Ambisi Tiongkok dan Keengganan Jepang Dalam Mengembangkan Mobil Listrik

Posted: 23 Maret 2024 in Ekonomi Bisnis
Tag:, , , , , , ,

Tesla Y vs BYD Atto 3

Pada bulan Januari lalu, Asosiasi Mobil Penumpang Tiongkok merilis laporan jumlah penjualan kendaraan penumpang di negeri tersebut. Dalam laporan itu dinyatakan bahwa pada tahun 2023, Tiongkok untuk pertama kalinya menjadi eksportir kendaraan penumpang terbesar di dunia. Menurut laporan CNBC yang mengutip dari Wind Information, dinyatakan bahwa Tiongkok telah menjadi pemuncak eksportir kendaraan penumpang dengan jumlah yang diekspor mencapai 4,14 juta unit. Sementara itu Jepang — yang sebelumnya merajai kendaraan penumpang, hanya mengekspor 3,98 juta unit. Laporan itu juga menyebutkan kalau lebih dari 70% mobil yang diekspor masih berupa kendaraan berbahan bakar minyak. Kendaraan jenis ini sebagian besarnya ditujukan untuk pasar Rusia dan Meksiko. Berbeda dengan kedua negara tersebut, ekspor kendaraan Tiongkok ke Uni Eropa sudah berupa mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV). Belgia dan Inggris adalah dua negara pembeli terbesar mobil listrik buatan China.

Jika kita membedah merek kendaraan listrik yang diekspor, maka akan terlihat kalau jenama otomotif asal Amerika : Tesla, masih menjadi eksportir mobil listrik terbesar dari Tiongkok. Jumlahnya mencapai 344.078 unit. Lalu di peringkat kedua ada merek asli Tiongkok : BYD, yang telah mengekspor lebih dari 242.000 unit. Larisnya penjualan BYD di luar negeri disebabkan karena harganya yang miring. Jika dibandingkan dengan Tesla, maka harga jual BYD sekitar 20% – 30% lebih murah. SUV BYD Atto 3 misalnya, dibanderol dengan harga USD 51.011, sedangkan sedan Tesla model Y dijual seharga USD 65.400. Padahal keduanya memiliki spesifikasi yang hampir sama. Murahnya produk keluaran BYD, lantaran mereka mampu melakukan efisiensi biaya di segala lini. Terlebih Tiongkok telah memiliki ekosistem mobil listrik yang mumpuni, sehingga tak sulit bagi perusahaan besutan Wang Chuanfu itu untuk memenuhi komponennya dengan harga murah. Ini pulalah kemudian yang mendorong Tesla untuk membangun pabriknya di Shanghai, agar bisa bersaing dengan pabrikan mobil listrik asal China.

Saat ini China memang sedang giat-giatnya mengembangkan industri mobil listrik. Untuk pasar domestiknya saja, tahun lalu sudah ada sekitar 7,7 juta mobil listrik yang terjual atau setara 35% dari keseluruhan mobil yang terjual. Jumlah ini naik cukup signifikan jika dibandingkan tahun 2022 lalu yang masih di angka 27%. Selain BYD, merek mobil listrik China lainnya yang juga mulai unjuk gigi adalah Aion, Nio, Changan, Xpeng, Geely, dan Zeekr. Banyaknya pemain mobil listrik di Tiongkok, disebabkan adanya kebijakan pemerintah mereka yang memberikan subsidi kepada pihak yang mau mengembangkannya. Sehingga banyak pengusaha yang berlomba-lomba untuk mengambil peluang tersebut. Produsen handphone Xiaomi-pun kabarnya juga akan terjun ke bisnis mobil listrik.

Alasan pemerintah Tiongkok mendorong para pengusahanya untuk mengembangkan mobil listrik karena semakin besarnya impor minyak bumi mereka dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022 lalu tercatat Tiongkok telah mengimpor sekitar 10,17 juta barel setiap harinya, atau setara USD 300 miliar per tahun. Jumlah ini melonjak menjadi 11,28 juta barel per hari di tahun 2023 lalu. Kalau tak ada terobosan dari pemerintah untuk mendorong pengembangan mobil listrik, maka lama kelamaan keuangan China akan boncos. Kondisi serupa namun tak sama juga terjadi di Eropa. Dimana negara-negara di benua biru itu juga mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar. Namun berbeda dengan China yang bisa beroleh minyak Rusia dengan harga murah, kebijakan Uni Eropa yang memblokade perekonomian negara beruang merah tersebut telah menyebabkannya kesulitan mendapatkan pasokan minyak bumi.

