Archive for the ‘Politik’ Category


Provinsi Terkorup di Indonesia (sumber : goodstats.id)

Akhir bulan November lalu, Sumatra dilanda banjir besar. Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar), merupakan tiga propinsi yang terkena dampak paling besar. Tercatat, banjir merendam 51 kabupaten/kota dan menjadi banjir yang terparah sepanjang sejarah Indonesia. Hingga tulisan ini diturunkan, sebanyak 807 orang meninggal dunia, 647 orang dinyatakan hilang, dan 2.600 orang lainnya mengalami luka-luka. Banjir ini juga menyebabkan rusaknya fasilitas umum dan sekitar 531.600 jiwa mengungsi. Berdasarkan analisa BMKG dan Walhi, banjir disebabkan oleh derasnya hujan serta adanya siklon tropis senyar. Siklon ini terbentuk akibat tekanan rendah yang menyerap air di Selat Malaka dalam jumlah besar, dan menumpahkannya secara kuat di tiga propinsi itu. Selain curah hujan yang tinggi, yang menyebabkan bencana ini begitu mematikan ialah adanya deforestasi hutan di pedalaman Sumatra. Hutan yang seharusnya menjadi penahan laju air ketika hujan lebat, tak lagi berfungsi secara optimal. Penurunan daya tampung lingkungan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya longsor. Bukti deforestasi bisa dilihat dari banyaknya kayu gelondongan yang habis dipotong, mengalir di arus sungai yang deras.

Gara-gara longsor dan banjir besar tersebut, banyak masyarakat Sumatra yang kecewa. Mereka marah, karena pemerintah pusat (Pempus) tak begitu tanggap. Terlebih, Pempus-lah selama ini yang telah memberikan izin pembabatan hutan di lingkungan mereka. Sepanjang tahun 2001-2024, BPS mencatat Propinsi Aceh telah kehilangan lebih dari 700.000 hektar hutan, sementara Sumbar mencapai 1.060.000 hektar. Yang paling parah adalah Sumut, dimana hutan di propinsi tersebut kini tinggal tersisa sekitar 29% — sementara Aceh dan Sumbar masing-masing 59% dan 54%. Meski tak semuanya kesalahan Pempus – karena ada beberapa wewenang yang diputuskan oleh pemerintah daerah (Pemda) setempat, namun wacana yang berkembang di media sosial adalah ini kelalaian Jakarta (baca : pemerintah pusat). Malah tak sedikit netizen yang menyebut ini kesalahan Jawa. Isu Jawa-sentris yang selama ini sering bergema, kembali mengemuka. Karena pernyataan tersebut terus-terusan di-posting, beberapa orang Jawa yang merasa terpicu jadi ikut tersulut. “Loh kok jadi salah (orang) Jawa?,” begitu gumam mereka.

(lebih…)

Para influencer menyerahkan Tuntutan 17+8 kepada Anggota DPR-RI, Andre Rosiade (sumber : detik.com)

Indonesia kembali bergolak. Aksi massa terjadi di berbagai kota di tanah air. Ratusan ribu masyarakat dari berbagai elemen : mahasiswa, buruh, pengendara ojol, hingga ibu rumah tangga, turun ke jalan menuntut perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak hanya di Indonesia, demonstrasi juga digelar oleh WNI yang bermukim di Malaysia, Jerman, dan Australia. Akibat aksi tersebut, tercatat ada sepuluh orang warga yang meninggal dunia. Menteri Pekerjaan Umum, Dody Hanggodo, menaksir kerugian mencapai Rp 900 miliar. Dimana Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Jakarta merupakan propinsi yang mengalami kerugian cukup besar. Selain fasilitas umum seperti halte dan stasiun Moda Raya Terpadu (MRT), massa juga membakar kantor-kantor milik pemerintah. Bahkan di Makassar dan Lombok, massa yang mengamuk juga membakar kantor DPRD. Yang paling memilukan ialah terjadinya aksi penjarahan terhadap rumah empat anggota DPR dan satu orang menteri. Menurut catatan penulis, inilah aksi massa terbesar sekaligus yang paling brutal sepanjang Era Reformasi. Sebelumnya, Indonesia juga pernah menggelar people power di tahun 1998, yang menggulingkan kekuasaan Orde Baru. Ketika itu ribuan orang mati sia-sia, dan ekonomi mandeg selama lebih dari setahun.

