ESPN memberitakan kemenangan Indonesia

Tim Garuda Muda berhasil lolos ke semi final Piala AFC U-23, setelah berhasil mengalahkan tim kuat : Korea Selatan. Kemenangan itu lantas mendapat pujian dari pecinta sepak bola tanah air yang tak menduga kalau Indonesia bisa mengalahkan tim asal K-Pop tersebut. Yang cukup mengejutkan datang dari pengamat sepak bola luar negeri yang memberi acungan jempol terhadap kinerja tim Garuda Muda. Mereka bilang : sepak bola kita sudah naik level dan mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Meski di satu sisi apresiasi ini nampak seperti pujian, namun di sisi lain kita menyadari bahwa sepak bola kita memang jauh tertinggal. Maksudnya? Kalau saja Jepang atau Arab Saudi yang memenangkan pertandingan tersebut, mungkin orang tak kan bereaksi sedemikian rupa. Sebab kedua negara itu merupakan kampiun sepak bola Asia. Tapi giliran Indonesia yang menang, media sekelas ESPN-pun langsung bergemuruh. Kok bisa? Ya, karena sepak bola menjadi olah raga paling favorit di dunia, dan Indonesia selama ini cuma dipandang sebelah mata. Makanya ketika Indonesia lolos ke semi final — dan selangkah lagi berlaga di Olimpiade, media-media asing-pun langsung memberitakannya. Begitu tingginya atensi warga dunia terhadap sepak bola, sehingga negara-negara medioker seperti Pantai Gading, Senegal, atau Jamaika, bisa terkenal.

Selain sepak bola, ajang Formula One (F1) dan MotoGP juga bisa mendongkrak pamor suatu negara. Namun sayangnya tak ada satupun pembalap Indonesia yang berlaga di ajang tersebut. Di tahun 2016, kita punya pembalap Rio Haryanto yang berlaga di Formula One. Meski gak pernah menang, namun bendera merah putih selalu terpampang di layar kaca ketika Rio berhasil menyelesaikan lomba. Untuk balap motor, Indonesia baru menempatkan wakilnya di Moto2 — satu level di bawah MotoGP – yang tahun ini diwakili oleh Mario Suryo Aji. Meski tak ada pembalap kita yang berlaga di F1 atau MotoGP, namun sejak tahun 2022 Indonesia sudah menjadi penyelenggara MotoGP. Selanjutnya Indonesia akan mencalonkan diri sebagai penyelenggara F1, yang rencananya akan digelar di Bintan atau Pantai Indah Kapuk, Jakarta.

Kalau sepak bola, balap mobil, atau balap motor belum bisa mengangkat nama Indonesia, lalu apakah bulu tangkis bisa menggantikannya? Jika kita melihat jumlah penonton serta hadiah yang diberikan, olah raga tepok bulu yang menjadi handalan kita itu masih jauh dari ketiga cabang tersebut. Jangankan dengan sepak bola, dari tenis saja bulu tangkis masih kalah pamor. Jika kita membandingkan Wimbledon dengan All England misalnya, total hadiah kedua even tersebut sangatlah timpang. Wimbledon bisa memberikan total hadiah hingga mencapai GBP 44,7 juta atau setara Rp 854 miliar. Sedangkan All England cuma USD 1,25 juta atau setara Rp 19,1 miliar. Dari segi pesertanya-pun juga agak jomplang. Bulu tangkis hanya diikuti dan dimenangkan oleh negara yang itu ke itu saja. Kalau gak China, Indonesia, Korea Selatan, Denmark, Malaysia, atau Jepang. Sedangkan tenis diikuti hampir semua negara maju, dan pemenangnya-pun sudah lebih dari 20 negara. Sehingga atensi dan media coverage-nya jauh berbeda. Dari sini kita bisa berkesimpulan, meskipun Indonesia merajai cabang bulu tangkis, namun karena olah raga ini kurang terkenal, sehingga belum mampu mengangkat pamor negeri ini.

