Pemerintah akhirnya menambal biaya pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dengan APBN. Keputusan itu diambil setelah adanya pembekakan dana dalam pembangunan proyek tersebut. Tak tanggung-tanggung, uang negara yang digelontorkan mencapai Rp 27,74 triliun. Pembekakan ini dinilai oleh sebagian ekonom sebagai bentuk kurangnya perencanaan pemerintah. Seperti yang dilansir dari bisnis.com, pada tahun 2015 biaya pembangunan kereta cepat ditaksir sekitar USD 6,07 miliar atau setara Rp 86,5 triliun. Namun kini biayanya menggembung jadi USD 8 miliar (Rp 114,24 triliun). Menurut media daring tersebut, suntikan dana dari APBN itu dikhawatirkan akan menambah lagi hutang pemerintah. Bahkan dalam sebuah dialog virtual, ekonom Faisal Basri mengatakan kalau proyek ini tak akan balik modal sampai kiamat.
Merespons munculnya kritik dari banyak pihak, beberapa pejabat pemerintah-pun kemudian angkat bicara. Salah satunya adalah Septian Hario Seto, seorang pejabat di Kementerian Kemaritiman dan Investasi. Menurutnya pembengkakan ini terjadi lantaran ada beberapa hal yang diluar perkiraan. Salah satunya adalah terkait pembebasan lahan. Dari keseluruhan biaya yang digelontorkan, sekitar Rp 15 triliun-nya tersedot untuk itu. Lalu kendala teknis, seperti pengeboran terowongan yang terbentur oleh adanya batu keras, sehingga tak bisa dikerjakan dengan cara biasa. Lebih lanjut Seto membeberkan, pembengkakan ini wajar terjadi di pembangunan proyek kereta cepat di banyak negara. Karena ada hal-hal yang tak dapat diprediksi sedari awal.
Sebagai informasi, saat ini proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sudah selesai 80%. Artinya tinggal 20% lagi, maka proyek ini sudah bisa digunakan oleh publik. Berbeda dengan proyek kereta cepat Kuala Lumpur-Singapura yang saat ini dihentikan, Presiden Joko Widodo tak mau kalau proyek ini ikut-ikutan mangkrak. Uang yang dibenamkan untuk proyek ini sudah terlanjur besar, dan pengerjaannya tinggal sedikit lagi. Kalau proyek ini tak bisa digunakan, rasanya malah jadi mubazir. Menurut Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, seluruh pembangunan pilar dan pemasangan box girder akan selesai di awal tahun 2022. Kalau tak ada aral melintang, pada bulan Oktober 2022 sudah dapat diujicobakan. Dan di penghujung tahun depan sudah bisa dioperasikan secara komersial.
Memang pembangunan proyek ini boleh dibilang berdarah-darah. Menguras energi dan perasaan. Sama seperti halnya ketika pembangunan mass rapid transit (MRT) Jakarta yang juga sempat menimbulkan polemik. Kini setelah MRT fase pertama diluncurkan, tak ada lagi pihak yang mengkritik. Padahal pembangunan MRT fase dua masih berlangsung. Dan nilainya lebih mahal dari fase yang pertama. Lalu kemana mereka yang kemarin ribut-ribut? Sudah gak kedengaran. Mungkin karena mereka telah merasakan manfaat dari dibangunnya MRT. Dimana Jakarta jadi lebih efisien, lebih modern. Begitu pula halnya ketika pembangunan jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera. Banyak pula yang gak setuju. Tapi coba sekarang tanya ke para pengusaha dan supir truk. Hampir semuanya berkomentar positif.
Setelah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini selesai, rencananya akan diteruskan lagi hingga ke Surabaya. Dengan jarak Bandung-Surabaya yang hampir lima kali lipat Jakarta-Bandung, maka biaya pembangunannya diperkirakan menembus angka Rp 500 triliun. Memang terlihat sangat mahal. Tapi ini harus dinilai sebagai investasi jangka panjang. Jika kita menengok jaringan transportasi di Pulau Honshu atau bagian timur Tiongkok, maka Pulau Jawa sudah jauh tertinggal. Padahal tingkat kepadatan populasi di Jawa lebih tinggi dibandingkan kedua wilayah tersebut. Dan yang lebih menohok lagi, satu abad lalu jaringan transportasi di Jawa sudah lebih maju dibandingkan Jepang dan Tiongkok.
Agaknya kita perlu mencontoh Tiongkok, yang pada tahun 1997 pendapatan per kapitanya masih di bawah Indonesia. Namun kini sudah melesat meninggalkan kita di belakang. Awal mula berkembangnya Tiongkok, terjadi pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping. Kala itu Deng meliberalisasi ekonomi negeri tersebut besar-besaran. Ia membuka keran investasi dari negara manapun, untuk mau membenamkan dananya di Tiongkok. Sadar tak punya competitive advantage yang dapat menarik minat para investor, pemerintah China-pun menggenjot pembangunan infrastruktur. Dari jalan tol, bendungan, pembangkit listrik, hingga pelabuhan dan airport. Semuanya mereka geber. Tak ketinggalan kereta cepat yang butuh modal besar.
Tahun 2005, merupakan tonggak dimulainya pembangunan kereta cepat di China. Proyek pertamanya menghubungkan ibu kota Beijing dan Tianjin. Mirip-mirip seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, proyek Beijing-Tianjin berjarak 117 km. Proyek ini juga menghubungkan ibu kota negara dengan metropolitan di dekatnya. Semula proyek ini untuk mendukung Olimpiade 2008 di Beijing. Namun malah terus berlanjut ke kota-kota lainnya, hingga mencapai 38.000 km. Saat ini, China tercatat sebagai negara dengan jaringan kereta cepat terpanjang di dunia. Jauh melampaui Jepang yang sebelumnya dikenal sebagai “penguasa” kereta cepat. Kalau dihitung-hitung, darimana China bisa membangun proyek mahal sepanjang itu? Ya, pastinya dari penempatan modal negara dan pinjaman luar negeri. Tapi coba lihat dampaknya setelah itu. China menjadi salah satu negara paling efisien di dunia.
