Bulan Agustus lalu, para perantau asal Indonesia kembali mengadakan “Kongres Diaspora Indonesia” yang ketiga. Kongres yang mengambil tema “Diaspora Bakti Bangsa” itu dihadiri tak kurang dari 800 peserta yang bermukim di 44 negara. Dalam sambutannya, Presiden Diaspora Indonesia : Edward Wanadi menyampaikan mengenai beragam keberhasilan yang telah diraih oleh ribuan perantau Indonesia, mulai dari penggalas, pegiat pariwisata, hingga promotor kuliner Nusantara. Mendengar laporan tersebut tentu kita boleh berbangga, ternyata para diaspora Indonesia tak hanya menjadi pekerja di sektor-sektor informal, namun juga banyak yang berkecimpung di dunia profesional, akademisi, pengusaha, dan entertainer. Dari jutaan perantau Indonesia di awal milenium ini, ada beberapa nama yang berhasil meniti karier hingga ke puncak dan mengukir prestasi cukup mengesankan. Siapa saja mereka? Berikut rangkumannya.
Berdasarkan catatan Majalah Swa edisi 12-25 Mei 2015, ada lebih dari 50 perantau asal Indonesia yang berhasil menancapkan kukunya di negeri orang. Rata-rata mereka adalah anak-anak muda yang mengenyam pendidikan tinggi di universitas top luar negeri. Sebut saja misalnya Solena Chaniago, aktris dan hair stylist yang bermukim di New York City, Amerika Serikat. Solena disebut-sebut sebagai transgender pertama asal Asia yang berhasil menembus industri film Hollywood. Disini ia sempat membintangi film The Brooklyn Finest dan The Extra Man. Setelah bermain film, Solena kemudian terjun ke dunia tata rias rambut. Untuk mengejar ambisinya menjadi penata rambut terbaik, ia tak segan-segan mengambil kursus di Aveda School, New York dan Tony & Guy Academy, London. Sepanjang kariernya ia telah menangani sejumlah nama selebritis, diantaranya mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton dan Scooter Braun.
Penyandang LGBT lainnya yang sukses berkarier di negeri Paman Sam adalah Sutan Amrull. Keponakan Buya Hamka itu berhasil menapaki panggungnya sebagai make-up artis pada acara reality show : America’s Next Top Model. Disamping menekuni profesinya itu, Amrull juga dikenal karena perannya sebagai waria di acara RuPaul’s Drag Race. Sukses menjuarai musim ketiga acara tersebut, pada bulan Mei 2011 Amrull merilis singel yang berjudul Diamond Crowned Queen. Selanjutnya ia meluncurkan album Sublime dan Zubi Zubi Zubi, masing-masing di tahun 2012 dan 2013. Tak hanya bernyanyi, di pentas Hollywood-pun Amrull turut ambil bagian. Ia bermain di dua film remaja, The Young and Evil (2008) serta Tupini Queens (2015).
Di dunia akademisi banyak pula diaspora Indonesia yang sukses meniti karier di mancanegara, diantaranya adalah Nelson Tansu. Nelson adalah seorang akademisi sekaligus peneliti teknologi nano dan optoelektronika di Lehigh University, Pennsylvania, Amerika Serikat. Ia menerima lebih dari 11 penghargaan level internasional, dan mempunyai 8 hak paten dari kantor paten Amerika Serikat. Selain menjadi profesor tamu di 18 perguruan tinggi, Nelson juga telah mempublikasikan 220 paper konferensi dan jurnal ilmiah internasional yang bertemakan teknologi semi konduktor nano struktur. Meski berhasil menerbitkan ratusan jurnal, namun banyak pihak yang menyayangkan sikap Nelson. Dia berulang kali mengutip hasil penelitiannya sendiri dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Dalam sebuah jurnal, ia pernah mengutip 34 referensi hasil penelitiannya dari 41 referensi yang digunakan.
Selain Nelson, ahli teknologi nano asal Indonesia yang cukup berkibar ialah Andrivo Rusydi. Andri adalah pakar yang kini menjadi guru besar di National University of Singapore. Ia salah satu dari sedikit anak bangsa yang menguasai teknologi pengontrol skala atom dan molekul. Selain di Singapura, Andri juga menjadi profesor tamu pada Center for Free Electron Laser dan Institute for Applied Physics of University of Hamburg, Jerman. Keahliannya di ranah teknologi nano, telah mengantarkan putra kelahiran Padang tahun 1975 itu menjadi peneliti tamu di Departemen Fisika University of Illinois di Urbana, Amerika Serikat, dan University of British Columbia, Kanada. Tak hanya itu, teknik riset yang ia kembangkan-pun kemudian dimanfaatkan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Australia, dan Taiwan.