Sementara itu kalau kita melirik Amerika Serikat, kondisi mereka tak semendesak China ataupun Uni Eropa. Selain karena mereka mengendalikan perdagangan minyak global, negeri ini juga memiliki cadangan minyak bumi yang cukup besar. Oleh karena itu sikap Amerika terhadap pengembangan mobil listrik terlihat seperti ambigu. Terlebih, masih ada kekuatan anti-mobil listrik yang sangat besar disana, seperti keluarga Rockefeller dan Donald Trump. Berbeda dengan para old money yang enggan terhadap pengembangan mobil listrik, generasi muda disana justru sangat antusias. Mereka berharap dengan kemunculan Tesla akan memberikan harapan baru bagi kebangkitan industri otomotif Amerika. Yang juga sempat menghebohkan namun akhirnya gagal adalah proyek Titan yang dikembangkan oleh CEO Apple : Tim Cook. Dalam proyek tersebut Cook berencana akan membuat Apple Car, sebuah mobil listrik otomatis (self-driving electric car) yang dilengkapi dengan full entertainment. Namun sayang setelah satu dekade berjalan, di akhir Februari lalu Apple terpaksa harus menghentikan ambisinya tersebut. Konon mereka hendak berfokus pada pengembangan teknologi kecerdasan buatan generatif, yang digadang-gadang akan menjadi teknologi masa depan. Keputusan ini tentu menggembirakan bagi Elon Musk, sebab ini akan memberikan peluang bagi Tesla untuk terus menjadi kampiun teknologi mobil listrik berbasis baterai.

Meski Tesla telah menjadi pelopor dan pemimpin teknologi dalam satu dekade terakhir, namun di tahun 2023 lalu BYD berhasil menyodok sebagai produsen mobil listrik terbesar. Perusahaan yang 7,96% sahamnya dimiliki oleh Warren Buffet itu, sudah menjual sebanyak 2,87 juta unit kendaraan di seluruh dunia. Sedangkan pesaingnya Tesla hanya berhasil menjual 1,81 juta unit dan BMW sekitar 500 ribu unit. Kalau kita menyigi daftar 20 produsen mobil listrik di tahun 2023 lalu, terlihat kalau produsen asal Jepang tak banyak yang muncul. Satu-satunya pabrikan asal negeri sakura yang masuk dalam daftar tersebut adalah Toyota. Itupun berada di urutan ke-19. Padahal saat ini Toyota merupakan produsen otomotif terbesar di dunia. Nah, kenapa Jepang tak terlalu bersemangat dalam mengembangkan mobil listrik, yuk kita ulas di bagian selanjutnya.

* * *

Pada bulan Januari lalu, Chairman Toyota Motor Corp : Akio Toyoda menyatakan bahwa masa depan industri otomotif akan dikuasai oleh mobil listrik hibrida (hybrid electric car) dan yang berbahan bakar hidrogen. Penjualan mobil listrik berbasis baterai menurutnya hanya akan menyumbang sekitar 30% dari keseluruhan penjualan global. Pernyataan tersebut disampaikannya setelah ia menerima kritik dari para pegiat lingkungan lantaran tetap bersikukuh untuk mengembangkan teknologi hibrida dan hidrogen. Pendapatnya tersebut tentu bukanlah tanpa alasan. Sebab saat ini ada sekitar satu miliar orang yang tinggal di wilayah tanpa listrik. Oleh karenanya ia berkeyakinan kalau kendaraan listrik bukanlah transportasi yang bisa digunakan semua kalangan. Meski ia condong pada teknologi mobil hibrida dan berbahan bakar hidrogen, namun saat ini Toyota juga ikut mengembangkan mobil listrik. Adanya berbagai macam varian teknologi yang mereka kembangkan, menurutnya agar masyarakat dapat memiliki beragam pilihan.