Kalau Faisal Basri bilang proyek kereta cepat gak bakal balik modal, jangan-jangan dia melihat dari kaca mata yang salah. Kalau dihitung dari ongkos penumpangnya saja, ya pasti “sampai kiamat” juga gak balik modal. Dengan kehadiran kereta cepat, tentu pemerintah ingin agar masyarakat di kedua kota tersebut dapat bergerak lebih efisien. Saat ini dengan mobil, rute Jakarta-Bandung bisa memakan waktu tempuh dua setengah jam. Bahkan di akhir minggu, bisa lebih dari itu. Dengan kereta api, tak jauh berbeda. Nah, dengan kereta cepat, nantinya cuma 40 menit. Ya, buat para pelaku ekonomi yang mengejar waktu, tentu ini sangat dibutuhkan. Sekarang kalau kita melihat kondisi jalan tol Jakarta-Cikampek, sudah sangat sesak. Truk dan bis memakan seluruh lajur jalan. Meski sudah ada rambu yang mengatur agar truk dan bis menggunakan lajur kiri, namun tetap saja banyak pengemudi yang bandel. Akibatnya mobil-mobil kecil sering menggunakan bahu jalan untuk mendahului. Untung ada tol layang yang hanya diperbolehkan untuk kendaraan kecil. Jadi agak sedikit tertolong (Lihat pula : Catatan Melintasi Tol Trans Jawa).
Kereta api Argo Parahyangan setali tiga uang. Saat ini rute Bandung-Gambir ditempuh selama 2 jam 40 menit. Padahal ini sudah kelas eksekutif. Kelas tertinggi. Saya tergelitik dengan tulisan Dahlan Iskan yang menantang manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mengoptimalkan rel ganda. Dalam tulisannya yang berjudul “Kereta Gaji”, Dahlan menantang KAI untuk memangkas waktu tempuh Jakarta-Surabaya menjadi 7 jam, yang saat ini masih 11 jam. Alasannya, lokomotif yang digunakan sekarang bisa digenjot hingga 130 km/jam. Sedangkan rata-rata kecepatan kereta Jakarta-Surabaya hanya 66 km/jam. Nah, tantangan ini juga berlaku untuk Jakarta-Bandung. Bisakah KAI memangkas waktu tempuhnya menjadi 1,5 jam? Saya rasa agak sulit. Di Cikampek saja, kereta masih sering tertahan lama untuk bergantian dengan kereta dari arah Cirebon. Terobosannya, harus dibuat jalur layang untuk mem-bypass lintasan dari/ke Cirebon. Persoalan berikutnya, antara Cikadongdong dan Padalarang harus segera dibangun jalur ganda. Masih ada lagi. Double-double track Cikarang-Manggarai harus benar-benar rampung. Kalau tidak, kereta jarak jauh masih berebut lintasan dengan KRL komuter.
Ini baru persoalan yang terlihat di depan mata. Yang kalau dihitung, opportunity loss-nya pasti sangat besar. Belum potensi yang bakal diperoleh dengan kehadiran kereta cepat. Seperti yang kita ketahui, kereta ini akan dimulai dari kawasan Halim dan Tegalluar. Dua kawasan pinggiran kota yang secara komersial masihlah murah. Kalau saja konsorsium BUMN bisa mengakuisisi lahan-lahan disana dan membangun beragam proyek properti, berapa keuntungan yang didapat. Belum lagi Karawang dan Padalarang yang rencananya akan menjadi tempat pemberhentian. Bisa akan semakin berkembang. Saya membayangkan, pada poros Jakarta-Bandung akan tumbuh kawasan-kawasan industri baru yang terintegrasi. Yang bisa menghasilkan aneka produk dengan nilai ratusan triliun setiap tahunnya. Saat ini boleh dibilang baru Cikarang yang sudah siap. Lalu, juga mulai Karawang. Padalarang belum ada yang melirik. Sebab belum ada infrastruktur pendukungnya. Nanti dengan adanya kereta cepat, bisa saja Padalarang akan menjadi teknopolis atau Silicon Valley-nya Indonesia. Seperti yang pernah digadang-gadang oleh Ridwan Kamil dalam kampanyenya.
Potensi lainnya yang juga tak terlihat adalah penilaian dunia terhadap Indonesia. Ini seperti sebuah pencitraan. Tetapi memang begitulah peradaban dibentuk. Orang tak kan mau melirik, kalau citranya tak menarik. Meski kereta cepat baru dibangun di Jawa bagian barat, namun ini akan membentuk imej Indonesia secara keseluruhan. Kita akan dikenal sebagai negara yang mampu beradaptasi dengan teknologi tinggi. Yang pada gilirannya akan mendongkrak value Indonesia di mata para investor. Coba tengok Vietnam. Negara yang tiga dekade lalu masih berkecamuk. Kini para investor lebih memilih Vietnam tenimbang Indonesia. Menurut catatan Gita Wirjawan, nilai penanaman modal asing di negara tersebut sudah mencapai USD 160 per kapita. Hampir dua kali lipat Indonesia yang cuma USD 91 per kapita. Ini kenapa? Karena mereka punya infrastruktur yang baik dan birokrasi yang handal. Kalau saja Indonesia tak mau berbenah — dengan menggenjot pembangunan infrastruktur yang sudah ketinggalan, maka jangan terkejut kalau sebentar lagi ekonomi Vietnam akan menyalip kita.