Perpustakaan Soeman Hs, Pekanbaru

Dilema Melayu Pesisir Timur Sumatra

Selain Malaysia, pesisir timur Sumatra juga merupakan wilayah konsentrasi puak Melayu yang cukup besar. Dan masyarakat disini-pun, juga sedang mengalami disorientasi jati diri serta stagnasi (kalau tidak bisa dibilang kemunduran) dalam pencapaian hidupnya. Bahkan dilema yang mereka hadapi, jauh terperosok dibandingkan dengan kaum Melayu di Malaysia. Sejak dulu masyarakat Melayu Pesisir Timur telah dimanjakan oleh alam mereka yang subur. Di wilayah ini jenis tanaman apa saja, terutama yang laku di pasaran dunia, dengan mudah tumbuh dan berkembang. Kondisi alam yang bersahabat, sedikit banyak telah berpengaruh terhadap sikap dan gaya hidup masyarakatnya. Tidaklah salah kalau pada akhir abad ke-19 dan awal abad lalu, pemerintah Hindia-Belanda harus membawa buruh-buruh perkebunan dari negeri Tiongkok dan Pulau Jawa, dikarenakan Belanda enggan mempekerjakan orang Melayu yang dianggapnya malas.

Kini setelah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, stereotipe seperti itu rasanya belum beranjak dari diri mereka. Di kampung-kampung mereka sendiri, mereka menjadi pihak yang kalah dan tersingkir. Cobalah Anda berkunjung ke Pekanbaru, Medan, ataupun Batam. Di tiga kota besar kampung halaman orang Melayu ini, mereka tidaklah banyak berperan. Malah di kota-kota ini, jumlah mereka sangatlah minim. Di Pekanbaru jumlah orang Melayu hanya seperempat dari keseluruhan penduduk kota. Di Batam tak lebih dari seperlima, bahkan di Medan jumlah mereka hanya sekitar 6,6%. Selain itu dari hasil sensus penduduk pada tingkat kabupaten di Propinsi Riau dan eks-Karesidenan Sumatra Timur, jumlah mereka-pun tak terlalu menggembirakan.

Riau mungkin selangkah lebih maju dibandingkan dengan Sumatra Timur dalam meningkatkan taraf hidup puak Melayu. Pekanbaru, yang menjadi ibu kota propinsi Riau sejak tahun 1959, dalam satu dasawarsa terakhir ini mulai berbenah diri. Tujuannya cuma satu : “Menjadi pusat budaya Melayu se-Nusantara” atau yang lebih dikenal dengan Visi Riau 2020. Oleh karenanya seluruh kantor instansi pemerintah, pusat perbelanjaan, hotel, rumah sakit, dan bandara, diharuskan beratap kuning khas Melayu. Nama-nama jalan, rumah sakit, dan bandara, sebisa mungkin mengambil nama dari tokoh-tokoh Riau. Seperti nama Bandara Simpang Tiga yang diubah menjadi Bandara Sultan Syarif Kasim II, yang diambil dari nama sultan Siak yang terakhir.

Aksara Latin dan Arab-Melayu di depan Kantor Gubernur Riau. Salah satu program kerja Visi Riau 2020.

Dengan berlakunya proses Melayunisasi di seluruh propinsi Riau, maka banyak pula masyarakat Non-Melayu yang mengubah identitas mereka menjadi seorang Melayu. Tujuannya hanya untuk mendapatkan privelese dan kemudahan dari pemerintah. Orang Kampar, Kuantan, dan Rokan Hulu yang berbatasan dengan Sumatra Barat, lebih mengaku dirinya sebagai Melayu daripada Minangkabau. Walau dalam kesehariannya, mereka menjunjung tinggi adat dan Bahasa Minangkabau. Pengelabuan seperti ini terjadi sejak pecahnya Propinsi Sumatra Tengah menjadi tiga propinsi. Dimana ketiga wilayah berbudaya Minang itu, digabungkan ke dalam wilayah Propinsi Riau — dan bukan Sumatra Barat. Begitupula halnya dengan orang-orang Minang yang berdomisili di Pekanbaru. Untuk memuluskan karier di kantor-kantor pemerintahan, banyak diantara mereka yang mengaku-aku sebagai etnis Melayu.