Jika kita menengok competitive advantage industri otomotif Jepang, maka akan terlihat kalau negeri ini telah memiliki ekosistem yang matang. Terlebih lagi Toyota, ia bukan cuma menjadi produsen mobil an sich, namun juga mengendalikan seluruh rantai pasok industri melalui holdingisasi, penempatan saham, dan berbagai model kepemilikan lainnya. Saat ini saja ada 18 perusahaan utama di bawah bendera Toyota Group yang menjadi pendukung pabrikan otomotif Toyota. Mereka antara lain Toyota Motor, Aichi Steel, Aisin, Denso, Daihatsu, serta Hino. Lalu perusahaan-perusahaan ini memiliki puluhan anak perusahaan lagi, yang kalau disatukan membentuk kelompok industri super yang sulit tertandingi. Dengan kekuatan ekosistem yang seperti ini, maka tak salah jika kemudian Toyota dapat melakukan pengendalian biaya tanpa harus mengabaikan kualitas produk-produknya. Selama beberapa dekade terakhir, produk Toyota memang telah identik dengan “murah dan dapat diandalkan”. Dan ini bisa terjadi karena organisasi mereka yang saling support.

Nah sayangnya, dari perusahaan-perusahaan tersebut sedikit sekali yang bakal diuntungkan dengan adanya pengembangan mobil listrik. Diproduksinya kendaraan listrik berbasis baterai secara massal, tentu akan membunuh industri pendukung seperti pembuat exhaust system, sistem ECU, sistem turbocharging, sistem piston, poros engkol, tangki bahan bakar, transmisi otomatis, dan sebagainya. Kalau para produsen ini tak lagi berproduksi, bisa dibayangkan berapa ratus ribu karyawan yang akan menganggur, berapa juta yen investasi yang akan menguap sia-sia, serta berapa banyak potensi pendapatan pemerintah yang bakal hilang. Dan inilah yang menjadi kekhawatiran para stakeholder di negeri matahari terbit.

Mobil hibrida Toyota Corolla Cross

Selain dari sisi bisnis, dari segi teknis-pun nampaknya Jepang belum begitu siap. Kapasitas listrik yang mereka punya agaknya belum mencukupi jika seluruh negeri menggunakan mobil listrik berbasis baterai. Terlebih masyarakat Jepang tak mau ada pembangkit listrik teknologi nuklir, pembangkit yang bisa menghasilkan listrik secara cepat dan murah. Secara hunian-pun kini mayoritas masyarakat urban Jepang tinggal di apartemen-apartemen bertingkat. Jika elektrifikasi ini dijalankan 100%, bagaimana sulitnya mereka men-charge baterai mobil. Karena sebagian besar apartemen disana tak dilengkapi dengan infrastruktur pendukung pengisian baterai mobil. Lalu perusahaan otomotif-pun juga harus menyediakan ribuan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) di seluruh Jepang. Kecuali kalau teknologi baterai sudah semakin maju, dimana baterai sudah bisa dibawa kemana-mana (portable), maka ceritanya akan berbeda. Ini pulalah sebenarnya tantangan yang dihadapi oleh negara-negara yang akan menggunakan mobil listrik secara massal, termasuk Indonesia.

Meski Toyota telah mengembangkan mobil listrik hibrida dan hidrogen sejak 30 tahun lalu, namun nampaknya mereka belum mampu menghasilkan produk yang memuaskan. Pasalnya, sebagian besar mobil keluaran Jepang saat ini masih didominasi oleh kendaraan berbahan bakar bensin. Walaupun begitu mereka terus menginvestasikan sumber dayanya di kedua teknologi tersebut. Berbeda dengan Eropa dan China yang getol mengembangkan mobil listrik berbasis baterai, agaknya Jepang sedang mencari jalan ninjanya sendiri. Mereka seperti bertaruh, kalau kendaraan hibrida dan hidrogen akan menjadi kendaraan masa depan yang dapat mengurangi emisi CO².

Lihat pula :
Perang Mikrochip, Upaya Amerika Menjegal Teknologi Tiongkok

Tinggalkan komentar