Demonstrasi di bulan Agustus kemarin, merupakan akumulasi kekecewaaan masyarakat atas kebijakan pemerintah dalam beberapa bulan terakhir. Selain itu, ini juga ditengarai oleh sikap serta gaya hidup sebagian pejabat dan anggota dewan yang dinilai tak menunjukkan sense of crisis. Di tengah-tengah kenaikan pajak dan melemahnya daya beli, mereka terlihat seperti semena-mena. Di media sosial tak sedikit dari keluarga anggota DPR/DPRD serta pejabat kementerian yang melakukan flexing. Di jalan raya mereka selalu mempertontonkan arogansi, seperti menyalakan sirine, strobo, dan ingin diprioritaskan. Puncaknya ialah ketika pemerintah menyetujui pemberian tunjangan rumah bagi anggota DPR sebesar Rp 50 juta/bulan atau sepuluh kali lipat UMR Jakarta. Kebijakan ini tentu mendapat penolakan dari masyarakat luas. Parahnya, protes masyarakat tersebut direspons oleh sebagian anggota dewan dengan ucapan yang tak pantas. Yang mana ucapan mereka itu kemudian menjadi bahan bakar yang menyulut amarah rakyat.

(lebih…)

Jalur laut utara, jalur perdagangan baru yang diinginkan Donald Trump (sumber : cbsnews.com)

Tanggal 20 Januari kemarin, Donald Trump kembali dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat untuk kali kedua. Banyak pihak – terutama rakyat Amerika – yang berharap kalau kepemimpinannya kali ini bisa mengembalikan perekonomian negeri Paman Sam yang sedang semaput. Untuk itu dalam kampanyenya kemarin, Trump menjanjikan akan membuat keputusan yang diharapkan bisa membawa ekonomi Amerika berjaya kembali. Salah satu keputusannya yang dinilai cukup kontroversial adalah keinginannya mencaplok Greenland dan Terusan Panama. Dua wilayah itu menurut perhitungan Trump memiliki nilai ekonomis yang sangat besar. Terlebih setelah global warming makin meningkat, es di kutub utara banyak yang mencair. Akibatnya perairan di sekitaran Greenland jadi bisa dilalui.

Tak hanya itu, dengan mencairnya es di Greenland, maka kandungan mineral yang ada di daratan seluas 2,16 juta km² itu juga bisa dieksploitasi. Konon di wilayah otonomi Denmark tersebut, terdapat kandungan minyak dan gas, tembaga, serta nikel yang cukup besar. 80 Mile, salah satu perusahaan tambang yang berbasis di Inggris, saat ini sedang mengeksplorasi minyak di lepas pantai timur Greenland, titanium di dekat Pangkalan Angkasa Amerika Pituffik, serta nikel dan tembaga di Disko-Nuussuaq. Melihat besarnya kekayaan yang dikandung pulau tersebut, tak salah jika Trump tergiur untuk merebutnya. Terlebih dalam persaingannya dengan Rusia dan China, Amerika membutuhkan sumber daya mineral yang cukup besar.

(lebih…)