Johny Setiawan juga merupakan ilmuwan Indonesia yang sukses di negeri orang. Ia menjadi peneliti di Departemen Planet dan Formasi Bintang Max Planck Institute for Astronomy (MPIA) di Heidelberg, Jerman. Sepuluh tahun lalu, ia berhasil menemukan 15 planet baru ekstrasurya yang dinamainya HIP 13044 b, HD 11977 b, HD 47536 c, HD 110014 b, HD 110014 c, dan HD 70573 b. Tak hanya itu, berkat ketekunannya meneliti ia juga berhasil menemukan planet baru yang dinamai TW Hydree. Planet tersebut masih berada dalam piringan cakram debu dan gas yang mengelilingi bintang induknya. Dengan penemuannya itu memungkinkan adanya kajian baru dalam pembentukan bintang dan migrasi planet.
Di Lembah Silicon, California, Amerika Serikat, ada pula perantau Indonesia yang mempunyai prestasi cukup cemerlang. Dia adalah Sonita Lontoh, seorang pakar di bidang teknologi hijau. Semula wanita berdarah Minahasa-Padang ini adalah seorang pengusaha yang memulai bisnisnya di Beijing, China. Bersama dua orang rekannya, ia mendirikan perusahaan internet yang berbasis di Tiongkok. Karena kalah bersaing, perusahaan itu akhirnya dijual. Dalam perjalanannya ia kemudian berkarier dan memimpin perusahaan elektrik-gas alam : Pacific Gas and Electric Company (PG&E). Setelah itu ia menjadi head of marketing di perusahaan Grid Net dan Trilliant yang bergerak di bidang smart grid. Selain sebagai profesional, Sonita juga menjadi mentor untuk program Tech Woman pimpinan Hillary Clinton. Program ini mengimplementasikan visi Presiden Barack Obama tentang peningkatkan hubungan baik antara Timur Tengah dengan pemerintah Amerika di bidang energi. Atas kontribusi dan kepemimpinannya, pada tahun 2012 ia menerima penghargaan “Global Emerging Leader Under 40” dari National Association of Asian MBA.
Tak hanya di Arab Saudi dan Malaysia, di Amerika Serikat-pun banyak pula ulama Indonesia yang cukup disegani. Salah satunya ialah Shamsi Ali. Memimpin pusat kegiatan muslim terbesar di New York, ia berhasil mewarnai gerakan Islam di negeri tersebut. Meski kerap menampilkan wajah muslim yang toleran, Shamsi justru sering mendapatkan kritik dan cemooh. Pada tahun 2009, saat berceramah di Islamic Cultural Center (ICC) New York tentang ajaran Islam yang damai, ia didemo oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya “Revolution Muslim”. Ajarannya tentang bagaimana menjalani hidup modern dalam masyarakat Barat, juga menimbulkan kontroversi. Bahkan beberapa jemaah berdarah Arab, ada yang tak nyaman ketika Shamsi — seorang non-Arab — mengimami ibadah mereka. Setelah didera aneka fitnah dan protes, pada tahun 2011 ia meninggalkan ICC dan memimpin Jamaica Muslim Center serta Mesjid Al Hikmah, New York. Pria Bugis kelahiran 1967 itu, juga menjadi Dewan Penasihat di organisasi-organisasi antar agama, seperti Tanenbaum Center dan Federation for Middle East Peace. Atas dedikasinya terhadap kehidupan masyarakat Amerika, Shamsi diganjar berbagai macam penghargaan. Diantaranya “Hall of Fame Award” oleh Koalisi Masyarakat Asia-Amerika (Asian American Coalition USA), “The 500 Most Influential Muslims” selama tiga tahun berturut-turut (2009 – 2011), dan “Turkish Cultural Center’s Friendship Award” pada tahun 2014.

Shamsi Ali di tengah (sumber : http://pribuminews.com)
Selain menjadi entertainer dan akademisi, banyak pula perantau Indonesia yang sukses berwirausaha. Yang cukup terkenal adalah Sehat Sutardja, pendiri sekaligus pemilik perusahaan semi konduktor : Marvell Technology. Setelah berdiri selama lima tahun, pada tahun 2000 ia berhasil membawa Marvell mencatatkan saham perdananya di bursa Nasdaq. Pasca memperoleh dana publik, ia mengakuisisi beberapa perusahaan teknologi, seperti Galileo Technology, SysKonnect, Radlan, PicoMobile Networks, dan Xelerated. Karena reputasinya yang cukup baik, perusahaan ini dipercaya menyuplai chip Wi-Fi untuk produk iPhone generasi pertama. Berdasarkan media massa Thomson Reuters, pada tahun 2012 Marvell masuk ke dalam “Top 100 Global Innovators”. Dan dewasa ini perusahaan yang beroperasi di Santa Clara, California itu, ditabalkan sebagai perusahaan semi konduktor terbaik ketiga di dunia.