Sebenarnya Olimpiade juga bisa mengangkat pamor suatu negara, mengingat ajang multi-even ini diikuti oleh hampir semua bangsa. Popularitasnya-pun tak kalah dari Piala Dunia. Namun selama keikutsertaan di ajang tersebut, posisi terbaik Indonesia hanya berada di peringkat ke-24. Yaitu di tahun 1992 ketika Alan Budikusumah dan Susy Susanti berhasil mengawinkan dua medali emas dari cabang bulu tangkis. Setelah itu, Indonesia tak pernah lagi masuk ke dalam 25 besar. Prestasi kita jauh dari negara-negara kecil, macam Kuba, yang secara konsisten berada dalam 15 besar peraih medali emas. Kurangnya ambisi KONI untuk mengembangkan bakat terbaik dalam setiap cabang olah raga, menjadikan prestasi kita seperti jalan di tempat. Jangankan melawan Amerika, Rusia, atau China, bersaing dengan Thailand saja kita masih kedodoran. Ini nampak dari setiap keikutsertaan kita pada ajang Olimpiade atau Asian Games yang terkesan alakadarnya. Dari fakta-fakta tersebut, kita bisa melihat bahwa olah raga belum mampu mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.

Sektor lainnya yang juga bisa dipertimbangkan untuk mendongkrak popularitas Indonesia adalah pariwisata. Jika ditilik dari jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke negeri ini, rasa-rasanya masih jauh dari kata puas. Di kawasan ASEAN saja, kita masih berada di peringkat kelima di belakang Thailand, Malaysia, Singapura, serta Vietnam. Jika dibandingkan dengan negeri gajah putih yang sudah kedatangan 28,15 juta wisman di tahun 2023 lalu, jumlah kunjungan kita belum mencapai separuhnya, yakni masih di angka 11,68 juta orang. Kalau ditilik secara ekonomi, sebenarnya kita tak membutuhkan jumlah wisman yang banyak. Asalkan wisman yang datang kesini berkualitas, dalam artian mereka melakukan spending cukup besar. Kalau dilihat dari segi tersebut, Indonesia sudah sedikit lebih baik dari Malaysia dan Singapura. Pada tahun 2019, jumlah penerimaan Indonesia dari turis asing mencapai USD 18,41 miliar. Dengan jumlah wisman yang cuma 16,1 juta orang, artinya rata-rata penerimaan dari turis asing sebesar USD 1.143 per orang. Sedangkan Malaysia dan Singapura meski jumlah wismannya lebih banyak, namun keduanya hanya beroleh revenue masing-masing USD 750 dan USD 1.048 per orang.

Meski jumlah pengunjung asing yang datang ke Indonesia hanya diperingkat kelima, namun berdasarkan Travel & Tourism Development Index tahun 2021, Indonesia berada di urutan kedua setelah Singapura — atau peringkat ke-32 dunia. Indeks yang dirilis oleh World Economic Forum itu mengukur seberapa baik pengembangan pariwisata di suatu negara dan daya saingnya di tingkat global. Kedigdayaan Singapura dalam pengembangan pariwisata, terlihat dari konser Coldplay yang diselenggarakan selama enam hari disana — sementara di Jakarta hanya satu hari. Selain itu, Singapura juga mampu membuat kontrak eksklusif dengan Taylor Swift, agar artis kelahiran Pennsylvania itu hanya menyelenggarakan konser ASEAN-nya di negara-kota tersebut. Tujuannya apa? Agar pecinta Taylor Swift di seantero Asia Tenggara pada berdatangan ke Singapura. Sehingga mereka akan membelanjakan uangnya (sewa hotel, beli makan, beli oleh-oleh) di negeri singa tersebut. Konon dari konser eksklusif ini saja, Singapura berpotensi meraup pendapatan sekitar USD 3,97 miliar atau setara 0,85% PDB mereka. Nah, strategi semacam inilah yang tak pernah terpikirkan oleh kita.

Yang juga terkait dengan pariwisata adalah sektor kuliner/makanan. Dalam beberapa survei yang diselenggarakan media asing, kuliner Indonesia masuk ke dalam daftar makanan terbaik dunia. Pada tahun 2011, Rendang dinobatkan sebagai makanan terlezat versi media Amerika : CNN. Tak cuma Rendang, CNN juga memasukkan Nasi Goreng di urutan kedua, dan Sate di posisi ke-14. Tahun 2023, giliran pisang goreng yang digelari sebagai camilan terenak di dunia versi Taste Atlas. Di tahun yang sama, Taste Atlas juga menobatkan Indonesia sebagai negara dengan kuliner terbaik nomor 6 di dunia. Peringkat ini masih di bawah Jepang (No. 2) dan China (5), namun sudah di atas Prancis (8), India (11), serta Thailand (17).