Peta Hasil Pemilu 1955 per Kabupaten/Kota

Maklumat X, begitu nama pengumuman itu disebut, merupakan titik tolak lahirnya partai-partai politik di Indonesia. Pengumuman ini dikeluarkan oleh Bung Hatta pada tanggal 3 November 1945, menjawab permintaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menginginkan agar lembaga tersebut diberi kewenangan legislasi. Sebagai seorang demokrat, Hatta tentu menghendaki agar badan legislatif negara diisi oleh anggota yang dipilih rakyat. Bukan anggota yang ditunjuk berdasarkan kekuatan para elit semata. Sebagaimana diketahui, anggota KNIP saat itu merupakan orang-orang yang ditunjuk dan tidak merepresentasikan kekuatan politik riil. Oleh karenanya dengan diterbitkannya Maklumat X, Hatta berharap agar masyarakat membentuk partai politik. Dimana dari partai-partai ini akan muncul anggota terpilih yang akan duduk di kursi parlemen. Berbeda dengan konsep Hatta yang multi-partai, Bung Karno justru menginginkan agar Indonesia cuma punya satu partai, yakni Partai Nasional Indonesia. Soekarno berpandangan bahwa dengan adanya multi-partai, maka persatuan akan sulit tercapai. Sehingga ini dapat menghambat proses pembangunan. Setelah Maklumat tersebut diumumkan, muncul lah beberapa partai politik yang antusias untuk mengikuti Pemilu. Diantaranya adalah Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), serta Partai Komunis Indonesia (PKI).

Semula, Pemilu akan diselenggarakan pada bulan Januari 1946. Namun karena kondisi negara yang tak menentu, maka rencana tersebut dibatalkan. Gagasan penyelenggaraan Pemilu kembali digaungkan di masa pemerintahan Mohammad Natsir. Kala itu Indonesia sudah mulai stabil dan telah bersatu di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai perdana menteri pertama dalam pemerintahan Republik Indonesia bersatu, Natsir mencanangkan agar Pemilu dapat diselenggarakan secepatnya. Untuk itu maka disusunlah Undang-undang Pemilu yang digawangi oleh Sahardjo. Setelah kabinet Natsir berhenti di bulan April 1951, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo. Sama seperti Natsir, Sukiman juga berasal dari Partai Masyumi. Oleh karenanya ia berupaya sebisa mungkin untuk melanjutkan program Natsir yang menghendaki agar Pemilu diadakan segera. Terlebih UUDS 1950 yang baru saja terbit, mengamanatkan agar anggota parlemen dipilih oleh rakyat.

(lebih…)

Hasil hitung cepat sejumlah Lembaga Survei, menyatakan kalau pasangan Prabowo-Gibran memenangkan pertarungan Pilpres tahun ini. Pasangan ini beroleh sekitar 59% suara, setelah mengalahkan dua pasangan lainnya yakni Anies-Muhaimin (memperoleh 24% suara) serta Ganjar-Mahfud (17%). Dalam kontestasi ini, nampak sekali kalau pasangan Prabowo-Gibran lebih siap. Selain dikelilingi para relawan yang massif – kebanyakan pendukung Jokowi di 2014 dan 2019 lalu, pasangan ini juga disokong oleh pendanaan yang kuat. Diantaranya dari Hashim Djojohadikusumo, Aburizal Bakrie, serta duo abang-beradik Erick dan Boy Thohir. Yang juga perlu dicatat adalah dukungan dari partai koalisi yang saat ini menguasai parlemen. Disamping partai besutan Prabowo : Gerindra, pasangan ini juga didukung Partai Golkar, Demokrat, serta PAN.

Selain support system-nya yang mumpuni, Prabowo sendiri boleh dibilang sudah sangat siap. Terlebih, beliau sudah tiga kali mengikuti kontestasi pemilihan Presiden-Wakil Presiden, jadi sudah khatam seluk beluk serta medan tempur yang akan dilalui. Kalau dibandingkan dengan tiga Pilpres sebelumnya, pembawaan Prabowo saat ini agak sedikit kalem. Ia acapkali berjoget, sehingga terlihat seperti gemoy. Satu lagi yang berbeda dari penampilan Prabowo tahun ini adalah dress code yang dikenakannya. Berbeda dengan dua Pilpres sebelumnya dimana ia sering mengenakan safari coklat, di Pilpres kali ini ia acap memakai baju biru muda. Yang juga menarik adalah atribut kampanyenya yang terkesan futuristik. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, Prabowo yang sudah berumur di-remake seperti bocah. Boleh jadi ini merupakan strategi konsultan politiknya, agar citranya di masyarakat — terutama kalangan milenial dan gen Z — terlihat positif.

