Pendapatan Per Kapita Tembus USD 5.000, Sanggupkah Indonesia Menjadi Negara Maju di Tahun 2045?

Posted: 23 Juli 2023 in Ekonomi Bisnis
Tag:, , , , ,

Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia

Baru saja kemarin kita merayakan pendapatan per kapita Indonesia tembus ke angka USD 4.000. Eeh di tahun ini sudah tembus ke USD 5.000. Angka tersebut diprediksi oleh lembaga moneter internasional : IMF, yang dirilis pada bulan April lalu. Pencapaian ini tentu cukuplah baik, mengingat di tahun 2020 lalu, pendapatan masyarakat kita masih di angka USD 3.911. Kenaikan pendapatan ini juga diharapkan akan menurunkan tingkat kesenjangan masyarakat (koefisien Gini), yang mana pada tahun 2022 lalu masih berada di angka 37,9. Jika secara nominal pendapatan per kapita kita tahun ini diprediksi berada di angka USD 5.016, maka secara paritas daya beli (purchasing power parity) hampir menyentuh USD 16.000 – tepatnya di angka USD 15.855.

Meski terjadi lonjakan, namun pendapatan per kapita Indonesia masih jauh di bawah rata-rata dunia. Di tahun ini, diprediksi pendapatan per kapita global berada di angka USD 13.440 (nominal) dan USD 22.226 (PPP). Jika dihitung secara nominal, pendapatan kita masih kurang dari separuh pendapatan masyarakat dunia. Apalagi kalau menggunakan ukuran negara maju — dimana menurut IMF pendapatan per kapita (nominal) negara maju harus sebesar USD 30.000, Indonesia masih jauh sekali! Untuk itu, program hilirisasi yang dicanangkan Presiden Jokowi harus digenjot sekencang-kencangnya. Sehingga di tahun 2045 nanti (100 tahun Indonesia merdeka), pendapatan per kapita kita bisa mencapai USD 30.000.

Pentingnya Hilirisasi dan Industrialisasi

Sebagaimana kita ketahui, sejak tahun 2019 pemerintah telah menghentikan ekspor bahan mentah. Meski mendapat gugatan dari Uni Eropa, namun pemerintah kita jalan terus. Mantap! Langkah itu sudahlah tepat. Mengingat, ini untuk kali kedua Uni Eropa melancarkan perang dagang terhadap Indonesia, setelah sebelumnya produk sawit kita dilarang masuk ke benua biru tersebut. Kalau kita mendengar ocehan Uni Eropa yang mengatakan hilirisasi akan merugikan Indonesia, pendapat tersebut sangatlah tak masuk akal. Terlebih ekspor produk nikel kita sudah naik 745% dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2017, nilai ekspor nikel Indonesia hanya sebesar USD 4 miliar. Tahun lalu sudah tembus ke angka USD 34 miliar. Lonjakan ini salah satunya disebabkan oleh adanya nilai tambah produk tersebut melalui program hilirisasi. Kalau saja semua hasil tambang kita dihilirisasi menjadi barang jadi atau barang setengah jadi, bisa dibayangkan berapa besar pendapatan yang bisa kita peroleh. Dan yang lebih penting lagi, akan menciptakan multiplier effect berupa penyediaan lapangan kerja serta pertumbuhan usaha kecil dan menengah.

Kalau kita melihat keberhasilan Tiongkok dalam tiga dekade terakhir, industrialisasi merupakan kunci keberhasilan mereka. Bukan hanya menghilirisasi barang tambang milik mereka, Tiongkok juga mengimpor barang-barang tambang dari negara lain untuk dikembangkan menjadi produk jadi. Gak salah jika kemudian nilai ekspor Tiongkok naik signifikan dan menjadi mitra dagang utama banyak negara. Seriusnya Tiongkok dalam menggarap industrialisasi, diperlihatkan dengan dibukanya kawasan-kawasan industri baru di banyak kota. Salah satunya Shenzhen, yang pada tahun 1980 lalu masih berupa kampung nelayan. Kini kota seluas 1.700 km² itu telah menjadi Silicon Valley-nya China dan menjelma menjadi salah satu kawasan industri hi-tech terbesar di dunia. Yang beritanya cukup santer adalah Gigafactory di Shanghai. Kawasan seluas 86 hektar itu merupakan tempat berproduksinya mobil listrik milik Tesla. Masuknya Tesla ke negeri Tiongkok, menunjukkan betapa siapnya negeri tirai bambu itu dalam menyongsong teknologi terkini.

Jika dibandingkan dengan Tiongkok, industrialisasi di Indonesia belum begitu massif. Kawasan industri masih terkonsentrasi di Jabodetabek dan sebagian kecilnya lagi di Surabaya. Oleh karena itulah, dalam sepuluh tahun terakhir pemerintah banyak membuka Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diharapkan akan menarik minat para investor. Yang sudah terlihat hasilnya adalah KEK di Morowali, Sulawesi Tengah. Disana telah dikembangkan smelter yang memproduksi produk-produk berbahan dasar nikel, serta pabrik stainless steel. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi di propinsi itu naik menjadi 15% per tahunnya (2022). Bahkan berdasarkan data BPS tahun 2022 lalu, Propinsi Sulawesi Tengah telah masuk ke dalam high middle-income province, dengan pendapatan per kapita sebesar USD 7.108. Angka ini jauh di atas rata-rata pendapatan nasional, dan berada di urutan ke-7 setelah Kepulauan Riau — yang ditopang oleh kawasan industri Batam.

