, para penulis sudah mau mengikuti kaidah penulisan sastra modern. Seperti tak lagi digunakannya Bahasa Melayu pasar yang merupakan bahasa percakapan sehari-hari. Di masa itu, gaya bahasa yang dipakai sudah menggunakan Bahasa Melayu tinggi. Sehingga karya-karya sastra ketika itu bisa diterima oleh masyarakat luas. Perkembangan sastra Indonesia modern dimulai di Batavia. Meski Batavia menjadi pusat perkembangan sastra dan bahasa, namun banyak orang Minangkabau yang justru menjadi pegiatnya. Mereka yang ketika itu dilanda westernisasi, sering mempertentangkan adat dan pemikiran Barat dalam karya-karyanya. Marah Roesli, seorang dokter hewan yang juga keturunan bangsawan Pagaruyung, menulis roman pertamanya yang berjudul “Sitti Nurbaya”. Novel ini terbit pada tahun 1922, dan menurut H.B. Jassin menjadi tonggak lahirnya sastra Indonesia modern. Cerita yang diangkat dalam novel ini cukuplah sederhana. Cinta seorang gadis yang tak sampai, karena harus menikah dengan seorang rentenir yang menjerat ayahnya. Karena pesan yang disampaikan cerita ini begitu kuat, maka karya Roesli itupun meledak. Setelah Sitti Nurbaya, banyak sastrawan Indonesia yang kemudian menjadi penganjur modernisasi.
Penulis lainnya yang juga cukup produktif adalah Nur Sutan Iskandar. Nur bahkan tercatat sebagai sastrawan yang paling banyak menulis cerita. Muhammad Nur, begitu nama kecilnya, lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada tahun 1893. Karyanya yang pertama “Apa Dayaku, Karena Aku Perempuan” terbit satu tahun setelah Sitti Nurbaya. Lalu berturut-turut ia menerbitkan : “Cinta yang Membawa Maut” (1926), “Salah Pilih” (1928), dan “Abu Nawas” (1929). Namun karya-karyanya itu tak begitu populer. Meski Nur tercatat sebagai penulis yang prolifik, namun ia tak seterkenal Abdul Muis. Sebelum menjadi sastrawan, Abdul Muis merupakan politisi kawakan. Ia pernah menjadi anggota Volksraad dan merupakan salah satu politisi yang ditakuti oleh Belanda. Karena kegiatan politiknya dinilai berbahaya, ia kemudian diasingkan ke Garut. Di kota inilah ia kemudian menulis karya sastra yang sangat populer : “Salah Asuhan” (1928). Novel yang bercerita tentang perkawinan beda budaya itu, masih menjadi kajian para kritikus sastra hingga hari ini. Karena perjuangannya dalam meraih kemerdekaan dan kepeloporannya di dunia sastra, pada tahun 1959 ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional yang pertama.
Dalam khasanah sastra Indonesia, Roestam Effendi dikenal sebagai pembaharu sandiwara. Ia memperkenalkan model tonil, menggantikan komedi stambul yang banyak dimainkan ketika itu. Lewat sandiwaranya “Bebasari” (1926), tokoh kelahiran Padang tahun 1903 itu juga memperkenalkan gaya metaforik dalam penulisan cerita. Karena dianggap menyindir pemerintah kolonial, Bebasari sempat dilarang dipentaskan di Padang dan Batavia. Kegandrungan Roestam dalam dunia tulis menulis, juga terlihat dari sajak-sajak yang dihasilkannya. Pada tahun 1924, ia menerbitkan buku kumpulan sajak : “Percikan Permenungan”. Buku itu berisi 64 sajak, dimana 11 diantaranya ditulis dalam bentuk soneta. Sebelum Roestam menerbitkan Percikan Permenungan, dua tahun sebelumnya Muhammad Yamin telah menyusun buku kumpulan sajak : “Tanah Air”. Tanah Air berisi kumpulan sajak yang menggambarkan rasa kecintaannya terhadap tanah kelahirannya di Sumatera. Enam tahun kemudian, disaat Yamin terlibat aktif dalam Sumpah Pemuda, ia menerbitkan buku kumpulan sajak yang kedua : “Indonesia, Tumpah Darahku”. Selain menulis sajak, Yamin juga menulis cerita sandiwara “Ken Arok dan Ken Dedes” yang dipentaskan pada saat Sumpah Pemuda. Saudara Yamin, Djamaludin Adinegoro juga merupakan perintis sastra Indonesia modern. Dua novelnya yang terbit di tahun 1928 : “Asmara Jaya” dan “Darah Muda” secara terang-terangan menantang adat budaya yang kolot. Dua tahun setelah itu, Adinegoro menerbitkan novel “Melawat ke Barat” yang menjadi inspirasi anak-anak muda untuk pergi merantau dan melihat-lihat tanah Eropa.