(lebih…)

Pemimpin BRICS (sumber : Reuters)

Hari Kamis (24 Agustus 2023) lalu, Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa mengumumkan bahwa BRICS akan menambah keanggotaannya menjadi 11 negara. Dalam pertemuan puncak para pemimpin aliansi dagang negara-negara berkembang itu, mereka sepakat untuk memperluas keanggotannya per 1 Januari 2024 nanti. Meski usulan ini sempat ditentang Presiden India, Narendra Modi — karena khawatir akan meluasnya pengaruh Tiongkok, namun akhirnya suara mereka bulat untuk menambah keanggotaan enam negara lagi. Keenam negara tambahan itu yakni, Arab Saudi, Iran, Argentina, Uni Emirat Arab (UEA), Ethiopia, dan Mesir. Jika dilihat dari komposisi masing-masing wilayah, nanti anggota BRICS+ akan diisi oleh lima negara Asia, tiga negara Afrika, dua negara Amerika Selatan, dan satu negara Eropa. Indonesia sempat menimbang-nimbang untuk menjadi anggota organisasi yang digadang-gadang akan menggantikan dominasi G-7 itu. Namun karena masih hendak memainkan politik bebas aktif, Presiden Jokowi belum mengajukan surat expression of interest hingga saat ini. Seperti yang kita ketahui, organisasi ini dicitrakan sebagai penentang dominasi Barat. Dan Indonesia nampaknya belum mau untuk berlawanan dengan negara-negara Barat (plus Jepang). Terlebih di bulan Mei lalu, Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, juga mengundang Indonesia dalam pertemuan puncak pimpinan G-7.

Dengan masuknya Iran serta Arab Saudi ke dalam organisasi ini, tentu menjadi tanda tanya bagi para pengamat politik global. Terlebih kedua negara ini sebelumnya adalah tetangga yang berseteru. Mereka berebut pengaruh untuk menjadi penguasa di Timur Tengah. Sejak tumbangnya Dinasti Pahlavi di Iran, dan mengubah negeri itu menjadi negara teokrasi Syiah, Iran berusaha untuk menyebarkan ideologinya ke seluruh dunia Islam. Tindakan ini tentu tak disukai oleh keluarga Saudi yang juga hendak menghegemoni dunia Islam – terkhusus kawasan Timur Tengah. Namun sejak pertemuan Iran-Saudi yang diinisiasi oleh Xi Jinping bulan Maret lalu, arah politik kedua negara itu nampaknya akan berubah. Tersirat kalau keduanya ingin melupakan rivalitas yang sempat mengeras, demi mendorong pertumbuhan ekonomi di negara masing-masing.

(lebih…)

Anwar dibacakan sumpah (sumber : AFP)

Anwar Ibrahim merupakan sosok yang tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Sehingga terpilihnya beliau sebagai perdana menteri yang ke-10, tak mengejutkan banyak pihak. Ditunjuknya Anwar sebagai pemimpin baru Malaysia, setelah terjadi kebuntuan politik pasca Pemilu 19 November lalu. Dimana dalam Pemilu tersebut, Pakatan Harapan (PH) yang dipimpinnya, hanya meraih 82 kursi. Jumlah ini jauh dari syarat minimal untuk membentuk pemerintahan sendiri, yakni 112 kursi. Karena tak mencapai syarat yang dibutuhkan, maka PH mesti berkoalisi dengan gabungan partai lain. Setelah terjadi lobi-lobi singkat, Perikatan Nasional (PN) yang merupakan peraih kursi terbanyak kedua, enggan bergabung dengannya. Begitupula dengan pemenang ketiga Barisan Nasional (BN). Akibat tak adanya kesepakatan, Yang Dipertuan Agong Sultan Abdullah sempat memanggil anggota dewan dari PN ke istana. Sultan meminta agar PN mau membentuk koalisi pemerintah bersama PH. Tapi sayang, semua anggotanya kompak menolak. Mereka sepakat untuk menjadi oposisi. Lalu sultan-pun meminta dua koalisi lainnya : BN dan GPS (Gerakan Partai Serawak) agar mau bergabung. Meski agak berat, namun akhirnya mereka sepakat untuk membentuk pemerintahan baru.

