Archive for the ‘Sosial Budaya’ Category


Tahun ini tepat 100 tahun Bahasa Inggris diakui sebagai bahasa internasional. Adalah Perjanjian Versailles yang menjadi titik balik diakuinya Bahasa Inggris sebagai lingua franca. Sebelumnya, bahasa diplomasi yang digunakan oleh masyarakat internasional adalah Bahasa Perancis. Namun ketika perjanjian perdamaian Perang Dunia I itu disusun, Perdana Menteri Amerika Serikat Woodrow Wilson mensyaratkan agar perjanjian juga dibuat dalam Bahasa Inggris. Wilson beralasan kongres Amerika harus menyetujui isi perjanjian tersebut, dan mereka hanya mengerti dalam Bahasa Inggris. Lucunya, meski Inggris menjadi salah satu dari empat negara pemenang perang — bersama Amerika, Perancis, dan Italia, Perdana Menteri Inggris David Lloyd George tak memaksa penggunaan Bahasa Inggris dalam kesepakatan itu.

Penandatanganan Perjanjian Versailles boleh dibilang agak canggung. Karena ini untuk kali pertama Amerika turut terlibat dalam urusan negara-negara Eropa. Perancis yang ketika itu memiliki bargaining politik cukup besar, harus mau mengalah mengikuti keinginan Amerika. Tak hanya dalam penentuan batas negara, Bahasa Inggris — yang digunakan oleh mayoritas orang Amerika — juga mulai disejajarkan dengan Bahasa Perancis. Konon untuk menghambat naiknya popularitas Bahasa Inggris, Perdana Menteri Perancis Clemenceau juga menawarkan agar Bahasa Italia juga dipakai dalam perjanjian. Namun entah mengapa akhirnya hanya dua bahasa saja yang digunakan, yaitu Perancis dan Inggris. Keterlibatan Amerika dalam percaturan politik benua biru ternyata tak cuma sampai disini. Setelah Perang Dunia I, negara Paman Sam mulai sering tampil dalam urusan militer dan ekonomi negara-negara Eropa. Banyak perjanjian dagang, hukum, dan aturan-aturan militer yang kemudian ditulis dalam Bahasa Inggris.

(lebih…)

Iklan

Perkembangan industri musik di Indonesia, tentu tak lepas dari berkembangnya industri musik di berbagai daerah. Salah satu daerah yang cukup menggeliat adalah Sumatera Barat. Majalah Tempo dalam laporannya yang berjudul “Geliat Rekaman Pop Minang” mencatat, bahwa ada lebih dari 26 produser di ranah Minang, yang hampir seluruhnya memiliki studio rekaman sendiri. Sebagian besar studio-studio tersebut berada di Kota Padang dan Bukittinggi. Selain digunakan oleh perusahaan rekaman Sumatera Barat, studio-studio ini juga disewakan kepada produser asal Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Mereka memilih rekaman di Padang, karena dinilai lebih murah tenimbang di Jakarta. Tak hanya artis-artis Sumatera, penyanyi ibu kota seperti Obbie Mesakh dan Edi Silitonga-pun juga pernah merekam albumnya disini.

Dibandingkan dengan daerah lain – diluar Jakarta tentunya — industri musik di ranah Minang boleh dibilang paling kondusif. Selain banyaknya produser yang mau mengorbitkan seniman-seniman lokal, talenta musik yang lahir dari bumi Minang-pun juga tak putus-putus. Mulai dari Orkes Gumarang, Kumbang Tjari, hingga penyanyi seperti Oslan Husein, Tiar Ramon, Elly Kasim, Zalmon, Ajo Andre, Ratu Sikumbang, Rayola, Ipank, sampai si Upiak Isil. Selain penyanyi, pencipta lagu dan aransmen musik-pun juga banyak bermunculan. Beberapa penyanyi malah ada yang multi-talenta, menjadi vokalis sekaligus pembuat syair dan aransmen. Faktor lainnya yang membuat industri musik di Minangkabau tetap bergairah karena pasarnya yang cukup massif. Terutama para perantau yang tersebar di kota-kota besar di seantero Indonesia, Malaysia, hingga Australia.