Kejadian serupa banyak pula terjadi di Sumatra Timur. Bahkan disini hal tersebut sudah berlangsung lama, yakni sejak terbentuknya Kesultanan Deli dan Langkat yang bercorakkan Melayu. Orang-orang Mandailing yang beragama Islam, lebih memilih untuk disebut sebagai Melayu dibandingkan Batak. Kecenderungan ini disebabkan karena perbedaan agama dan buruknya stigmatisasi Batak di mata masyarakat Melayu. Namun yang terpenting dari itu semua adalah agar memperoleh kemudahan serta privelese dari sultan-sultan Melayu. Tak cukup sebatas itu, banyak pula diantara mereka yang memutus rantai kemandailingan-nya. Dengan tidak mencantumkan marga di belakang nama dan enggan untuk menengok kampung halaman di Tapanuli Selatan. Selain etnis Minangkabau dan Mandailing, orang-orang dari dataran tinggi Karo serta Aceh, banyak pula yang mengubah identitas mereka sebagai seorang Melayu. Para petani asal Kabanjahe yang telah bercocok tanam sejak abad ke-19 di sekitar Medan, memilih mengaku sebagai Melayu dibandingkan Karo. Proyek Melayunisasi, meski pada awalnya bertujuan baik, namun eksesnya mengakibatkan tercerabutnya akar seseorang dari kultur dan budaya aslinya.

Perkebunan Kelapa Sawit di Riau

Meski pemerintah Riau telah mengeluarkan anggaran yang cukup besar dan memberikan hak-hak istimewa kepada masyarakat Melayu setempat, namun hingga saat ini belum banyak masyarakat Melayu yang terbantu dengan kebijakan tersebut. Orang Minangkabau serta suku Batak pada batas tertentu, malah menjadi pihak yang paling siap untuk memanfaatkan peluang tersebut, dibandingkan dengan penduduk “asli” Riau. Jika kita mengacu kepada tempat domisili yang berbanding lurus dengan tingkat kemakmuran masyarakat, maka nampak sekali taraf kehidupan masyarakat Melayu jauh dari layak. Di Pekanbaru, masih banyak diantara mereka yang tinggal di tepian Sungai Siak, dengan rumah dan perabotan seadanya. Mayoritas dari mereka bekerja sebagai nelayan kecil, yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari.

Booming minyak pada dekade 1960 dan kelapa sawit di awal milenium ini, tidak menarik minat mereka untuk beralih profesi sebagai ahli tambang ataupun pekebun. Sehingga tidak mengherankan jika banyak dari karyawan PT Caltex (kini Chevron), perusahaan milik Amerika yang mengelola minyak bumi Riau, diisi oleh orang-orang Minangkabau dan Jawa. Begitu pula halnya ketika harga kelapa sawit belakangan ini menanjak tajam, tak banyak yang diperbuat oleh masyarakat Melayu kecuali menjual lahan produktif mereka kepada orang-orang Tionghoa. Bahkan untuk yang remah-remahnya saja yakni sebagai kuli perkebunan, orang-orang Melayu surut langkah. Peluang ini justru diambil oleh masyarakat Jawa transmigran, yang saat ini jumlahnya telah mencapai 25% dari keseluruhan penduduk Riau.

Dalam hal pendidikan, tak banyak pula terlihat anak-anak Melayu yang mengenyam bangku sekolah. Gubernur Riau Rusli Zainal pada tahun 2007 pernah mengungkapkan bahwa sekitar 50% masyarakat Riau tidak tamat SD. Angka ini tergolong cukup tinggi jika dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain di Sumatra. Rendahnya tingkat intelektualitas dan pendidikan kaum Melayu, nampak pula dari sedikitnya dosen serta guru yang datang dari kalangan mereka.