50 dari 100 kota dengan kuliner terbaik

Taste Atlas juga melakukan survei terhadap kota-kota di seluruh dunia, dan memerasnya menjadi 100 kota dengan kuliner terlezat. Dalam daftar tersebut, ada 8 kota di Indonesia yang masuk, dimana Bandung berada di urutan ke-10. Tujuh kota lainnya adalah Jakarta (11), Surabaya (16), Padang (42), Malang (49), Yogyakarta (58), Seminyak (67), dan Ubud (86). Yang menarik dari survei tersebut, Indonesia berada di urutan kedua setelah Italia yang menyumbang 11 kota kuliner terbaiknya. Berdasarkan data-data tersebut, agaknya kuliner Indonesia telah diperhitungkan di pentas global. Kini agar popularitas tersebut dapat diutilisasi menjadi keuntungan ekonomi, pemerintah harus gencar mendorong resto-resto Indonesia agar membuka cabangnya di luar negeri. Kalau perlu, pemerintah ikut membantu permodalan dan promosinya. Sehingga program spice-up the world-nya Kemenparekraf bisa benar-benar terwujud.

Kurang diperhitungkannya Indonesia di pentas global, juga diperlihatkan oleh Soft Power Index yang diterbitkan lembaga konsultan Brand Finance yang berbasis di Inggris. Ada empat hal yang diperhitungkan dalam indeks tersebut, yakni familiarity, influence, reputation, dan perception. Survei ini dilakukan secara daring dengan mengambil sampel dari 172.133 responden di 101 negara selama periode 18 September – 8 November 2023. Hasilnya, Indonesia berada di urutan ke-45 dari 193 negara, di bawah Singapura (22), Malaysia (35), dan Thailand (40). Namun posisi ini masih lebih baik dari Ceko (46), Filipina (52), serta Vietnam (53).

Menurut pakar ilmu politik Joseph Samuel Nye, kekuatan lunak (soft power) adalah kemampuan suatu negara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya melalui ketertarikan, bukan paksaan atau bayaran. Hal ini muncul dengan adanya daya tarik budaya, cita-cita politik, serta kebijakan suatu negara. Dengan posisi Indonesia yang masih berada di bawah Singapura, Malaysia, ataupun Thailand, artinya negara kita kurang begitu menarik di mata khalayak global. Hal ini juga berarti akan menahan minat orang untuk berkunjung atau berinvestasi disini. Ini sudah terlihat dari jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia. Disamping itu kalau kita menengok foreign direct investment per kapita, angka Indonesia juga masih di bawah Malaysia serta Thailand, apalagi Singapura. Mungkin karena soft power kita yang masih di bawah mereka itulah, duo raksasa investasi Amerika : Vanguard dan BlackRock gak terlalu banyak menggelontorkan dananya disini. Kurangnya soft power kita, juga terlihat dari belum diliriknya Jakarta sebagai hub perusahaan-perusahaan global. Investor lebih memilih Singapura untuk menjadi hub kawasan Asia-Pasifik, karena kota itu lebih familiar, serta punya reputasi dan persepsi yang positif.

Agaknya, para pemimpin kita harus merumuskan soft power apa yang hendak kita kembangkan, sehingga kita makin dikenal di mata internasional. Kalau Amerika punya demokrasi, Inggris punya bahasa, Jepang punya anime, Korea punya K-Pop, India punya Bollywood, Brasil punya sepak bola, Jerman punya mobil mewah, Prancis punya fesyen, Italia punya kuliner, China punya one belt one road, lalu apa soft power Indonesia? Kita bangsa besar loh! Dengan penduduk 280 juta jiwa dan ekonomi terbesar ketujuh. Masak iya, tak ada satupun nation brand yang bisa diingat oleh warga dunia.

Tinggalkan komentar