Pendidikan Berkualitas, Kunci Indonesia Emas 2045

Selain melakukan hilirisasi dan industrialisasi, yang juga perlu dibenahi pemerintah agar Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045 nanti adalah kualitas pendidikan. Memang sejak Juni 2015 pemerintah sudah mewajibkan program wajib belajar 12 tahun. Namun jika melihat kepada hasil PISA yang dirilis oleh OECD tahun 2018 lalu, nilai anak-anak Indonesia masih di bawah negara-negara tetangga. Indonesia jauh di bawah Vietnam, Malaysia, Brunei, Thailand, terlebih lagi Singapura. Berdasarkan hasil penelitian SMERU Research Institute, dinyatakan bahwa kualitas guru yang belum memadai, menjadi penyebab rendahnya nilai PISA anak-anak Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa hanya 21% guru SD yang menguasai materi pengajaran matematika. Dan cuma 12% yang menguasai materi pengajaran literasi membaca.

Rendahnya kualitas guru di negeri kita, tentu disebabkan karena kecilnya insentif yang diberikan oleh pemerintah. Akibatnya, orang-orang yang menjadi guru biasanya adalah mereka yang kalah bersaing di dunia profesional. Jika kita melihat passing grade universitas-universitas keguruan milik pemerintah (dahulu IKIP), nilai masuknya jauh dibandingkan dengan universitas negeri lainnya. Apa sebabnya? Karena sebagian besar calon mahasiswa enggan menjadi guru — yang kompensasinya dinilai sangat rendah. Beruntung sekarang sudah banyak sekolah-sekolah swasta yang memiliki kualitas cukup baik, yang tak bergantung pada pembiayaan pemerintah. Selain itu dengan adanya kurikulum mandiri,  mereka bisa menyusun kurikulum dan pola pembelajarannya sendiri, yang tak sedikit mencontoh sekolah-sekolah di negara maju. Di Jabodetabek saja, kini tak kurang dari 75 sekolah dasar yang mengadopsi kurikulum Cambridge ala Inggris. Dan dalam tahun-tahun ke depan, jumlah ini saya rasa akan terus bertambah.

Semakin banyaknya sekolah-sekolah yang mengembangkan kurikulum asing, disebabkan tingginya minat orang tua siswa yang menginginkan agar anaknya beroleh pendidikan terbaik. Terlebih di kota-kota besar seperti Jabodetabek, angkanya tergolong cukup tinggi. Padahal untuk masuk ke sekolah ini, orang tua harus merogoh kocek dalam-dalam. Dari uang SPP bulanan hingga uang daftar ulang, yang kalau ditotal jumlahnya bisa setara dengan satu buah mobil MPV. Memang pendidikan yang berkualitas itu sangatlah mahal. Dan pemerintah kita belum sanggup untuk membiayainya. Oleh karenanya, dengan meningkatnya jumlah kelas menengah yang sadar akan pendidikan — yang mau menginvestasikan uangnya untuk pendidikan anak-anaknya, diharapkan akan membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.

Pembenahan Birokrasi dan Kepastian Hukum

Satu lagi persyaratan untuk menjadi negara maju yang agaknya kita masih keteteran adalah di bidang birokrasi dan penegakan hukum. Tengok saja Indeks Kemudahan Berusaha kita. Masih di urutan ke-73 dunia. Lagi-lagi posisi ini berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, serta Vietnam. Lalu apa hubungannya Indeks Kemudahan Berusaha dengan capaian menjadi negara maju? Ya, karena untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat, suatu negara harus membutuhkan investasi dari luar negeri. Sebab kalau hanya mengandalkan uang dari dalam negeri, pertumbuhannya tak seberapa. Korea Selatan bisa maju seperti sekarang ini, karena foreign direct investment (FDI) yang masuk ke negeri ginseng tersebut sangatlah besar. Begitu juga dengan China, Singapura, serta Malaysia. Nah, investor mau masuk ke suatu negara, kalau disana ada kemudahan dalam berusaha. Salah satu tolak ukurnya adalah adanya kemudahan birokrasi, dimana untuk mengurus apa saja gak perlu ribet dan memakan waktu lama.

Sekarang dengan Indeks Kemudahan Berusaha Indonesia yang masih di bawah beberapa negara ASEAN, menunjukkan kalau kita belum terlalu kompetitif. Memang berdasarkan data tahun 2021, FDI Indonesia berada di urutan kedua. Dengan jumlah investasi sebesar USD 20,1 juta, Indonesia telah melampaui Vietnam (USD 15,7 juta), Malaysia (USD 11,6 juta), dan juga Thailand (USD 11,4 juta). Namun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan luas wilayah, lagi-lagi kita tak lebih unggul dari mereka. Apa sebabnya? Karena birokrasi kita yang masih ribet dan korup. Semoga dengan terbitnya UU Cipta Kerja, masalah ini bisa sedikit terselesaikan (Lihat : UU Cipta Kerja dan Peningkatan Investasi di Indonesia). Lalu yang juga tak kalah penting adalah adanya kepastian hukum serta perlindungan kepada investor. Ya kan gak mungkin orang sudah investasi ratusan juta dollar disini, kemudian ketika terjadi sengketa uangnya hilang karena dikerjai mafia hukum. Sekarang, coba saja Anda membuat perjanjian dengan investor asing, dan memasukkan klausula bahwa : “jika terjadi sengketa akan diselesaikan di peradilan Indonesia”. Saya rasa mereka bakal keberatan. Mereka akan lebih memilih menyelesaikannya di arbitrase Singapura yang lebih bersih dan murah. Tanya kenapa? Pertanda penegak hukum kita belum dipercaya investor asing.

Tinggalkan komentar