Istana Maimun, simbol masyarakat Melayu di kota Medan

Kondisi puak Melayu di Sumatra Timur, tak berbeda jauh dengan yang ada di Propinsi Riau. Perkebunan-perkebunan tembakau, kelapa sawit, dan karet, yang terhampar luas dari Binjai hingga Tanjung Balai, kini banyak dikuasai oleh cukong-cukong Tionghoa dan orang-orang Jawa sebagai pekerjanya. Sedangkan Melayu masih berpuas diri dengan tanah yang sepetak dan hasil yang tak seberapa. Nuim Khaiyath, seorang putra Melayu Deli yang kini bekerja di Radio Australia, pernah menyindir tabiat kaumnya sendiri. Menurutnya orang-orang Melayu itu memiliki sikap cepat berpuas diri. “Kalaulah ada pohon pisang yang sebatang, untuk apalah punya dua”, begitulah gambaran Nuim Khaiyath atas sikap dan pola pikir masyarakatnya.

Di kota Medan, tempat peluang dan usaha terbuka luas, tak banyak peranan yang diambil oleh orang-orang Melayu. Dalam dunia perniagaan, nampak sedikit sekali toko-toko milik Melayu. Dominasi etnis Tionghoa dan Minangkabau, cukup kentara di pusat-pusat perbelanjaan kota Medan. Mereka menguasai toko-toko di daerah Kesawan, Sukaramai, dan Kota Maksum. Pekerjaan-pekerjaan yang menuntut profesionalitas, tak banyak pula yang melibatkan orang-orang Melayu. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia pada tahun 1980, hanya 5,9% dokter di Kota Medan yang beretnis Melayu. Pencapaian ini jauh dibandingkan dengan masyarakat Minangkabau yang mengisi lebih dari seperlima kebutuhan dokter di kota tersebut. Profesi yang cukup menggembirakan dan banyak melibatkan etnis Melayu adalah profesi kewartawanan. Dari data Persatuan Wartawan Indonesia di tahun yang sama, sekitar 17,7% wartawan di kota tersebut merupakan orang Melayu. Meskipun begitu angka tersebut masihlah di bawah kaum Minangkabau (37,7%) dan Mandailing (18,3%).

Di bidang politik, puak Melayu-pun tak berada di atas. Orang-orang Mandailing-Angkola yang dikenal cakap dalam mengurus administrasi, lebih sering duduk di kursi walikota dibandingkan Melayu. Setidaknya sudah tujuh orang Mandailing-Angkola yang duduk sebagai pimpinan kota Medan. Begitu pula halnya dengan kursi DPRD tingkat dua Medan, yang lebih banyak diisi oleh masyarakat dataran tinggi Tapanuli.

Dari paparan di atas terlihat bahwa masalah kependudukan, baik itu dipandang secara kuantitas maupun kualitas, menjadi batu sandungan sekaligus tantangan bagi kaum Melayu. Agaknya pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup puak Melayu. Perbaikan dan penambahan sarana sekolah serta reorientasi lembaga-lembaga adat, merupakan cara yang cukup ampuh untuk mengejar ketertinggalan mereka dari masyarakat Nusantara lainnya. Kampanye untuk memiliki banyak anak, hendaknya perlu digalakkan. Agar program ini bisa berjalan efektif, pemerintah harus memberikan subsidi kepada anggota keluarga yang memiliki lebih dari dua anak. Kiranya gubernur Riau dan para bupati di Sumatra Timur, mau belajar dari Singapura yang kini sedang giat-giatnya mengkampanyekan program banyak anak.

Kota Pekanbaru


Sumber gambar : http://www.skyscrapercity.com
 
Topik terkait :
Menengok Perkembangan Kota Pekanbaru

Komentar
  1. Witrianto Chaniago berkata:

    Terima kasih sekali, saya sangat suka dg artikel ini, sesuatu yg sangat berharga bagi kita semua, mudah2an saudara2 kita di kampar, Kuantan, dan Rokan Hulu membacanya dan bisa menjadi renungan bagi mereka.