(lebih…)


upi-jaya

Restoran Padang Upi Jaya di Elmhurst, New York

Jika dibandingkan dengan restoran Thailand ataupun Vietnam, jumlah restoran Indonesia di luar negeri tak terlampau banyak. Padahal dari segi populasi ataupun jumlah diaspora, Indonesia jauh di atas dua negara tersebut. Berdasarkan catatan Tempo.co, ada sekitar 8 juta orang Indonesia yang bermukim di luar negeri. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor pertambangan, konstruksi, ataupun pekerja domestik. Sedikit sekali yang terjun ke bisnis kuliner apalagi sampai membuka rumah makan. Dari yang sedikit itu, kaum Minangkabau merupakan satu diantara puak Indonesia di luar negeri yang banyak menekuni bisnis tersebut. Hal ini ditandai dengan hadirnya restoran Padang yang tersebar di beberapa kota mancanegara. Meski belum sebanyak restoran Thailand ataupun Vietnam, namun bolehlah untuk sekedar menunjukan eksistensi kalau masakan Indonesia juga bisa go internasional.

 

* * *

Di Malaysia, hampir di setiap kota utama negara tersebut kita akan menjumpai restoran khas Minangkabau. Terlebih di Kuala Lumpur, tempat dimana sekitar 200 ribu keturunan Minangkabau bermukim. Disini Anda tak kan sulit menemukan orang yang menjajakan nasi Padang. Bahkan kehadirannya di ibu kota Malaysia itu, perlahan tapi pasti mulai menggantikan restoran Mamak yang menyajikan nasi Kandar. Maklum, keduanya memiliki cita rasa yang hampir sama, nasi campur dengan lauk-pauk spicy bergelimang santan. Entah sejak kapan orang Minang berbisnis rumah makan di kota itu. Mungkin pada akhir abad ke-19, ketika banyak diantara mereka yang pergi merantau untuk mengelak penjajahan Belanda. Kini restoran Padang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kuala Lumpur. Mereka mulai familiar dengan aneka menu seperti ayam pop, dendeng batokok, atau gulai gajebo. Di Kuala Lumpur dan sekitarnya, Anda bisa menemui puluhan kedai makan ala Minangkabau. Ada yang menjadi cabang jaringan restoran di Indonesia, ada pula yang dikelola oleh masyarakat setempat. Beberapa restoran Padang yang cukup ternama antara lain : Seri Garuda Emas, Grand Garuda Baru, dan Puti Bungsu. Tak ketinggalan jaringan Restoran Sari Ratu yang telah membuka cabangnya di Jalan Tuanku Abdul Rahman, Jalan Tun Razak, Bukit Bintang, serta kota-kota satelit di seputaran Kuala Lumpur.

(lebih…)


OA_N.indd

Setelah menengok kiprah orang Arab di Semenanjung Malaya dan Singapura, selanjutnya kita akan melihat sepak terjang mereka di Indonesia. Di negeri ini, sebelum kedatangan orang Eropa, hampir keseluruhan masyarakat Arab-Hadhrami tinggal di pusat-pusat kerajaan Islam. Mayoritas mereka bermukim di Kutaraja, Siak, Palembang, Demak, Yogyakarta, Surakarta, Pontianak, dan Ternate. Di tempat-tempat tersebut banyak diantara mereka yang menjadi kadi, ulama, penasehat raja, dan kemudian menikah dengan kerabat keluarga sultan.