Tulis Sutan Sati dan Merari Siregar juga terhitung sebagai sastarawan angkatan Balai Pustaka. Jika “Azab dan Sengsara” (1920) membawa Merari ke dalam jagat kesusastraan tanah air, maka “Sengsara Membawa Nikmat” (1928) telah mengantarkan Tulis sebagai sastrawan yang diperhitungkan. Berbeda dengan Sengsara Membawa Nikmat yang kemudian difilmkan pada tahun 1991, novel Azab dan Sengsara tak begitu populer. Para kritikus menilai novel ini gagal menampilkan karakter tokoh yang kuat, seperti halnya Datuk Maringgih pada Sitti Nurbaya atau Hanafi di Salah Asuhan. Sehingga karya tersebut tak banyak diulas orang. Satu lagi sastrawan Balai Pustaka yang namanya sayup-sayup terdengar adalah Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati. Pria kelahiran Bukittinggi tahun 1899 itu pernah menulis beberapa novel, puisi, dan cerita bersambung. Salah satunya adalah “Pertemuan” yang terbit di tahun 1927. Dalam menulis ia banyak menggunakan nama samaran atau singkatan, sehingga karya-karyanya sulit terlacak. Menurut Danardana, tulisan-tulisan Antares (salah satu nama samaran beliau) banyak dimuat di surat kabar Utusan Melayu dan Cahaya Sumatra.
Pujangga Baru, Sang Pembaharu
Dasawarsa 1930-an ditandai dengan lahirnya angkatan sastra yang baru, yang kemudian dikenal sebagai angkatan Pujangga Baru. Pujangga Baru sendiri adalah nama majalah sastra yang dikelola oleh Sutan Takdir Alisjahbana bersama dua kawannya, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Sutan Takdir adalah seorang sastrawan yang giat. Ia menulis beberapa novel diantaranya “Dian Tak Kunjung Padam” (1932), “Layar Terkembang” (1936), dan “Anak Perawan Di Sarang Penyamun” (1940). Ia juga menghasilkan banyak sajak yang dikumpulkan dalam buku “Tebaran Mega” (1935) dan “Lagu Pemacu Ombak” (1978). Selain sebagai sastrawan, Takdir juga dikenal sebagai seorang ahli tata bahasa yang memiliki andil cukup besar dalam memodernisasi Bahasa Indonesia. Karyanya yang cukup fenomenal “Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia” (1936) menjadi acuan para linguistik dalam menyusun grammar Bahasa Indonesia. Setelah masa kemerdekaan, Takdir semakin rajin membina perkembangan bahasa, salah satunya lewat majalah Pembina Bahasa. Armijn Pane dan abangnya : Sanusi Pane, juga tercatat sebagai sastrawan Pujangga Baru. Keduanya memiliki ketertarikan dalam menulis puisi. Berbeda dengan Armijn yang sempat menerbitkan novel “Belenggu” (1940), tak satupun novel yang dihasilkan oleh Sanusi. Amir Hamzah, juga seorang penulis puisi yang terkenal. Bangsawan Langkat itu telah menerbitkan 50 buah puisi dan 18 puisi prosa. Malang umurnya tak begitu panjang. Ia mati terbunuh saat revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946 (Lihat : Revolusi Sosial 1946 dan Runtuhnya Kesultanan di Sumatera Timur).
Selain empat sastrawan di atas, angkatan Pujangga Baru juga melahirkan Sariamin Ismail yang telah kita ulas di permulaan artikel ini. Lalu ada Aman Datuk Madjoindo, yang juga merupakan seorang sastrawan produktif. Ada lebih 20 buku yang telah dihasilkan penulis kelahiran Solok tahun 1896 itu. Yang paling terkenal adalah “Si Doel Anak Betawi” (1956), yang kemudian diangkat ke layar kaca oleh Sjumandjaja dan Rano Karno. Sebelum menulis Si Doel, Aman telah menerbitkan beberapa buah novel. Diantaranya “Menebus Dosa”, “Sebabnya Rafiah Tersesat”, dan “Si Cebol Rindukan Bulan”. Semuanya itu terbit pada tahun 1930-an. Sastrawan asal Bali, Anak Agung Pandji Tisna, juga melahirkan beberapa novel sebelum perang, diantaranya “Ni Rawit Ceti Penjual Orang” (1935) dan “Sukreni Gadis Bali” (1936). Novelnya yang kedua sempat diangkat ke layar sinetron dan tayang pada tahun 1992. Kemudian ada J.E. Tatengkeng, sastrawan asal Sangir yang terkenal lewat kumpulan sajaknya “Rindu Dendam” (1934), Soeman Hs yang menulis novel “Percobaan Setia” dan “Mencari Pencuri Anak Perawan” (keduanya terbit di tahun 1931), serta Karim Halim yang menghasilkan novel “Palawija” (1944).
Meski tak termasuk tiga serangkai Pujangga Baru, namun dalam dunia kepengarangan, nama Hamka lebih santer terdengar. Hal ini karena cerita bersambung “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” yang diterbitkan oleh majalah Pedoman Masyarakat di tahun 1938. Cerita yang sempat menjadi buah bibir di dekade 1930-an itu, telah melambungkan namanya sebagai sastrawan terkemuka. Tak hanya di Indonesia, di negeri jiran Malaysia-pun karya sastranya sangat diminati. Sebelum menjadi ulama yang disegani, Hamka mengawali kariernya lewat dunia sastra. Sukses dengan cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, ia kemudian menulis cerita “Di Bawah Lindungan Ka’bah” (1938), “Merantau ke Deli” (1939), dan “Tuan Direktur” (1939). Semua ceritanya itu punya kesan yang mendalam, sehingga masih digandrungi oleh khalayak luas hingga hari ini. Bahkan dua karyanya yang paling populer : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah, sempat diangkat ke layar lebar (Lihat : Dalam Kenangan : Buya Hamka).