    Suka

  2. Assalamualaikum,

    Terima kasih atas tulisan2 Pak Witrianto dan Pak Afandri di blog Ocu. Tulisan bapak2 menambah pengetahuan saya dalam memahami saudara2 kita di tiga kabupaten di Riau tersebut.

    Suka

  3. Rina berkata:

    Menarik sekali artikelnya. Terus terang, waktu saya ke Riau saya melihat spanduk-spanduk “Melayunisasi” di sana. Walaupun tidak disebutkan Melayunisasi ditujukan kepada siapa kita taulah maksudnya. Mungkin maksudnya baik, ingin mengembalikan jatidiri etnis Melayu ditengah banyaknya pendatang. Tapi itu membuat saya amat gerah. Saya juga melihat spanduk yang kira-kira mengatakan kembalilah kepada “adat Melayu (Islam)”‘ seolah-olah etnis lain tidak se-Islam mereka. Kalau saya yang cuma seminggu di sana merasa begitu, bagaimana etnis lain yang sudah tiga-empat generasi di sana? Di sisi lain memang orang Melayu di sana harus melestarikan adat dan budayanya. Tapi harusnya disikapi dengan bijak oleh pemerintah setempat, jangan sampai menimbulkan ketegangan bahkan mendorong permusuhan antar etnis dan merasa orang “asli” lebih berhak dari etnis lain yang juga sudah ratusan tahun berada di sana dan ikut berperan membangun Riau. Apalagi kalau melibatkan agama segala. Harus juga dipastikan agar orang lain juga bebas menggunakan bahasa dan adatnya sendiri di lingkungan mereka sendiri, jangan sampai mereka harus berbohong dan tidak mengakui bahkan tidak tahu identitasnya sendiri.

    Saya tinggal di London, kota yang saking banyaknya pendatang, terutama dari Asia Selatan yang beragama Islam, sering dijuluki “Londonistan”. London masuk kawasan England dan orang English (saya sebut English untuk membedakan dengan etnis Skotlandia, Irlandia Utara dan Wales yang walaupun buat mata orang awam tampak sama tapi mereka menolak disamakan dengan orang English) berkulit putih tidak terlalu mendominasi pemandangan. Tapi di sini kami bebas menggunakan bahasa dan adat kami, tanpa ada spanduk-spanduk “English-nisasi” yang sudah pasti akan mebuat kami gerah (dan bisa dianggap melanggar hukum soal diskriminasi). Memang ada sedikit orang yang rasis karena merasa terancam oleh pendatang, tetapi menurut saya pemerintahnya menyikapi dengan bijak. Di sekolah murid-muridnya banyak anak pendatang. Semua murid mendapat kesempatan memperkenalkan budaya dan identitas mereka. Biasanya 6 bulan sekali ada acara budaya internasional, dimana anak-anak termasuk warga “asli” mendapat kesempatan untuk menceritakan, membawa atau memperagakan apa saja yang berkaitan dengan etnis dan budaya mereka supaya saling kenal dan saling tahu identitas mereka sendiri. Anak saya yang berumur 7 tahun dan tidak lancar berbahasa Indonesia (walau mengerti) jadi bersemangat melakukan riset lewat internet dan mencari barang-barang unik dari Indonesia untuk dipamerkan dengan bangga kepada teman-temannya. Tanpa disadari, dia jadi mempelajari sendiri identitasnya walaupun lahir di negeri orang dan dia bercerita kepada kami seperti apa adat orang Inggris, orang Pakistan dan lain-lain.

    Maaf ya, jadi panjang. Tapi saya ingin berbagi bagaimana orang lain menyikapinya, mungkin bermanfaat. Teriima kasih artikelnya yang sangat mencerahkan.