Semasa era penjajahan Belanda, banyak dari pendatang Arab yang bermukim di kota-kota perdagangan, seperti Jakarta dan Surabaya. Oleh pemerintahan Hindia-Belanda pergerakan mereka sering kali dibatasi. Mereka dipaksa untuk tinggal di kampung-kampung khusus, dan harus membuat kartu pas ketika berpergian. Mengenai motif kedatangan mereka, L. W. C. van den Berg — salah seorang orientalis Belanda di abad 19 — dalam karyanya “Le Hadhramout Et Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien” mengungkapkan, bahwa perantauan mereka ke Indonesia terutama disebabkan oleh faktor ekonomi, bukan misi penyebaran agama. Lebih lanjut Azyumardi Azra menegaskan, kalaupun ada diantara mereka yang memegang posisi keagamaan sebagai imam, itupun hanyalah untuk mengejar imbalan keuangan yang tidak bermotifkan agama.

(lebih…)


Rumah mewah keluarga Alkaff di Singapura

Rumah mewah keluarga Alkaff di Singapura

Kaum Arab-Hadhrami merupakan salah satu kelompok etnis yang cukup berpengaruh di Nusantara. Mereka diperkirakan telah tiba di negeri ini dalam kelompok-kelompok kecil sejak abad ke-13. Ada beberapa faktor yang menyebabkan berhijrahnya mereka dari Hadhramaut ke Nusantara. Antara lain ialah adanya kesempatan berdagang serta peluang menjadi kadi dan guru agama di kesultanan-kesultanan Melayu. Disamping itu kondisi politik Yaman yang sering mengalami instabilitas, juga menjadi pendorong perginya mereka ke seberang lautan. Yang menarik, meski jumlah kaum Hadhrami di Nusantara relatif kecil, namun mereka telah banyak melahirkan para cendekiawan, negarawan, dan pebisnis yang tergolong sukses.

Dibanding golongan “Timur Asing” lainnya, pada masa kolonial kaum Arab-Hadhrami adalah kelompok yang paling cepat membaur dengan para penduduk lokal. Bukan hanya karena mereka beragama Islam — agama yang dianut oleh mayoritas “pribumi”, namun juga karena mereka menolak menjadi kaki tangan kaum kolonial. Meski adapula satu-dua yang bekerja untuk Belanda, tetapi kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang anti terhadap kekuasaan Hindia-Belanda. Pada masa revolusi fisik, banyak diantara mereka yang ikut berjuang mengusir penjajahan Belanda di Indonesia.

(lebih…)


Seorang Perempuan Mengerjakan Sarung Tenun Samarinda

Seorang Perempuan Mengerjakan Sarung Tenun Samarinda

Di Indonesia Timur, etnis Bugis, Makassar, dan Buton dikenal sebagai kelompok masyarakat yang banyak melahirkan pengusaha tangguh. Mereka tak hanya mengisi pasar-pasar di Sulawesi, namun juga di Kalimantan, Maluku, dan Papua. Menurut catatan sejarah, migrasi orang-orang Makassar ke seberang lautan terjadi setelah berlangsungnya Perjanjian Bongaya di tahun 1667. Tak lama kemudian masyarakat Bugis yang tak puas dengan kondisi politik di Sulawesi Selatan mengikuti jejak saudaranya untuk pergi merantau. Sedangkan etnis Buton yang berasal dari Sulawesi Tenggara, baru melakukan migrasi secara besar-besaran setelah masa kemerdekaan. Sehingga di perantauan populasi dan pencapaian mereka tak terlampau mencolok. Ada beberapa faktor yang menyebabkan berpindahnya kelompok etnis dari Sulawesi bagian selatan ini ke wilayah-wilayah lainnya di Indonesia Timur. Namun dari semua faktor itu, yang terpenting ialah besarnya peluang ekonomi, terutama di bidang perdagangan. Oleh karenanya di beberapa tempat dan pada waktu tertentu, dalam perebutan kue ekonomi itu sering terjadi pergesekan antara masyarakat lokal dengan ketiga etnis tersebut.