Bagi sebagian orang, keterpilihan Anwar sudah diprediksi sejak jauh-jauh hari. Ini karena banyaknya rakyat Malaysia yang tak puas atas kepemimpinan Ismail Sabri Yaakob. Anjloknya suara BN – koalisi partai pendukung Ismail – pada Pemilu lalu, membuktikan itu semua. Pada Pilihan Raya Umum yang diikuti oleh 14 juta pemilih, BN hanya beroleh 30 kursi. Jauh dari pemenang kedua : Perikatan Nasional, yang meraih 73 kursi. Melorotnya suara BN, agaknya disebabkan oleh kasus korupsi 1 MDB yang menerpanya. Walau kejadian itu sudah berlangsung lama, namun banyak rakyat Malaysia yang belum percaya. Sejak kasus itu, Malaysia telah mengganti perdana menterinya sebanyak empat kali. Dari tiga perdana menteri, tak satupun diantara mereka yang menjabat hingga dua tahun. Mahathir Mohammad yang sebelumnya pernah menjabat selama 22 tahun, kali ini hanya bertahan 22 bulan. Begitu pula dengan Muhyiddin Yasin yang cuma 17 bulan, dan Ismail Sabri Yaakob 15 bulan.

(lebih…)

Pemilihan presiden RI yang baru, rencananya akan digelar pada tanggal 14 Februari 2024. Ini artinya tak sampai 21 bulan lagi, helat besar lima tahunan tersebut akan terselenggara. Namun beberapa partai politik, tukang survei, serta pengamat, sudah melakukan persiapan dengan menyorong nama-nama yang akan dipilih oleh rakyat nanti. Beberapa pollster bahkan sudah melakukan jajak pendapat dalam satu tahun terakhir. Dari hasil jajak pendapat itu, empat nama yang sering masuk ke dalam bursa capres adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil. Urutannya tentu tak selalu seperti ini. Bisa berubah-ubah, tergantung pollster dan periode pengambilan sampelnya. Kadang Prabowo yang di atas, Ganjar di urutan kedua, Anies ketiga, dan di bulan yang lain bisa Ganjar di posisi pertama, diikuti oleh Anies, dan seterusnya.

Jika kita melihat keempat calon tersebut, belum bisa dipastikan mana dari tokoh-tokoh itu yang akan maju sebagai capres 2024 nanti. Prabowo meski memiliki kendaraan politik lewat Partai Gerindra, namun suaranya tak sampai 20% kursi parlemen. Oh iya, perlu disampaikan bahwa syarat untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden 2024-2029, haruslah partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang memiliki kursi di parlemen sebesar 20%, atau yang jumlah suaranya mencapai 25%. Jadi meskipun Gerindra punya kursi di parlemen, namun jumlahnya tak mencapai 20%. Ia perlu berkoalisi dengan partai lain agar bisa cukup syarat yang diperlukan. Begitu juga dengan Ganjar. Meskipun ia kader partai terbesar : PDI-P, namun ia hanyalah petugas partai. Sebagaimana cuitannya di Twitter, ia hanyalah “anak kos-kosan”. Oleh karenanya walaupun pada hasil survei ia sering berada di atas, Ganjar masih menghadapi kendala : apakah partainya mau mencalonkan dirinya. Mengingat hingga saat ini, Partai Banteng menginginkan Puan yang maju sebagai calon presiden. Bagaimana dengan Anies dan Emil?

(lebih…)

AHY dan Moeldoko (sumber : beritasatu.com)

Darmizal, salah seorang politisi Partai Demokrat, menangis tersedu-sedu saat konferensi pers pasca-Kongres Luar Biasa (KLB) partainya. Dalam pidatonya, ia menyesal telah membantu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi ketua umum Demokrat pada tahun 2015 lalu. Ia tak menyangka setelah SBY memimpin partai ini akan lahir rezim diktator, dimana SBY melanggengkan politik dinasti dengan memberikan karpet merah kepada putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), untuk melanjutkan kepemimpinan partai. Senada dengan Darmizal, Marzuki Alie, mantan ketua DPR sekaligus politisi senior Partai Demokrat mengatakan, diselenggarakannya KLB ini akibat tersumbatnya suara para kader dan adanya kesewenang-wenangan pengurus partai di bawah pimpinan AHY. Oleh karenanya KLB yang diselenggarakan di Deli Serdang tanggal 5 Maret lalu itu, dirancang untuk melengserkan AHY. Sebagaimana yang kita ketahui, kongres itu kemudian memilih secara aklamasi Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, sebagai ketua umum Demokrat yang baru.