    Suka

    • emay berkata:

      Ibu Rina, salam hangat yach! dimanapun kita berada selalu menjunjung DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG. Budaya adalah anugerah intelektual dr Allah swt yg dapat dibanggakan dan wariskan sebagai jatidiri harga dan martabat seseorang. Wajarlah pemerintah melindungi puak melayu, dijawa juga begitu, apalagi orang cina. coba perhatikan. Jadi ibu PENDATANG wajib MENYESUAIKAN DIRI DIMANAPUN BERADA. Buktinya anak ibu tidak fasih cakap B. Indonesia pasti karena jiwa nasionalisme ibu yaitu akar budaya keindonesiaan ibu yg kurang disosialisasikan. Mudah2an semangat bangga sebagai bangsa indonesia tidak hilang. O iya kalau mau menunjukkan budaya masing2 siapa saja boleh!!! Buktinya orang tionghoa aja, barongsai boleh tampil, yg muslimah boleh pakai jilbab. Padahal thn 1980 dilarang tuch. Jadi ibu rina soal budaya diri kita dan pemerintah yg menjaga, kalau tidak budaya bisa hilang seperti anak ibu yang kurang fasih berbahasa indonesia. Saya minta maaf ibu Rina kalau kata2 saya tidak tepat dan menyinggung perasaan ibu Rina. Terima kasih.

      Suka

    • emay berkata:

      Ibu Rina di luar negeri, pastilah memandang segala sesuatu dari segi globalisasi. Ataupun sudut pandang dunia yg luas, sehingga mingkin tidak menyadari! Bagaimana perasaan ibu bila di tanah kelahiran ibu tidak ada lagi kebudayaan yg dapat dibanggakan? Dimana langit dipijak disitu langit dijunjung. Kalau takut dilembur ombak jangan berumah ditepi pantai. Jadi pendatang wajib menyesuaikan diri sehingga anak ibupun tak pandai sangat cakap bahasa indonesia karena berada di budaya cakap bahasa asing. Lupa jadinya untuk terbiasa cakap Bahasa Indonesia. Saya minta maaf bila ibu Rina tersinggung. Terima kasih.

      Suka

    • Dipa Tarigan berkata:

      Di daerah² lain mereka mengutamakan identitas kebudayaan lokal mereka sendiri ketimbang memperkenalkan budaya pendatang, apakah itu salah?

      Suka

  4. shafwan nizar berkata:

    apakah salah dimata tuan-tuan ketika kami ingin membenahi rumah kami sendiri, meninggikan atapnya, meluaskan lamannya dan memperindah jendelanya, serta membenahi pagarnya sebagaimana yg tuan-tuan lakukan terhadap rumah tuan-tuan sendiri. kenapa tuan-tuan tidak bisa melihat bahwa luas laman rumah kami, selalu terbuka untuk menerima tuan-tuan bertandang dan selalu menjawab salam tuan-tuan dgn senyum yg sama. tapi maaf, sebagai tuan rumah yang baik, kami tidaklah mengenal telunjuk lurus kelingking berkait, kami selalu bisa menempatkan diri dan menjaga kepatutan. ketika tuan-tuan merasa paling waris terhadap rumah tuan sendiri adakah kami menganggap itu sebagai ancaman. kenapa tidak bisa memandang kami dgn muka dan hati yg jernih, apakah juga salah membalas kebaikan dgn kebaikan, jika kenyataan seperti ini yg tuan perkarakan, ini alasan yg sulit diterima dg akal dan rasio apapun.

    Suka

    • piliang berkata:

      Smua orang pasti ingin Ɣɑ̤̥̈̊п̥̥̲̣̥G̲̣̣̣̥ terbaik bagi kehidupannya peace, ya namanya numpang apo kecek angkulah, nan pasti pariuak urang jan lah sampai takangkang pulo

      Suka

  5. A Heri Setiawan berkata:

    Trmakasih & idzin kutip… 🙂

    Suka

  6. piliang berkata:

    🙂

    Suka

  7. Saya sdh hampir 10 tahun tinggal di Pekanbaru,.. tapi sekalipun tak pernah saya bertemu dgn orang melayu,.. melayu itu hanya ada dalam kertas dan formalitas tapi tak tampak di dunia nyata,.. di kantor pemerintahan nya yg katanya melayu ini kok memakai bahasa suku lain (Minang).. jadi yg melayu itu apa nya??? yaa. lambang nya,.. tapi isinya tidak… oh ya ada yg nyinggung minangkabau dgn “telunjuk lurus kelingking berkait”..bagi saya lebih baik seperti itu dari pada semua jari mu bengkok,.. jadi melayu di pekanbaru itu adalah dongeng belaka dahulu kala dan mengada-ada… tak pernah ada dlm hal nyata… mungkin sdh pergi ke alam baqa,.. meninggalkan dunia fana,.. menjuah-njuah,…

    Suka

    • Dipa Tarigan berkata:

      Mainmu kurang jauh, cuma di sekitaran rumahmu aja. Lucunya kau sendiri aja menggunakan bahasa melayu. Tapi menganggap melayu itu tidak ada.

      Suka

  8. seru berkata:

    bukankah semua kita adalah keturunan melayu tuan-tuan (sumatera khususnya) mengapa mengklaim melayu adalah etnis dengan agama islam dengan logat bahasa yang mereka katakan bahasa melayu.. bukankah orang aceh, batak, minang, jambi, dst adalah anak keturunan melayu.. dimanakah situs tertua dari kerajaan melayu itu, muaro jambi, darmasraya dan muara takus bisa menjadi rujukan..sejarah takkan berbohong. kita yang hidup zaman kekinian inilah yang membohongi diri.. hanya sebab melihat tingkah lagu bangsa/suku lain yang kurang berkenan dihati tuan-tuan maka tak menganggapnya saudara. janganlah merasa kita adalah orang/suku/etnis yang terbaik.. jangankan kita sesama tercipta dari tanah merasa lebih baik satu sama lain, iblis saja yang unsurnya lebih baik dari manusia merasa lebih baik/sombong dihujamkan kedalam neraka.. mari berfikir.. kita adalah satu indonesia dan sesama manusia.

    Suka

  9. Sultan syarif khasim II berkata:

    Owh gitu, lalu kenapa di sumatera barat dan daerah tapanuli adat minangkabau sangat kuat, hingga ke peraturan daerah, kami melayu tak protes, dan adat budaya batak di tapanuli juga hingga ke pemerintahan, kami gak protes, lalu mengapa saudara” ku sangat tidak suka, kami melestarikan budaya kami, menghias rumah kami Provinsi riau, dengan budaya melayu, adilkah kalian berpendapat ?? Budaya di tanah jawa juga kami gak Ada protes!!

    Suka

  10. fatih berkata:

    Melayu itu sbenarnya hanya istilah yg diambil oleh etnis cina untuk membentuk jati diri baru orang orang di kawasan sumatera timur…sehingga seolah olah mereka berbeda dg saudaranya lain di sumatera..melayu adalah alat yg dipakai musuh untuk memecah belah sumatera.

    Suka

  11. fatih berkata:

    masih ingat siapa yg menyebut melayu pertama kali…itu adalah pendeta/utusan cina
    ….coba lihat di negeri yg disebut melayu itu siapa yg mengambil keuntungan..sadarlah saudara saudaraku

    Suka

    • Dipa Tarigan berkata:

      Salah, pendeta Cina menyebut kata Moloyu, itu karena memang sudah ada kerajaan bernama Moloyu, bukan pendeta Cina itu yg memberi nama 🤦

      Suka

  12. hang jebat berkata:

    Org melayu tak sama dengan suku lain ..kerana abad ke 20 ni saja org melayu diperintah kerajaan ..sbelum ini org melayu hanya diperintah bertuankan raja dan sultan ..jadi beda tu bnyak ..sama juga di malaysia org mlayu slalu dicop malas oleh suku lain .. Tp itulah sbenarnya org mlayu ..walaupun slalu dicop mls tp org mlayu ada yg sudah sampai ke bulan ..

    Suka

Tinggalkan komentar