Tak hanya Sehat Sutardja, Benyamin Rasyad-pun berhasil menjadi pengusaha di Amerika setelah sukses menapaki karier profesional. Benyamin tinggal di negeri Paman Sam sejak tahun 1999 dan menyelesaikan pendidikannya di University of Houston-Victoria. Setelah berkarier di perusahaan minyak dan gas selama 22 tahun, pada tahun 2009 ia mendirikan Star Source LLC, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang maintenance repair and operation (MRO) untuk minyak dan gas. Meski berbasis di Texas, Amerika, namun klien perusahaannya sebagian besar datang dari Asia, diantaranya Singapura, Thailand, China, Korea Selatan, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Indonesia. Selain aktif berniaga, saat ini Benyamin juga menjabat sebagai Presiden “Indonesian Diaspora Foundation” dan Ketua Kamar Dagang Indonesia-Amerika untuk negara bagian Texas.
Pengusaha lainnya yang sukses berbisnis di Amerika adalah Fify Manan. Ia memulai usahanya sebagai wholesaler furnitur kantor dengan mendirikan Formcase Inc. Berbeda dengan mayoritas pengusaha Indonesia yang mengekspor bahan mentah ke luar negeri, Fify justru membeli raw material dari Amerika untuk diproses di Indonesia dan diekspor kembali ke negara tersebut. Di negeri Paman Sam, produk-produknya banyak dijual ke instansi pemerintah, termasuk ke Gedung Putih dan Pentagon. Tak hanya merambah pasar Amerika, perusahaan yang berbasis di Atlanta itu juga mengekspor barang-barangnya ke Korea Selatan, Jepang, serta beberapa negara Timur Tengah dan Afrika. Berkat kegigihannya berusaha, di tahun 2014 Fify dianugerahi penghargaan “25 Most Influential Asian American in Georgia” dari Georgia Asian Times.
Dua lagi pengusaha Indonesia yang cukup beruntung adalah kakak-beradik Nisin Sunito dan Iwan Sunito. Dengan bendera Oceanic Multitrading Pty. Ltd, boleh dibilang Nisin merupakan pemilik peternakan sapi terbesar di Australia. Pengusaha keturunan Tionghoa asal Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah itu, terjun ke bisnis peternakan setelah mengakuisisi peternakan Kiana di dekat kota Darwin, Northern Territory. Peternakan seluas 331.800 hektar itu (setara 4,8 kali luas Singapura), kini memelihara sekitar 15.800 ekor sapi yang sebagian besarnya berjenis brahman dan droughmaster. Selain berbisnis sapi, Nisin juga mengekspor-impor kertas dengan bobot 100 ton per tahunnya. Berbeda dengan Nisin, adiknya : Iwan Sunito menekuni usaha real estat. Semula ia cuma membuka usaha jasa arsitek untuk rumah-rumah mewah di Sydney. Namun dua tahun kemudian (1996), ia mulai menggarap bisnis properti dengan mendirikan perusahaan Crown Group.
Selain nama mereka, masih banyak lagi orang-orang Indonesia yang sukses di negeri orang. Meski sebagian besarnya hanya menjadi karyawan perusahaan, namun devisa yang mereka kirimkan ke Indonesia tak bisa dianggap remeh. Pada tahun 2014, Bank Indonesia mencatat ada sekitar USD 8.345,07 juta remitansi yang diperoleh dari Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Dimana dari jumlah tersebut, 30%-nya berasal dari Malaysia, 27% dari Arab Saudi, dan 19% dari negara-negara Asia Timur (yang terbesar dari Taiwan dan Hongkong). Meski angka tersebut terlihat besar, namun jumlah itu belumlah apa-apa jika dibandingkan dengan remitansi yang dikirimkan oleh para perantau Filipina. Pada tahun yang sama, diaspora dari negeri Benigno Aquino itu sudah mengirimkan USD 24,3 miliar, atau setara dengan 8,4% PDB mereka yang hanya sekitar USD 289,7 miliar. Ke depan, sudah seharusnya Kementerian Luar Negeri kita lebih serius lagi mengurus para diaspora Indonesia yang bertebaran di seantero dunia. Sehingga dampaknya terhadap pembangunan bisa lebih bermanfaat.
Lihat pula :
Musisi Indonesia yang Mendunia