Hingga tulisan ini diturunkan, belum ada pengesahan atau pembatalan dari pemerintah terkait hasil KLB tersebut. Namun kasak-kusuk serta behind the story dibalik penyelenggaraan KLB itu sangat menarik untuk disimak. Salah satunya adalah pernyataan Gatot Nurmantyo yang pernah ditawari oleh para inisiator KLB untuk menggantikan posisi AHY. Namun kemudian Gatot menolak dengan alasan ewuh pakewuh. Selain itu yang juga perlu dicermati adalah sebelum naiknya AHY menjadi ketua umum, ternyata elit partai inipun sudah diisi oleh keluarga-keluarga Yudhoyono. Hadi Utomo, yang merupakan ipar SBY, pernah menjadi ketua umum Demokrat periode 2005-2010. Edhi Baskoro Yudhoyono, putra kedua SBY, juga sempat menjabat sebagai sekretaris jenderal partai. Dan kini, Ibas – begitu ia akrab disapa, menduduki posisi ketua fraksi Demokrat di MPR. Tak salah jika banyak orang yang berpandangan, bahwa KLB kemarin adalah perlawanan kader Demokrat terhadap Dinasti Cikeas yang selama ini seperti menjadi pemilik partai.

(lebih…)

Meme Pindah Ibu Kota

Tanggal 26 Agustus 2019 lalu, Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan lokasi ibu kota baru Republik Indonesia. Lokasi yang dipilih ternyata berbeda dari apa yang selama ini sempat diisukan. Kalau sebelumnya kota Palangkaraya digadang-gadang akan menjadi ibu kota baru, namun ternyata yang dipilih adalah dua kabupaten di Kalimantan Timur, yakni Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. Isu pemindahan ibu kota sepertinya selalu menjadi jualan setiap pemerintahan yang bingung mengatasi kesemrawutan Jakarta. Pada pertengahan 1990-an, Soeharto pernah mewacanakan akan memindahkan ibu kota ke Jonggol. Wilayah di tenggara ibu kota itu dinilai cocok sebagai bakal ibu kota baru, karena masih memiliki lahan yang cukup luas. Selain itu letaknya yang hanya berjarak 40 km dari pusat kota (Gambir dan sekitarnya), dinilai tak akan terlalu merepotkan. Sebab hampir keseluruhan pegawai pemerintah pusat berdomisili di Jabodetabek. Namun hingga Soeharto lengser, wacana ini hanya tinggal wacana. Para pencari rente yang sudah memburu tanah di kawasan tersebut, banyak yang gigit jari.

Kemudian pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), isu ini kembali bergulir. Jika Soeharto jelas menunjuk Jonggol sebagai calon ibu kota baru, SBY sampai masa kepemimpinannya berakhir tak pernah memberikan pernyataan yang klir terkait rencana pemindahan ibu kota. Nah, tahun ini giliran Jokowi yang menggulirkan ide pemindahan ibu kota baru. Alasan pemindahan ibu kota itu, bagi sebagian kalangan cukuplah realistis. Mengingat tingginya beban Jakarta saat ini, yang berperan sebagai pusat bisnis, pusat budaya, pusat militer, sekaligus pusat pemerintahan. Lalu kalau Jakarta terbebani, mengapa kemudian pilihannya jatuh ke Kalimantan Timur. Pemerintah beralasan, untuk melakukan pemerataan pembangunan, maka ibu kota baru haruslah berada di tengah Nusantara. Memang ide tersebut terkesan elok, mengingat pembangunan saat ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera. Namun kalau untuk mewujudkan itu harus memindahkan ibu kota ke tempat yang lengang, rasanya kita hanya membuang-buang uang.

(lebih…)