Dalam beberapa hal, masyarakat Bugis-Makassar dan Buton bisa disamakan dengan kelompok Arab, Tionghoa, dan Minangkabau, yang banyak mencari peluang di Indonesia Timur untuk mengembangkan jaringan dagang mereka. Etnis-etnis tersebut bertolak belakang dengan motif migrasi orang Jawa, Minahasa, dan Batak, yang pergi ke Indonesia Timur karena penempatan sebagai pegawai atau ikut program transmigrasi. Karena corak dagang inilah, maka kelompok Bugis-Makassar dan Buton cukup menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia Timur. Dalam kajian ini, penyebutan Bugis-Makassar juga termasuk di dalamnya kelompok-kelompok lain di Sulawesi Selatan, seperti etnis Luwu dan Massenrempulu, yang juga banyak tersebar di perantauan Indonesia Timur.

(lebih…)


SP 2010

Dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis sejumlah data mengenai kependudukan Indonesia. Salah satu data yang dipublikasikan ialah mengenai jumlah populasi suku-suku bangsa di Indonesia. Namun dari data yang dikeluarkan, timbul berbagai pertanyaan terutama mengenai naik-turunnya populasi etnis di Indonesia. Dari buku yang berjudul “Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia”, terlihat ada beberapa kelompok etnis yang mengalami penurunan cukup tajam, dan ada pula yang mengalami kenaikan diluar kewajaran. Sama seperti sensus tahun 2000, pada sensus 2010 lalu metodologi survei yang digunakan BPS dalam menentukan etnis seseorang ialah berdasarkan self-identification. Self-identification yang dimaksud adalah pengakuan seseorang terhadap kebudayaan dan adat istiadat yang dianutnya. Misalnya generasi kedua orang Jawa yang sudah lama bermukim di Jakarta, mungkin akan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Betawi tenimbang etnis Jawa.

Jika orang tersebut mengalami kebimbangan dalam menentukan suku bangsanya, maka BPS akan menentukannya berdasarkan etnis sang ayah. Seperti misalnya anak-anak dari pasangan Batak dan Jawa yang bingung ketika menentukan suku bangsanya, maka BPS akan menggolongkan mereka kepada suku bangsa ayahnya. Meskipun responden tersebut tidak menggunakan bahasa dan adat istiadat Batak dalam kesehariannya, namun jika sang ayah memiliki marga Batak maka responden akan digolongkan sebagai orang Batak. Metodologi survei semacam ini memang terkesan demokratis, namun mengabaikan sisi antropologis yang seharusnya dikedepankan oleh BPS. Akibatnya yang terjadi ialah dari dua sensus penduduk terakhir (tahun 2000 dan 2010), para stakeholder tidak pernah mengetahui secara tepat jumlah populasi etnis di Indonesia.

(lebih…)


Andre Vltchek (sumber : andrevltchek.weebly.com)

Andre Vltchek (sumber : andrevltchek.weebly.com)

Bukannya ada apa-apa jika dalam kesempatan kali ini saya harus menanggapi tulisan skeptis dari Andre Vltchek tentang Jakarta dan Indonesia pada umumnya. Namun sebelum melangkah lebih jauh, mungkin sebagian Anda akan bertanya-tanya, untuk apa menanggapi tulisan dia. Sedangkan namanya saja belum pernah mendengar. Memang banyak orang tak mengenal novelis yang satu ini. Namanya hanya santer dikalangan pengkritik pemerintah dan para pendukungnya yang membabi buta. Agar suasana menjadi lebih enak dan bacaan ini bisa steril untuk dinikmati, ada baiknya saya mendeskripsikan latar belakang beliau terlebih dahulu. Andre Vltchek lahir di St. Petersburg pada tahun 1963. Saat ini ia merupakan warga negara Amerika, yang telah menjalani aneka profesi dari pembuat film, wartawan perang, hingga menjadi novelis. Setelah hidup beberapa tahun di Amerika Latin dan Oseania, kini ia pindah dan bekerja di Afrika serta Asia Timur. Ia merupakan sedikit dari analis politik yang telah berkelana di banyak negara berkembang. Oleh karenanya ia tahu (beberapa) akar permasalahan di negara-negara tersebut, termasuk Indonesia.

Karya-karya Vltchek memang bisa membuat telinga penguasa meradang. Hal ini karena banyak dari tulisannya yang tak enak didengar. Wajar saja! Bagi saya yang merupakan penikmat aneka tulisan lepas, agaknya karya-karya Vltchek terlalu jorok. Selain skeptis, ia juga menulis secara serampangan. Menurut saya yang awam ini, sebuah karya yang berbobot seharusnya disertai fakta serta bukti-bukti yang akurat. Namun Vltchek nampaknya menghiraukan kaidah-kaidah tersebut. Setidaknya saya bisa mengatakan itu dari tulisannya yang berjudul : “The Perfect Fascist City, Take A Train in Jakarta” (bisa dilihat di : www.counterpunch.org : The Perfect Fascist City, Take A Train in Jakarta). Tulisan ini sebenarnya telah dirilis sejak awal tahun lalu. Namun yang saya lihat, sedikit sekali tokoh-tokoh kita –- terutama para ahli perkotaan, yang menanggapinya secara serius.

(lebih…)


Jokowi dan Ahok (sumber : kompas.com)

Jokowi dan Ahok (sumber : kompas.com)

Baru-baru ini, gubernur DKI Joko Widodo melakukan lelang jabatan dalam penempatan kepala camat dan lurah di seluruh Jakarta. Sontak kebijakan itu membuat geger puluhan abdi negara yang selama ini sudah enjoy menduduki kursi tersebut. Meski banyak diprotes — terutama oleh pejabat yang biasa memperoleh upeti dari para warga, tindakan Jokowi itu malah didukung wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Basuki atau akrab yang disapa Ahok, dalam keterangannya menyatakan bahwa ia dan Jokowi akan terus menerapkan merit system dalam pengisian jabatan-jabatan publik.

Entah apa kata yang cocok dalam Bahasa Indonesia untuk mengartikan “merit system”. Mungkin “sistem kepantasan”? Merit system atau meritokrasi adalah sebuah sistem yang menekankan kepada kepantasan seseorang untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu dalam sebuah organisasi. Kepantasan diartikan sebagai kemampuan per se. Tanpa memandang latar belakang etnis, agama, afiliasi politik, atau status sosial mereka. Di negara-negara maju, merit system telah diterapkan sejak ratusan tahun lampau. Malah di dunia Barat, meritokrasi menjadi salah satu kunci keunggulan mereka dibandingkan peradaban lainnya di dunia.

(lebih…)


Gatot Pujo Nugroho (Gubsu) menghadiri helat perantau Minang (sumber : dnaberita.com)

Gatot Pujo Nugroho (Gubsu) menghadiri helat perantau Minang (sumber : dnaberita.com)

Sejak berabad-abad lalu, wilayah Sumatera bagian utara telah menjadi rantau tradisional bagi kaum Minangkabau. Setidaknya mereka telah bermigrasi ke Sibolga, Barus, Tapaktuan, hingga ke Meulaboh sejak abad ke-14. Di wilayah ini, Bahasa Minangkabau — yang dikenal dengan Bahasa Pesisir di Sibolga atau Bahasa Anak Jamee di Meulaboh – telah lama mengakar dan menjadi bahasa pergaulan (lingua franca). Di pesisir timur, tepatnya di kawasan Batubara dan Asahan, sejak abad ke-17 telah berkumpul orang-orang kaya Minangkabau yang melakukan perdagangan lintas selat. Mereka sebagian besar merupakan nakhoda pemilik kapal, yang berbisnis hasil-hasil bumi untuk pasaran Penang dan Singapura.

Meski sebagian wilayah Sumatera Utara telah lama menjadi koloni dagang mereka, namun di Kota Medan kehadiran etnis Minangkabau relatif baru. Sejarah mencatat baru di akhir abad ke-19 banyak perantau Minang yang bermigrasi ke Medan. Kedatangan mereka kesini mayoritas hendak menjadi pedagang. Hal ini bertolak belakang dengan kehadiran orang-orang China, Jawa, dan Tamil, yang kebanyakan sebagai kuli kontrak.

(lebih…)